Kamis, 24 Januari 2002.
Menunggu Palu Sang PengawasJakarta, 24 Januari 2002 00:08JALAN berkelok-kelok harus ditempuh untuk memeras lima bank menjadi satu. Lima bank yang mau disatukan itu adalah milik Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN). Mereka adalah Bank Bali, Universal, Artha Media, Patriot, dan Prima Ekspres. Hingga pekan lalu, Bank Indonesia masih belum memutuskan status bank yang akan digabung itu: bank dalam penyehatan, atau malah dilikuidasi.
Keputusan itu harus dikeluarkan Bank Indonesia (BI), menyusul dilayangkannya surat dari BPPN, awal Desember tahun lalu. Dalam surat itu BPPN menyatakan, empat bank perlu mendapatkan status dalam penyehatan, sebagaimana Bank Bali, untuk melancarkan proses merger. Bila bank berpredikat dalam penyehatan, segala kewenangan, baik pengawasan maupun pembinaannya, tak lagi dilakukan BI, melainkan diserahkan ke BPPN.
Tapi, BI tak mau begitu saja mengiyakan kemauan lembaga pelat merah yang bertugas menyehatkan bank itu. ''Memberikan status bank dalam penyehatan kan ada aturannya,'' kata Gubernur BI, Syahril Sabirin. Rambu yang dimaksudnya adalah Pasal 8 a Peraturan Bank Indonesia, yang diluncurkan Desember tahun lalu. Isinya, BI akan memberikan status ''bank dalam penyehatan'' kepada suatu bank bila memberi pengaruh cukup besar bagi masyarakat. Pengaruh itu bisa dilihat dari ukuran bank serta nasabahnya.
''Berdasar aturan itu, dua bank tak bisa diberi predikat dalam penyehatan,'' kata Syahril. Alternatif yang kemudian muncul adalah kemungkinan likuidasi terhadap dua bank itu. Awalnya, BI tak mau mengungkapkan nama bank yang tak layak diberi status dalam penyehatan dan kemungkinan malah dibekukan itu. Tapi, belakangan buka mulut juga.
Adalah Deputi Senior Gubernur BI, Anwar Nasution, yang memberikan bocoran. ''Jelas sekali, bank itu Primeks dan Patriot,'' kata Anwar, seusai pelantikan Deputi Gubernur BI yang baru di Gedung BI, Jalan Thamrin, Jakarta, Jumat pekan lalu. Primeks yang dimaksud guru besar Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia itu adalah Bank Prima Ekspres. Namun, model likuidasi yang akan diterapkan masih dalam pembahasan.
Biarpun likuidasi terhadap dua bank tadi mungkin terjadi, menurut Anwar, peluang diberikannya status dalam penyehatan juga masih terbuka. Pilihan mana yang mau diambil tergantung berapa ongkos yang harus dikeluarkan. Bila likuidasi bank yang dipilih, paling tidak pemerintah mesti merogoh kocek untuk membayar dana pihak ketiga, pesangon karyawan, dan kredit macetnya.
Namun, bila pilihan memberi status penyehatan yang diambil, pemerintah mesti mengganti kredit macetnya. Dari laporan keuangan per September 2001, besarnya dana pihak ketiga Bank Prima Ekspres adalah Rp 1,49 trilyun. Kredit macetnya Rp 616 milyar. Untuk Bank Patriot, besarnya dana pihak ketiga Rp 367 milyar dan kredit macetnya Rp 5,2 milyar.
Sebenarnya, gagasan melikuidasi sebagian dari lima bank peserta merger itu tak lagi menjadi kebijakan pemerintah. Beleid itu bisa diubah, namun harus melalui keputusan Komite Kebijakan Sektor Keuangan. Menurut Soebowo Musa, Deputi Ketua Restrukturisasi Bank BPPN, agar merger bisa berlangsung mulus, BPPN perlu meminta BI memberikan status bank dalam penyehatan kepada peserta merger. ''Bila status itu tak diberikan, tak mungkin ada due diligence,'' kata Soebowo.
Menurut master dari New York University itu, posisi sebagai pemegang saham mayoritas lima bank tersebut tak otomatis membuat BPPN bisa masuk melihat kondisi keuangan bank secara menyeluruh. Bank-bank itu masih dalam pengawasan BI, sehingga hanya BI yang punya wewenang. Soebowo berharap, BI meluluskan permintaan BPPN.
Tujuan akhir proses merger adalah membuat bank yang digabung menjadi sehat, sehingga bisa bersaing. Kelak, ketika bank itu dikembalikan ke BI, bank sentral tinggal menerimanya dalam keadaan sehat. "Ujung-ujungnya, BI juga yang untung," katanya.
Soebowo mengakui, masyarakat kadang khawatir bila tabungannya disimpan di bank berstatus dalam penyehatan. Padahal, dengan status ini, dana nasabah lebih terjamin. Selain sudah ada program penjaminan dari pemerintah, di BPPN bank akan disehatkan kembali. "Isu bahwa bila berstatus dalam penyehatan akan membuat rush, itu menyesatkan," ujar Soebowo, yang juga Komisaris Bank Niaga itu. Ia memberikan contoh, sampai kini Bank Niaga dan Danamon masih berstatus dalam penyehatan.
Namun, apa pun pilihan yang mau diambil, baik likuidasi maupun memberikan status dalam penyehatan, keduanya tak bisa dilakukan saat ini. Menurut Paskah Suzetta, Wakil Ketua Komisi IX DPR, pilihan likuidasi sebaiknya tak diambil BI. Alasannya, pemerintah mesti mengeluarkan duit lebih besar ketimbang bila menggabungkan kelima bank peserta.
Lagi pula, Paskah melanjutkan, keputusan penggabungan itu memang untuk menghindari likuidasi. Tujuannya, untuk membentuk bank baru yang sehat sesuai dengan persyaratan BI. Yaitu, nilai rasio kecukupan modal (CAR)-nya minimum 8%, dan kredit bermasalahnya tak lebih dari 5%.
Pilihan memberikan status dalam penyehatan, masih kata Paskah, juga tak bisa dilakukan. Bila status itu diberikan, pemerintah mesti mengeluarkan dana rekapitalisasi tahap kedua. ''Padahal, rekap kedua berdasarkan kesepakatan DPR dan pemerintah hukumnya haram,'' kata orang Golkar Jawa Barat ini. Paskah menyarankan, proses merger tetap dilakukan, dan BI membantu BPPN untuk melakukan due diligence terhadap bank peserta.
[Irwan Andri Atmanto]
[Ekonomi Gatra Nomor 10 Tahun ke VIII, Beredar 21 Januari 2002]
No comments:
Post a Comment