Senin, 4 Pebruari 2002.
Batalnya Pengalihan Aset Divre IV TelkomWinahyo Soekanto, Pengamat Telekomunikasi dan Konsultan Hukum
Gagalnya pengalihan Divre/KSO IV Telkom kepada Indosat sebagai bagian dari penyelesaian cross ownership, menjadi contoh lain bagaimana Telkom gagal menyelesaikan pekerjaan rumahnya dengan baik.
Kondisi ini tidak memberi manfaat apapun bagi percepatan reformasi industri telekomunikasi, khususnya restrukturisasi BUMN penyelenggara telekomunikasi yang penyelesaiannya amat esensial dan strategis, karena mempengaruhi implementasi berbagai kebijakan makro dalam rangka reformasi industri itu sendiri.
Kegagalan transaksi tersebut akan membawa konsekuensi memperlambat proses reformasi industri. Indosat tidak akan segera memperoleh landasan untuk mendapatkan lisensi sebagai operator pontap lokal dan SLJJ, sementara bagi Telkom, bisa-bisa lisensi SLInya ditahan dulu.
Kegagalan ini juga berakibat pemerintah kehilangan kesempatan untuk segera meng-exercise numbering plan pontap dan rezim interkoneksinya yang baru. Akibatnya, pemerintah bisa-bisa mandeg dalam menciptakan competition by fact pada industri telekomunikasi ini.
Padahal, kompetisi yang ultimate goal-nya adalah menciptakan pilihan yang cukup bagi konsumen jasa telekomunikasi, baik dalam hal jenis layanan maupun dalam hal jumlah operator penyelenggaranya itu, diharapkan kondusif dalam mengundang masuknya investor.
Sayangnya, pemerintah seperti tidak tahu bagaimana harus memelihara momentum itu, sehingga transaksi pengalihan aset dan operasi Divre IV itu dibiarkan terombang-ambing dan akhirnya batal.
Telkom dan Indosat memang akan direposisi sebagai full network service provide harus merestrukturisasi portofolio usahanya, antara lain dengan meniadakan joint ownership diantara mereka pada perusahaan afiliasi atau anak perusahaan. Dengan demikian satu paket dengan tukar-tukaran saham di Telkomsel dan Satelindo serta Lintas Artha. Begitu pula, pengalihan aset dan operasi KSO IV adalah kebijakan yang sudah pada track yang benar. Pemerintah seharusnya memelihara momentum ini dengan baik.
Membandingkan dengan bagaimana ngototnya pemerintah menaikkan tarif pontap, maka kita melihat sikap kontradiktif dan inkonsistensi pemerintah terhadap batalnya transaksi pengalihan Divre IV. Padahal, tuntasnya transaksi pengalihan Divre IV ke Indosat akan memberikan customer base yang kuat kepada Indosat, sekaligus sebagai basis awal kompetisi di pontap. Itu artinya, sumbangan yang lebih berarti bagi percepatan reformasi industri.
Alasan batal
Pemerintah lagi-lagi diam tanpa sikap yang jelas menyaksikan transaksi penting ini batal. Tanpa sama sekali melakukan kajian signifikan apa yang secara material menjadikan transaksi itu batal. Beberapa persyaratan (conditions precedent) yang kabarnya tidak bisa dipenuhi guna mengefektifkan transaksi, sebenarnya persyaratan standar dalam transaksi serupa itu, yang lazimnya sudah diperhitungkan dan diantisipasi. Bahkan sejak sebelum sale and purchase agreement (SPA) ditandatangani..
Oleh karena itu, saya sangat yakin semua prasyarat yang juga telah disetujui dalam RUPS sepenuhnya dalam kontrol manajemen Telkom dan Indosat untuk pemenuhannya. Begitu juga seharusnya pemerintah bertanggung jawab memastikan transaksi ini selesai. Jadi agak menggelikan juga jika pemerintah, setelah muncul tanda-tanda kuat transaksi ini akan gagal, lalu seolah-olah mengesankan hanya Telkom dan Indosat yang memiliki kepentingan atas terpenuhinya transaksi itu dan bukannya bagian integral dari tugas pemerintah mereformasi industri telekomunikasi.
Pertanggungjawaban publik
Pemerintah, antara lain melalui Menteri BUMN, mengatakan bahwa ini bukan karena desakan karyawan Divre IV tapi semata karena condition precedent dimaksud tidak terpenuhi. Mengingat condition precedent, seperti penyelesaian laporan final aset yang disetujui kedua belah pihak, novasi kontrak-kontrak, pengalihan izin-izin, perjanjian sewa, perjanjian interkoneksi dan perjanjian lain, perolehan izin dan perjanjian lainnya, perolehan izin Indosat untuk pengoperasian PSTN, berada dalam kontrol penuh mereka dan waktunya sudah setahun, maka ini jelas kegagalan manajemen.
Lalu, dengan berbagai biaya dan time management yang sudah dikeluarkan dalam jumlah yang amat besar mencapai ratusan miliar rupiah, apa bentuk pertanggungjawaban publik mereka. Dengan inefisiensi manajemen seperti itu, mereka seharusnya tidak berhak menikmati perubahan tarif. Mereka harus mampu mempertanggungjawabkan setiap sen dari uang perusahaan yang telah mereka belanjakan.
Investor pemegang saham bisa menggugat mundur apabila nyata-nyata mereka tidak memenuhi duty of care. Sesuai pasal 85 UU Perseroan terbatas pemegang saham minoritas dengan jumlah minimum 10 persen dari seluruh jumlah saham dengan hak suara yang sah bisa mengajukan gugatan kepada direksi yang karena kelalaiannya menimbulkan kerugian pada perseroan.
Sebuah transaksi yang gagal meskipun sudah dibiayai ratusan miliar rupiah bukankah sebuah kerugian bagi perseroan. Demikian juga konsumen yang sudah dirugikan dua kali. Pertama, karena inefisiensi itu konsumen kehilangan kesempatan mempertahankan tarif lama. Kedua, dengan pemogokkan karyawan yang menentang dilaksanakannya transaksi tersebut telah mengakibatkan turunnya standar pelayanan Telkom. Oleh karena itu, saya mendukung gugatan class action yang akan diajukan kelompok konsumen di Jawa Tengah yang telah dirugikan akibat pemogokkan karyawan.
Alasan tidak jelas
Pilihan melepaskan Divre IV oleh Telkom ini sebenarnya sudah tepat. Namun sayangnya memperoleh hambatan demikian rupa.
Kalau kita teliti reaksi snow ball penolakan dari karyawan Telkom, sebenarnya belum begitu jelas alasannya. Saya merekam melalui pemberitaan media massa, paling tidak ada dua alasan. Pertama, kekuatiran bahwa aset nasional ini akan dikuasai oleh asing. Kedua, aset dimaksud dijual secara undervalued.
Untuk yang pertama, saya tidak begitu paham bagaimana muncul kekuatiran semacam itu. Padahal para karyawan itu menyadari bahwa sebagai perusahaan publik, baik Telkom dan Indosat, setiap saat dapat dimiliki sahamnya oleh para investor asing. Kemudian jika ada indikasi harga jualnya ditetapkan secara undervalued, seharusnya tuntutan para karyawan adalah meminta second opinion dari perusahaan appraiser lain untuk menetapkan harga wajar pasar. Lalu jika termasuk juga ada indikasi KKN, laporkan saja ke Indonesian Corruption Watch misalnya.
Cuma satu hal yang saya mencoba memaklumi gerakan karyawan Telkom ini, yaitu bahwa berganti majikan secara psikologis memang tidak nyaman dan tidak mengenakkan. Termasuk image majikan baru, yakni Indosat yang selama ini dicitrakan di kalangan karyawan Telkom lebih banyak labanya dengan hanya sebagai pemungut biaya tol SLI, sementara pemilik infrastruktur jaringan adalah Telkom.
Jadi persaingan diam-diam sebenarnya sudah berkembang di kalangan Telkom dan Indosat sejak beberapa waktu lalu. Namun demikian, saya ingin mengingatkan, baik para pelaku usaha maupun para karyawan yang berada di sektor industri ini, tidak bisa mengelakkan diri dari struktur industri yang akan menjadi sangat terbuka dan kompetitif. Tidak hanya terjadi pada produk/jasa yang dihasilkan, tetapi juga kompetisi pada kualitas sumber daya manusia yang dipunyainya. Jadi para eks monopolist to be dan karyawannya tidak boleh terlena dan menginginkan terus dinyamankan dengan statusnya sebagai monopolis.
No comments:
Post a Comment