Senin, 19 Agustus 2002.
Vonis Tommy SoehartoJakarta, 19 Agustus 2002 20:16DRAMA peradilan Tommy Soeharto telah usai. Ketukan palu Ketua Majelis Hakim, Amiruddin Zakaria, menjatuhkan vonis 15 tahun penjara bagi putra bungsu mantan penguasa Orde Baru itu.
Palu Zakaria itu meneguhkan bahwa Tommy bukan lagi warga negara Indonesia yang bebas. Ia bukan lagi seorang pembalap yang bisa bebas dari kejaran lawan, atau siapa pun yang hendak menyalipnya. Kini, ia warga negara Indonesia dengan label "terpidana", yang tentu saja harus menjadi penghuni rumah tahanan, yang memiliki aturan main sendiri.
Ada tiga tema sentral yang menjadi wacana publik belakangan ini, yang berkaitan dengan kasus Tommy.
Pertama, soal remisi. Beberapa waktu lalu, publik mempercayai bahwa pemerintah menawarkan remisi kepada Tommy karena ia dinilai secara hukum telah memenuhi syarat. Rencana itu, andaikan jadi dilaksanakan, bisa dikategorikan pelanggaran hukum. Masalahnya, remisi itu dimaksudkan sebagai instrumen negara untuk memberi hadiah kepada warganya yang telah dihukum, tetapi berkelakuan baik dan menunjukkan keseriusan menjadi warga negara yang baik.
Artinya, negara memiliki kesempatan yang banyak untuk menakar dan yakin bahwa warganya yang menjalani pidana itu telah berubah tabiat. Karena itu, negara berbaik hati memberinya hadiah berupa remisi. Dalam konteks ini, negara tidak hanya memberi hukuman kepada warganya yang bersalah, melainkan juga reward. Hukum dalam perspektif ini, selain menjadi instrumen represif, juga menjadi instrumen pendidikan.
Dengan cara berpikir seperti itu, adalah tidak logis jika pemerintah memberi Tommy remisi. Pasalnya, negara belum memiliki kesempatan untuk menakar dan meyakini bahwa Tommy punya iktikad baik, dan bisa mengubah tabiat. Tommy baru seminggu menjalani hukuman sebagai narapidana.
Bahwa Tommy mendekam di Penjara Cipinang berbulan-bulan, itu benar. Tetapi, statusnya saat itu barulah tahanan, bukan narapidana. Sementara, remisi itu diberikan hanya kepada narapidana. Dengan vonis 15 tahun penjara, berarti Tommy secara hukum terbukti melakukan pelanggaran pidana sangat berat. Di saat yang sama, ia baru seminggu menjalani hukuman. Bagaimana mungkin negara bisa menakar perilaku Tommy selama seminggu, sementara tingkat kejahatan yang dilakukannya sangat berat?
Kedua, pemindahannya ke Penjara Nusakambangan. Kebijakan pemerintah ini didukung luas oleh publik. Publik memandang bahwa pemindahan Tommy adalah wajar, sebab level pidana yang dilakukannya membuat publik cemas, jangan sampai Tommy masih bisa dengan mudah berkomunikasi dengan orang lain jika ditempatkan di Jakarta, yang membuka kemungkinan ia melakukan tindak pidana baru.
Ketiga, reaksi publik atas hukuman yang dijatuhkan kepada Tommy. Mengapa publik menganggap putusan tersebut sangat ringan, dan tidak adil dibandingkan dengan kejahatannya? Saya kira, ini menyangkut rapor masa silam Tommy.
Publik tentu saja menoleh ke belakang, menelusuri perjalanan Tommy. Ia telah dipidana majelis hakim dengan kasus merugikan keuangan negara. Putusan peninjauan kembali sebagai the last effort dalam sistem hukum kita telah meneguhkan bahwa Tommy bersalah.
Tatkala harus menjalani hukuman tersebut, ia mengecoh petugas, dan lari dari kejaran hukum. Di situ, Tommy bukan hanya memaklumkan dirinya sebagai buronan, melainkan juga menabuh genderang perang melawan negara.
Ironisnya, dalam masa pelariannya itu, ia mengotaki pembunuhan terhadap hakim agung yang memvonisnya. Ia mendesain pembunuhan tersebut setelah gagal melakukan kompromi dan tawar-menawar. Dengan ini, adalah kurang logis jika diyakini bahwa semua itu hanya kebetulan.
Lepas dari kronologi ini, ingatan dan kesadaran kolektif publik juga masih sangat segar tentang Tommy. Publik masih ingat bagaimana Tommy, lewat tangan kekuasaan ayahnya, melakukan pemiskinan struktural terhadap petani cengkeh. Publik masih ingat bagaimana Tommy menggunakan BPPC untuk memperkaya diri di atas penderitaan bangsanya. Publik masih ingat bagaimana Tommy menginstruksikan agar para petani cengkeh membakar saja cengkeh mereka, sebab ia tidak bisa lagi mengontrol suplai saat itu.
Memori kolektif bangsa ini juga masih segar mencatat bagaimana Tommy mengecoh bangsanya lewat proyek mobil nasional, Timor. Bangsa ini pun masih ingat bagaimana ia menjadi pembalap dan sponsor balapan mobil di tengah kemelaratan bangsanya.
Itu semua memang tidak ada kaitannya dengan kasus dan vonis hakim. Tetapi, semua itu adalah rangkaian negatif yang mempengaruhi persepsi publik terhadap Tommy, yang kebetulan terakumulasi lewat vonis 15 tahun itu. Rangkaian itulah yang menggelisahkan publik selama ini, lalu mereka rangkai dengan terminologi "rasa keadilan publik".
Dengan demikian, para pengacara Tommy seyogianya tidak menuntut definisi dan sosok riil rasa keadilan publik itu, tanpa berbesar jiwa untuk memahami rangkaian rapor masa lalu tadi. Rasa keadilan memang tidak bisa diukur dengan timbangan, karena ia hanya dirasakan dengan nurani. Dan, nurani itu biasanya terbangun dengan pengalaman masa lalu.
[Hamid Awaludin, Pengamat hukum]
[Kolom, GATRA, Nomor 40 Beredar Senin 19 Agustus 2002]
No comments:
Post a Comment