Selasa, 19 Pebruari 2002.
Big Brother Is Watching YouRupanya bukan hanya Raden Mas Minke--tokoh utama dalam novel Rumah Kaca karangan Pramoedya Ananta Toer--yang gerak-geriknya selalu diawasi penguasa, hingga hidupnya seperti di dalam rumah kaca. Warga Washington DC kini juga mengalami hal yang sama.
Dengan berbekal 200 unit kamera, polisi Washington kini mempunyai mata yang bisa "menembus" dinding-dinding pembatas di kota itu. Mereka dapat melihat gerak gerik anggota Kongres di perut Capitol Hill, memperhatikan turis berjalan-jalan di Lincoln Memorial, atau mengawasi para pengusaha di kawasan bisnis kota itu.
Semua itu dapat diawasi oleh petugas yang duduk sambil minum kopi di kantor pusat Metropolitan Police Department. Mereka memelototi 22 layar yang mempunyai akses ke seluruh kamera yang mereka pasang. Biayanya memang tak murah. Kepolisian Washington harus mengeluarkan US$ 7 juta untuk membuat ruang-ruang publik menjadi transparan.
Tidak hanya melihat, peralatan canggih itu juga dapat diperintahkan untuk merekam segala yang mereka tangkap di stasiun kereta bawah tanah, sekolah, dan lapangan parkir. Pokoknya jangan coba-coba berlaku mencurigakan di luar rumah, "mata-mata" polisi tengah mengawasi Anda.
Sebenarnya sistem ini sudah digunakan sejak sebelum serangan teroris 11 September 2001. Dulu, peralatan ini dikaryakan untuk momen-momen istimewa, seperti saat berlangsungnya acara pelantikan presiden baru atau pertemuan Dana Moneter Internasional (IMF). Namun, sejak 11 September, sistem ini dipakai secara lebih intensif dengan penambahan kecanggihan di sana sini.
"Peralatan ini adalah cara efektif untuk memaksimalkan sumber informasi," kata Asisten Kepala Polisi Terry Gainer yang pernah mengunjungi Cina dan Inggris untuk studi banding sistem pengintipan kegiatan publik di sana.
Sebagai ibu kota negara liberal, keputusan polisi untuk mengintip kegiatan publik merupakan masalah tersendiri. Kelompok liberal merasa hak-hak sipil dan masalah privasi mereka sudah mulai digerogoti. "Kami prihatin dengan meningkatnya keinginan untuk menjadikan kami sebagai masyarakat polisi, masyarakat yang selalu diawasi," kata Chris Hoofnagle dari Electronic Privacy Information Center.
Namun, kepolisian menganggap pengawasan dengan kamera ini jauh lebih menghargai privasi seseorang daripada harus menangkap dan menggeledah secara langsung orang-orang di jalanan. "Jika Anda berpikir tentang hak kami untuk menahan Anda atau menggunakan kekerasan, maka pengintaian dengan kamera ini jauh lebih rendah tingkatannya dalam mengganggu kebebasan sipil," kata Gainer.
Namun, kelompok liberal punya alasan lain untuk merasa keberatan dengan kamera di mana-mana itu. "Di Inggris, pengawas cenderung untuk mengawasi ras yang berbeda. Hal ini menimbulkan masalah pengelompokan masyarakat berdasarkan ras," kata Hoofnagle. "Kamera juga digunakan untuk membuntuti perempuan, dan hal ini memunculkan masalah pelecehan seksual."
Yang lebih parah lagi sebenarnya adalah kemampuan kamera-kamera tersebut dalam menangkap para begundal. "Sistem di Inggris tidak pernah berhasil menangkap teroris, meski mereka menambah dan menambahnya hingga mereka tidak dapat menghitung berapa kamera yang ada," lanjut Hoofnagle.
Penulis Inggris George Orwell pernah meramalkan pengawasan superketat model ini dalam novelnya yang terkenal, 1984. Orwell menamakan penguasa di negeri fiktif itu Big Brother, sosok yang mengaku dirinya penyayang, tapi selalu memata-matai warganya. Big Brother is watching you! afp/qaris
No comments:
Post a Comment