Rabu, 20 September 2006.
Delapan Dilema Kebijakan BerasAkhir Agustus lalu, Kantor Menko Perekonomian mengadakan rapat koordinasi untuk mengevaluasi Inpres Perberasan Nomor 13/2005. Yang dievaluasi tidak melulu harga pembelian pemerintah (HPP), harga beras tingkat konsumen dan pengelolaan impor, melainkan juga aspek non-harga, cadangan beras pemerintah, dan raskin. Inpres di era reformasi itu bertujuan membangun dan memperkuat industri padi/beras mulai hilir sampai hulu. Industri padi/beras yang kuat memungkinkan kesejahteraan petani dapat ditingkatkan secara berkelanjutan dan pembangunan desa dapat didorong lebih cepat.
Namun, dalam perjalanan inpres baru yang dirancang sejak 2001 itu, tercatat ada delapan dilema yang sedang dihadapi, sehingga semakin sulit meraih tujuannya. Pertama, insentif harga telah mendominasi perhatian maupun dukungan politis, yang tujuannya tentu meningkatkan kesejahteraan petani. Padahal, telah dipahami bahwa insentif non-harga (non-price factor) lebih mampu meningkatkan kesejahteraan petani secara berkelanjutan dan sekaligus membangun daya saing industri.
Insentif terakhir itu terkait erat dengan usaha meningkatkan produktivitas dan efisiensi. Itu hanya mungkin dilakukan dengan memberi prioritas kegiatan dan dana untuk pengurangan kehilangan hasil pascapanen, penggunaan teknologi kapital intensif pada kegiatan panen dan pengolahan lahan, perbaikan kualitas lahan serta irigasi, modernisasi penggilingan padi, serta riset.
Kedua, HPP yang dianggap selalu rendah, sehingga perlu dinaikkan setiap tahun. Sekali HPP ditetapkan tinggi, hampir tidak mungkin disesuaikan ke tingkat yang wajar. HPP dengan kualitas 20% broken sekitar US$ 100 per ton lebih tinggi dari harga pasar internasional, lebih tinggi dari HPP negara eksportir seperti Thailand. Thailand menetapkan HPP sebesar US$ 267 per ton untuk beras kualitas tinggi (yasmin rice). Bandingkan dengan kita yang US$ 365 per ton untuk kualitas medium.
Ketiga, pemerintah masih tetap mempertahankan HPP dengan patokan satu kualitas medium 20% yang berlaku di seluruh Indonesia. Kebijakan HPP ini tentu telah memperkecil risiko usaha tani di kualitas tersebut. Namun ini telah memasung insentif petani/pelaku usaha untuk berproduksi padi/beras bermutu tinggi serta menghambat pengembangan beras spesifik lokal yang bermutu, semisal beras Solok, beras Tangse, beras Rojolele, dan beras Cianjur.
Di pihak lain, permintaan konsumen makin mengarah ke beras kualitas tinggi dan spesifik rasa. Kalau kita melirik ke sejumlah negara eksportir seperti Thailand dan Cina, ternyata mereka telah menetapkan HPP berdasarkan perbedaan kualitas. HPP ditetapkan tinggi untuk padi/beras berkualitas tinggi, tapi rendah untuk beras/padi berkualitas rendah. Mereka mendorong petaninya agar terangsang berproduksi padi/beras berkualitas tinggi.
Keempat, harga beras di pasar yang terus meningkat dan stok cadangan yang terus terkuras. Akhir-akhir ini, semakin deras permintaan untuk OP (operasi pasar), apalagi menjelang puasa/Lebaran. Seolah-olah OP adalah instrumen ampuh untuk mengatasi instabilitas harga dalam negeri. Harga beras memang kurang stabil, tingkat harga grosir tumbuh 1,64% per bulan sejak larangan impor. Namun pangan lain seperti jagung dan gandum/terigu yang tanpa larangan impor, harganya lebih stabil, dengan pertumbuhan masing-masing 0,34% per bulan dan 0,96% per bulan. Kita telah mengabaikan peran beras impor sebagai instrumen untuk meredam instabilitas harga beras. Padahal, instrumen ini sudah lama dipakai pemerintah, tapi kini dicerca kalau digunakan untuk beras.
Kelima, kita sesungguhnya telah meninggalkan kebijakan harga langit-langit atau stabilisasi harga beras at all cost. Di samping tidak adil, biayanya juga mahal. Itu dialihkan ke subsidi target karena lebih adil dan relatif lebih murah. Namun pemerintah tetap ingin mengintervensi pasar untuk menstabilkan harga beras dengan alasan stabilisasi ekonomi makro. Tetapi pemerintah hanya menguasai 350.000 ton beras sebagai CBP (cadangan beras pemerintah). Itu terlalu kecil. Pemerintah kurang berdaya mengatasi instabilitas harga apabila itu terjadi.
Indonesia adalah negara kepulauan dengan infrastruktur masih terbatas. Cadangan itu amat kecil kalau dibandingkan dengan cadangan beras pemerintah di Cina (34 juta ton), India (7 juta ton), Thailand (2 juta ton), Vietnam (1 juta ton), Jepang (1 juta ton), Korea Selatan (1,1 juta ton), dan Filipina (750.000 ton).
Keenam, dukungan pemerintah, terutama untuk non-price factor, untuk petani padi semakin berkurang, dengan alasan kekurangan dana. Di pihak lain, subsidi negara maju terus meningkat. Tidak kurang dari 80% pendapatan petani padi di negara OECD berasal dari dukungan pemerintah. Kita ingin melindungi petani sempit/miskin dengan cara larangan impor beras dan menaikkan HPP. Itu belum menolong untuk meningkatkan daya saing. Daya saing hanya mungkin ditingkatkan dengan memberi perhatian pada non-harga seperti telah disebutkan sebelumnya.
Ketujuh, kita menganggap swasembada beras telah tercapai, dengan cara hitung-menghitung, kadang-kadang penuh kompromi, serta melarang impor. Namun harga beras terus naik dengan laju kenaikan yang tajam, sedangkan pangan lainnya tidaklah demikian. Yang sedang terjadi, harga terigu di dalam negeri menjadi relalif semakin murah dibandingkan dengan beras. Padahal, di antara pangan biji-bijian, terigu berada pada posisi teratas, lebih superior dibandingkan dengan beras. Pada Januari 2004, misalnya, rasio harga beras terhadap gandum 0,6, dan sejak Juni 2006 hampir 0,9. Padahal, apabila harga beras naik 10%, dengan sendirinya mendorong permintaan gandum meningkat 4%-6%, terutama permintaan mi instan.
Indonesia telah menjadi negara kedua terbesar di dunia setelah Cina dalam tingkat konsumsi mi instan, mencapai 8,9 milyar bungkus per tahun. Tanpa disadari, kebijakan itu telah memurahkan harga gandum, hingga akan memperderas peralihan konsumsi ke terigu. Kita menjadi semakin sulit mendiversifikasi pangan yang berasal dari produksi petani dalam negeri, semisal biji-bijian selain beras atau umbi-umbian. Devisa tetap terkuras untuk impor gandum.
Kedelapan, kita ingin melindungi industri padi/beras dari ancaman serbuan impor (import surge) atau kejatuhan harga dengan larangan impor. Kita berdalih, itu lebih efektif dibandingkan dengan instrumen tarif. Namun Indonesia belum menyusun langkah-langkah untuk mengefektifkan perlindungan dengan instrumen tarif, berbagai kelemahan di border tetap terjadi. Padahal, pelarangan impor adalah instrumen perlindungan perdagangan paling primitif. Banyak negara telah meninggalkannya, beralih ke perlindungan yang transparan dan lebih ilmiah seperti tarif, TRQ (tariff rate quota) atau SPS (sanitary and phytosanitary). Itu memang sejalan dengan kesepakatan dan komitmen dalam perdagangan multilateral/regional/bilateral.
Walaupun rapat koordinasi itu tidak mengacu pada sebuah bahan hasil kajian yang konprehensif, forum itu tetap bermanfaat. Setidaknya untuk memahami secara deskriptif berbagai persoalan yang sedang terjadi serta mencari solusinya. Sayang, rapat koordinasi itu belum mampu menetapkan prioritas untuk membangun industri padi/beras yang kokoh dengan meningkatkan daya saing melalui peningkatan produktivitas dan efisiensi sejak usaha tani sampai pascapanen. Tanpa usaha itu, akan sulit mencapai tujuan inpres.
Seharusnya kita tidak terjebak oleh isu jangka pendek, seperti larangan impor, kelebihan produksi, dan kenaikan HPP. Itu semua bukan untuk menyelesaikan masalah inti di industri padi/beras. Sebaiknya, pemerintah memberikan perhatian, alokasi dana yang memadai, serta merancang strategi dan prioritas untuk mengatasi kemerosotan kualitas lahan serta irigasi, mencegah konversi lahan beririgasi, mengatasi kehilangan hasil pascapanen, mendorong pengembangan penggilingan padi modern, memberi insentif agar penggunaan dryers meluas. Merancang insentif dan strategi modernisasi penggilingan padi, sehingga hasil sampingan dari padi dapat dioptimalkan. Itu semua terkait dengan usaha meningkatkan nilai tambah serta pendapatan penduduk pedesaan.
M. Husein Sawit
Peneliti ekonomi pangan dan perdagangan internasional
[Kolom, Gatra Edisi 44 Beredar Kamis, 14 September 2006]
No comments:
Post a Comment