Cari Berita berita lama

Uang Haram Mengalir Sampai Senayan

Rabu, 16 Juli 2008.
Uang Haram Mengalir Sampai SenayanDi pagi yang cerah itu, Dedi Suwarsono terjebak dalam antrean panjang di depan teller Bank Central Asia di kawasan Jakarta Pusat, Senin dua pekan lalu. Satu jam sudah Direktur PT Binamina Karya Perkasa itu menunggu giliran. Ketika rasa jenuh mulai menyerang, tiba-tiba ponselnya berdering. "Apakah sudah melaksanakan perintah?" kata penelepon di seberang. "Saya sedang melaksanakannya," kata lelaki berbadan subur itu. Pembicaraan ini berlangsung singkat dan langsung disudahi dengan cepat, tanpa basa-basi.

Beberapa saat kemudian, Dedi selesai melakukan transaksi. Ia meminta bank melakukan transfer dari rekening perusahaan yang dipimpinnnya, PT Binamina Karya Perkasa, ke rekening PT Tetra Dua Sisi. Ini transaksi bisnis yang nilainya Rp 1,43 milyar.

Begitu transaksi kelar, ia langsung menelepon. "Tugas sudah dilaksanakan, Pak," kata Dedi melalui saluran ponsel. "Oke, terima kasih," kata lawan bicaranya, yang ternyata anggota DPR-RI dari Fraksi Bintang Reformasi, Bulyan Royan. Transaksi itu dilakukan dengan cepat, rapi, dan bersih.

Namun tidak ada kejahatan yang sempurna. Serangkaian pembicaraan melalui ponsel itu meninggalkan jejak yang bisa diendus penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Sore harinya, Bulyan Royan diciduk aparat KPK di pintu barat Plaza Senayan, Jakarta Selatan, tak lama setelah menarik uang dari money changer, PT Tetra Dua Sisi.

Aliran dana antar-perusahaan itu ternyata sebuah modus penyuapan. Bulyan, anggota Komisi V asal Riau, menerima transfer dana dari Dedi Suwarsono, pemilik perusahaan galangan kapal yang mendapat tender senilai Rp 23,2 milyar dari Departemen Perhubungan (Dephub). Dana yang ditransfer adalah uang pelicin, yang nilainya 7% dari total nilai proyek. Sebelumnya, ayah lima anak itu menerima uang muka Rp 250 juta, yang diberikan dalam tiga tahap.

Bulyan dicuduk pada saat berjalan kaki menuju mobilnya yang diparkir tak jauh dari pintu barat Plaza Senayan, Senin dua pekan lalu, dengan barang bukti uang Rp 684 juta. Menurut penasihat hukum Dedi Suwarsono, Kamarudin Simanjuntak, semua pembayaran kliennya kepada anggota DPR maupun para pejabat Dephub dilakukan dalam mata uang rupiah. "Semuanya divalidasi secara legal," katanya. Namun versi lain yang dilansir KPK menyebutkan, uang itu terbagi dalam dua bentuk mata uang, yaitu US$ 60.000 dan 5.500 euro. Uang itu menjadi barang bukti yang kini ada di tangan penyidik.

Belitan kasus ini langsung menghentikan kiprah politikus kelahiran Kubu Rokan Hilir, Riau, 1 Januari 1958, itu di gedung parlemen. Partai Bintang Reformasi me-recall-nya dari keanggotaan dewan dan segera mengangkat pengganti antar-waktunya. Namun yang lebih serius adalah kasus hukumnya.

Setelah ditangkap, Pengasuh Pesantren Al-Royan, Pekanbaru, itu dibawa ke kantor KPK, Jalan Rasuna Said, Kuningan, Jakarta Selatan. Politikus yang pernah menjabat sebagai Ketua Himpunan Pengusaha Pribumi Indonesia di Riau itu diperiksa secara nonstop selama 14 jam. Pemeriksaan Bulyan bersamaan dengan penggeledahan rumahnya di Apartemen Permata Hijau, Simpruk, Jakarta Barat, dan kantor Dephub di Jalan Merdeka Barat, Jakarta Pusat.

Selasa subuh, KPK menangkap Dedi Suwarsono di rumahnya, juga di kawasan Permata Hijau. Keduanya langsung dinyatakan sebagai tersangka. "Klien saya terjebak sistem," kata Kamarudin Simanjuntak kepada Gatra. Menurut Kamarudin, praktek kotor di Dephub sudah biasa. Seharusnya KPK memeriksa semua kontraktor yang mendapat tender di departemen itu, bukan hanya mengorbankan kliennya. "Masyarakat ingin transparansi. Semua pengusaha harus diperiksa, jangan ditutup-tutupi," katanya.

Melihat jalan cerita kasus ini, anggota DPR ternyata memosisikan diri sebagai pengatur anggaran dan pembagi tender. Pengusaha tidak dalam posisi melobi pejabat, tapi justru diundang untuk bersekongkol melakukan permainan.

Kasus ini bermula pada tahun lalu, ketika Dephub mengagendakan pengadaan 20 unit kapal patroli dengan nilai total Rp 120 milyar. Alokasi anggarannya mendapat pengesahaan di tingkat sidang Komisi V DPR-RI, yang membawahkan bidang infrastruktur dan perhubungan. Sejak masih dalam tahap rencana, pihak yang "jeli" menggiring pengadaan barang itu agar menyisakan dana yang bisa dialirkan ke kantong pribadi. Pada September tahun lalu, Bulyan mendekati beberapa perusahaan yang bergerak dalam bidang galangan kapal. Ada lima yang tertarik.

Lima pengusaha yang berminat itu kemudian diundang ke Hotel Crowne Plaza, Jalan Gatot Subroto, Jakarta Selatan. Di tempat ini, para calon peserta lelang itu dibrifing oleh Bulyan Royan bersama dua pejabat Dephub. Kepada para tamunya, Bulyan mengaku bertindak mewakili teman-temannya di Komisi V.

Intinya, para peserta tender akan diberi order dengan nilai tertentu, dengan syarat menyisihkan komisi 7% sampai 8% dari nilai proyek untuk tiap-tiap pejabat terkait. Yang dimaksud adalah anggota DPR dan dua pejabat Dephub itu. Para kontraktor akan mendapat potongan harga 1% apabila menyetor secara tunai dalam waktu cepat.

Setelah pertemuan pertama itu, pematangan dilakukan dalam empat kali rapat di tempat yang sama. Serangkaian pertemuan ini ditutup dengan pertemuan final di Taman Wisata Ancol sembari menikmati sauna, Mei lalu. Pada saat itulah pembayaran pertama dilakukan untuk dua orang dari Dephub sebanyak Rp 20 juta dan US$ 1.500.

Setelah itu, proses berjalan lancar sesuai dengan rencana. Bulyan Royan kembali bertemu dengan para kontraktor di Hotel Borobudur, Jakarta Pusat, 24 Juni lalu. Pertemuan ini hanya menegaskan bahwa total kewajiban tiap-tiap kontraktor kepadanya adalah Rp 1,68 milyar.

Untuk sementara, kasus ini hanya menjerat Bulyan Royan dan Dedi Suwarsono. Empat kontraktor lain yang kecipratan tender serupa belum disentuh. Mereka adalah Budi Suhaemi (PT Carita Boat Indonesia), Kresna Santosa (PT Proskuneo Kadarusman), Lies Kurniawati (PT Sarana Fiberindo Marina), dan Supratno Ramli (PT Febrite Fiberglass). Dalam tender itu, masing-masing kecipratan order membuat empat kapal, yang masing-masing berukuran 28 meter seharga Rp 5,8 milyar.

Selain itu, tiga pejabat Dephub yang terlibat juga belum dijamah tangan KPK. Namun mereka dinonaktifkan dari jabatannya agar memudahkan KPK menyidik kasus ini. Mereka adalah Djoni Alghamar (Direktur KPLP, selaku kuasa pengguna anggaran), Didik Suhartono (Kepala Seksi Pangkalan Kesatuan Penjagaan Laut Kelas I Tanjung Priok, dalam kapasitas sebagai ketua panitia tender), dan Tansean P. Malau (Kepala Seksi Direktorat Kesatuan Penjagaan Laut).

Kini kasus itu tengah ditangani KPK secara intensif. Menurut Wakil Ketua KPK Bidang Penindakan, Chandra M. Hamzah, transfer antar-perusahaan merupakan modus baru penyuapan. "Modus penyuapan dilakukan dengan cara mentransfer uang ke money changer," katanya.

Dedi Suwarsono, melalui pengacaranya, Kamarudin Simanjuntak, mengakui menyetor sejumlah uang. Namun, menurut dia, itu hanya success fee, bukan suap. "Bedanya, success fee merupakan uang terima kasih, tidak mempengaruhi kebijakan yang diambil pejabat yang berwenang," kata Kamarudin. Menurut Kamarudin, pemberian uang proyek sudah biasa di lingkungan Dephub. Kalau tidak, pengadaan barang tak akan diproses oleh pejabat yang berkaitan. Jumlah fee yang biasa diterapkan maksimal 8% dari nilai proyek.

Perihal penerimaan uang dari kontraktor itu dibenarkan pengacara Bulyan Royan, Inu Kertapati. Namun jumlahnya tidak sebesar itu. "Penerimaannya dua kali, 55.000 euro, sebelumnya 40.000 dolar kalau nggak salah," ujarnya. Tapi Inu tidak menjelaskan lebih lanjut mekanismenya. "Saya malah belum tahu. Itu kan pengakuan pengusaha," ungkapnya.

Perkara yang menimpa Bulyan ini menambah panjang daftar kasus korupsi yang melibatkan anggota parlemen. Sebelumnya, angota Fraksi PPP, Al Amin Nasution, ditangkap KPK dalam kasus suap Rp 4 milyar untuk pengalihan fungsi hutan lindung di Kabupaten Bintan. Penangkapan Al Amin beriringan dengan temuan KPK yang lain tentang aliran dana Bank Indonesia ke kantong 50 anggota DPR. Dua di antaranya ditetapkan sebagai tersangka, yakni mantan anggota DPR Antony Zeidra Abidin dan anggota DPR Hamka Yandu.

Buntut kasus bancakan duit di Senayan itu menyabet pula dua nama menteri Kabinet Indonesia Bersatu. Yang pertama adalah Menteri Kehutanan (Menhut) M.S. Kaban. Dalam persidangan kasus Al Amin Nasution di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi, Senin lalu, nama menteri dari Partai Bulan Bintang itu disebut-sebut. Sekda Kabupaten Bintan, Azirwan, dalam percakapan dengan seseorang berinisial AN dan MALE pada 14 November lalu, yang direkam KPK, menyebutkan, ?Uang empat milyar ini harus kita hemat juga. Saya usahakan dua di DPR dan satu di menteri," katanya.

Empat belas hari kemudian, terjadi lagi percakapan di antara keduanya. "Mungkin mereka mau bawa saya jumpa Pak Ka'ban sekalian," kata dia. Seminggu berselang, terjadi percakapan final. "Menhut sudah selesai, tinggal-DPR RI," ujar Azirwan, seperti terdengar dalam rekaman.

Nama menteri kedua yang terkait adalah Paskah Suzetta, Menteri Negara Perencanaan Pembangunan Nasional. Sesuai dengan penuturan mantan anggota DPR Hamka Yandhu kepada penyidik KPK, uang dari Bank Indonesia yang mengalir sampai jauh itu berasal dari Paskah Suzetta, yang pada saat itu menjadi Ketua Panitia Kerja Amandemen Undang-Undang Bank Indonesia. Hamka mengaku mendapat perintah dari Paskah untuk meneruskan sejumlah uang kepada beberapa anggota DPR. Misalnya kepada Tjiandra Widjaja sebanyak Rp 500 juta.

Kalau kasus ini dilihat dari sisi positifnya, partai politik ternyata tidak melindungi kadernya yang kejeblos masalah. Menurut Ketua DPP Partai Bintang Reformasi (PBR), Yusuf Lakaseng, partai tidak perlu memberi perlindungan kepada kadernya yang bersalah. Lakaseng menilai, tidak ada keterkaitan antara korupsi dan pendanaan partai politik. "Partai tidak pernah memerintahkan anggotanya untuk mengumpulkan dana. Korupsi itu merupakan tindakan pribadi, yang dilandasi niat untuk memperkaya diri," katanya.

Menurut Lakaseng, tindakan Bulyan Royan merupakan aib bagi PBR, sehingga Bulyan perlu diberhentikan dari kedudukannya di parlemen. Dan itu, katanya, tak perlu menunggu adanya keputusan tetap. "Setelah dijadikan tersangka oleh KPK, sudah cukup alasan untuk dilakukan pergantian antar-waktu," ia menegaskan.

Anggota Badan Pekerja Indonesia Corruption Watch, Emerson Juntho, berpendapat bahwa kembali tertangkap tangannya anggota DPR itu menunjukkan, rakyat tidak lagi memiliki malu untuk melakukan suap dan korupsi. "Mereka nekat karena butuh dana politik untuk Pemilu 2009," ujarnya. "Saya kira, fenomena ini akan berlanjut hingga pemilu mendatang," ia menambahkan.

Emerson menyatakan, penangkapan anggota DPR itu juga menunjukkan bahwa internal DPR tidak punya mekanisme pembersihan diri yang efektif. "Tertangkapnya anggota DPR yang ke sekian kali ini menunjukkan, partai politik dan Badan Kehormatan DPR gagal melakukan tugasnya," Emerson menandaskan.

Mujib Rahman, Anthony, dan Syamsul Hidayat
[Nasional, Gatra Nomor 35 Beredar Kamis, 10 Juli 2008]

No comments:

Post a Comment