Cari Berita berita lama

detikcom - Harimau Sumatera Nyaris Punah

Jumat, 24 Desember 2004.
Perburuan Raja Hutan di Riau (1)
Harimau Sumatera Nyaris Punah
Chaidir Anwar Tanjung - detikcom

Pekanbaru -
Harimau, atau si raja hutan merupakan binatang yang paling terancam. Di antara lima subjenis harimau yang masih bertahan hidup di dunia, harimau Sumatera ini adalah ras pulau terakhir yang tersisa dari tiga ras lainnya yang sebelumnya ada di Indonesia. Harimau Bali sudah punah akibat perburuan pada akhir 1940-an, dan harimau Jawa dipastikan punah akhir 1980-an.

Jadi, di Jawa dan Bali, harimau hanyalah dongeng belaka. Nasib yang sama agaknya juga akan menimpa harimau Sumatera. Binatang buas yang bernama Latin Panthera tigris sumatrae itu kian terjepit kehidupannya oleh pembabatan hutan alam yang tak pernah henti.

Karena pola hidup harimau yang soliter dan nocturnal (suka keluyuran malam hari), maka hampir mustahil untuk melakukan sensus yang akurat tentang jumlah harimau Sumatera. Subspesies ini dierkirakan berjumlah 400-500 ekor, sebagian besar hidup di enam taman nasional di Sumatera: Taman Nasional Gunung Leuser (Aceh), Taman Nasional Bukit Tiga Puluh (Riau), Taman Nasional Tesso Nilo (Riau), Taman Nasional Sembilang (Sumsel), Taman Nasional Bukit Barisan Selatan (Lampung) dan Taman Nasional Way Kambas (Lampung). Sedang 100 ekor diperkirakan masih bertahan hidup di kawasan hutan kritis.

Jumlah tersebut menurun drastis dari hasil sensus informal pada 1978 yang mencatat terdapat 1.000 harimau di kawasan hutan Sumatera.

Proses kepunahan harimau Sumatera ini disebabkan oleh pembabatan hutan alam yang tak terkendali, serta pembukaan hutan untuk areal perkebunan. Akibatnya wilayah jelajah harimau semakin terbatas dan kerap menimbulkan konflik antara harimau dan manusia.

Di Riau misalnya, konflik antara harimau dan manusia kerap terjadi. Di Kabupaten Bengkalis, harimau keluar masuk desa sudah lumrah. Ini terjadi karena hewan pemangsa itu kesulitan menacari makan. Dengan terpaksa harimau pun mesti memangsa ternak penduduk. Dan tak jarang, manusia pun adi sasaran empuk bagi harimau.

Persoalannya, nyawa manusia tentulah lebih penting daripada binatang. "Kalau sudah terjadi konflik seperti ini, kita juga setuju bahwa nyawa manusia jauh lebih penting ketimbang harimau. Suka tidak suka, hariamu memang harus dibunuh. Ini juga salah satu sebab lajunya kelangkaan harimau Sumatera," kata Direktur LSM Tripoka Harijal Jalil kepada detikcom, sembari menyebutkan bahwa harimau di Riau tak lebih dari 200 ekor saja.

Tapi sejumlah kasus menunjukkan, tidak semua konflik harimau-manusia benar-benar terjadi. Konflik harimau-manusia yang terjadi justru kerap dimanipulasi. Yang sesungguhnya terjadi adalah perburuan harimau, yang kemudian dilaporkan sebagai konflik harimau-harimau.

"Tidak semunya kasus konflik itu murni terjadi ditengah masyarakat. Ada kelompok masyarakat yang mengaku telah diganggu harimau, padahal itu hanya manipulasi saja, agar mereka bisa melakukan perburuan secara mudah. Karena itu instansi terkait harus jeli dalam melihat konflik yang terjadi saat ini," kata Harijal.

Tropika mencatat, sepanjajng 2004 terjadi berpuluhkali konflik harimau-manusia. Paling tidak, 6 orang tewas akibat konflik tersebut. Sebagian besar mereka yang menjadi korban keganasan harimau Sumatera adalah pekerja balak di tengah hutan. "Konflik harimau-manusia ini adalah akibat langsung pembalakan haram, yang mempersempit ruang hidup harimau," kata Harijal.

Menurut Harijal, mengantisipasi kepunahan harimau, pemerintah harus memikirkan tentang kelangsungan hidup hewan buas untuk jangka panjang. "Paling tidak, kawasan koservasi harimau yang telah ada saat ini, tidak lagi dikonversi untuk kepentingan lainnya."

Tapi harapan Harijal itu agaknya sulit diujudkan. Jangan mempertahankan kehidupan harimau di hutan kritis, kehidupan mereka di taman nasional pun juga terancam. Menurut Yuyu Arlan, Project Axecutat World Wide Fund for Nature (WWF), harimau yang tinggal di kawasan Taman Nasional Bukit Tigapuluah (TNBT) juga rawan perburuan.

TNBT yang luasnya 148.000 hektar, dan 70 persen di antaranya berada di wilayah Riau selebihnya berada di Jambi ini kerap disambangi para pemburu harimau. Data yang dikumpulkan WWF menunjukkan, TNBT dalam tiga tahun terakhir terjadi penangkapan terhadap 21 ekor harimau. Penangkapan sebanyak 12 ekor di antaranya dapat dibuktikan, meskipun pelakunya tidak dapat diketemukan. "Kami memperkirakan jumlah harimau yang ditangkap tentu lebih banyak dari angka itu," kata Yuyu.

Angka tersebut tergolong sangat banyak dibandingkan dengan keberadaan harimau sebagai binatang yang dilindungi. Pasalnya, setiap tahun setidaknya tujuh ekor harimau yang menemui ajalnya karena ulah manusia. Dalam tiga tahun terakhir ini saja, diperkirakan lebih dari 40 ekor harimau dibantai di luar TNBT. "Jadi, total pembantaian harimau di Provinsi Riau dalam tiga tahun mencapai 65 ekor," ujar Yuyu.


(
diks
)

No comments:

Post a Comment