Cari Berita berita lama

Bumbu Panas Telenovela

Sabtu, 24 Agustus 2002.
Bumbu Panas TelenovelaYogyakarta, 24 Agustus 2002 00:26TELENOVELA tak cuma menyuguhkan tampang-tampang keren dan suasana mewah, juga adegan panas. Sepasang kekasih yang bermesraan pun digambarkan secara blak-blakan: dua tubuh saling menempel rapat, bibir bertemu bibir, bahkan sesekali mulut bisa menclok sampai ke leher. "Adegan seperti itu digemari anak-anak muda," kata Redatin Parwadi, seorang pemerhati televisi.

Redatin, 54 tahun, memang diilhami siaran televisi ketika hendak menyusun disertasinya di program S-3 Universitas Gadjah Maga (UGM), Yogyakarta. Ibu tiga anak itu ingin melihat, apakah siaran televisi mengubah perilaku para pemirsa mudanya. Akhir Juli lalu, ia berhasil mempertahankan disertasinya pada promosi doktor di Balai Senat UGM. Karya dosen Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Tanjungpura, Pontianak, Kalimantan Barat, yang berjudul "Pengaruh Media Televisi Terhadap Penyimpangan Nilai dan Perilaku di Kota Yogyakarta" itu meraih nilai memuaskan.

Sesuai dengan judulnya, Redatin berupaya membuktikan kekhawatiran banyak pihak atas pengaruh tayangan televisi terhadap nilai dan perilaku pemirsanya. Penelitian dilakukan lewat survei terhadap 750 warga Yogyakarta berumur 15-30 tahun, belum menikah, pendidikan minimal sekolah dasar, dan tinggal di Yogya paling sedikit dua tahun. Survei dilengkapi pula dengan observasi dan wawancara atas lima keluarga, untuk mendapat hasil lapangan tentang nilai-nilai yang dianggap baku.

Secara umum, hasil penelitian Redatin bisa memperkuat penelitian-penelitian sebelumnya. Tingginya frekuensi menonton televisi punya kontribusi atas penyimpangan nilai dan perilaku. "Kebanyakan dari mereka menganggap adegan seks di televisi adalah hal yang menyenangkan dan bikin syur," kata Redatin kepada GATRA. Sekitar 72% responden mengaku sering, dan lebih dari separuh responden tertarik, memperhatikan adegan syur di layar kaca (lihat tabel).

Tak cuma adegan syur yang menarik perhatian. Acara yang mempertontonkan kekerasan juga membetot minat menonton televisi. "Malah, ada responden yang mengaku mempelajari trik adegan kekerasan di televisi untuk melakukan tindak kriminal," kata Redatin. Celakanya, tuturnya, cuplikan adegan seks dan kekerasan tersebar di berbagai acara. Dari film, iklan, hingga berita kriminal.

Menonton dan memperhatikan adegan seks dan kekerasan tak sekadar kegemaran. Akting panas yang dipertontonkan di televisi ikut mempengaruhi perilaku dan nilai responden. Ini didukung pengakuan sebagian besar responden, yang merasa terpengaruh oleh adegan panas di televisi.

Walhasil, sebagian besar responden cenderung menyetujui penyimpangan nilai dan perilaku dalam berhubungan dengan lawan jenis. Mulai tingkat yang paling ringan seperti berciuman, sampai hubungan seks pranikah. Bahkan, hubungan seks dengan imbalan pun bisa diterima. "Itu hal biasa di era modern," ujar seorang mahasiswa yang terjaring survei Redatin. Karena hubungan badan menjadi pemenuhan kebutuhan fisik belaka, kegadisan dan hubungan seks pranikah pun tak lagi dipersoalkan.

Dengan alasan kebutuhan, atau mempertahankan eksistensi, tindakan mencuri dan merampok bila kepepet, berkata kasar, dan melawan guru cenderung dianggap soal biasa, bukan lagi penyimpangan nilai atau perilaku. "Terdapat hubungan positif dan signifikan antara frekuensi dan tingkat perhatian menonton adegan kekerasan dengan perilaku agresif," Redatin menyimpulkan. Hubungan yang sama terjadi dalam perilaku seks menyimpang.

Keruan saja, sebagian besar responden tak setuju bila adegan seks dan kekerasan dihilangkan dari layar kaca (75,6%). Alasannya macam-macam. Selain cerita menjadi kurang menarik, bumbu seks dan kekerasan sudah dianggap hal lumrah sebagai tontonan. "Seperti makan tanpa garam," begitu menurut 16,75% responden. Sebagian responden mengaku tahan menonton televisi sampai 4-5 jam sehari.

Tapi, bila dibandingkan dengan penelitian lain tentang pengaruh tayangan televisi terhadap perubahan nilai dan perilaku, Redatin mendapat temuan lain. Setelah ditelusur lebih jauh, bukan hanya tayangan televisi yang berpengaruh terhadap penyimpangan nilai dan perilaku. Ketika faktor pendidikan, lingkungan keluarga, dan ketaatan beragama dimasukkan sebagai variabel moderator dalam penelitian, pengaruh faktor-faktor ini malah lebih besar ketimbang pengaruh menonton televisi.

Yang menarik, latar belakang pendidikan ternyata kurang berperan menghambat terjadinya penyimpangan perilaku responden. "Bahkan, ada kecenderungan, makin tinggi tingkat pendidikan, makin besar tendensi terjadinya penyimpangan nilai dan perilaku," ujar Redatin. Sebaliknya, lingkungan keluarga dan ketaatan beragama berperan besar menangkal perilaku menyimpang.



Sayang, Redatin cuma bisa menduga penyebab rendahnya kemampuan tingkat pendidikan dalam menekan perilaku menyimpang. Pengaruh sistem pendidikan Barat dan sikap sekuler di masyarakat pendidikan tinggi diduga menjadi musababnya.

Menurut Prof. Sunyoto Usman, guru besar sosiologi UGM, penelitian Redatin patut dijadikan acuan. "Peneliti lain tak memasukkan pengaruh-pengaruh faktor mediator dalam meneliti pengaruh televisi," kata Sunyoto, penguji sekaligus promotor Redatin.

Ia mengharapkan adanya peneliti lain yang bisa menyempurnakan karya Redatin. "Sayang, penelitian ini hanya menggunakan metode survei," katanya. Penelitian akan lebih tajam bila dilengkapi wawancara mendalam. Sehingga dapat dikupas penyimpangan perilaku apa saja yang murni karena pengaruh televisi, dan mana yang bukan.

Selain itu, banyak dimensi lain yang belum diungkap dalam penelitian Redatin. Misalnya pengaruh kondisi sosial, ekonomi, dan politik terhadap peyimpangan nilai dan perilaku. "Melemahnya kontrol sosial dan kedudukan pemimpin lokal patut pula diperhitungkan," katanya. Tak dapat dimungkiri, dalam kehidupan nyata terjadi proses adaptasi terhadap penyimpangan suatu norma. Dan sebaliknya, tekanan suatu norma juga akan mempengaruhi tindakan.

Artinya, jangan buru-buru menyalahkan televisi bila remaja cenderung punya acuan norma berbeda dengan generasi pendahulunya.

[A. Kukuh Karsadi, dan Kristiyanto (Yogyakarta)]
[Perilaku, GATRA, Nomor 40 Beredar Senin 19 Agustus 2002]

No comments:

Post a Comment