Cari Berita berita lama

KoranTempo - Memahami Pembinaan Teritorial

Rabu, 4 Agustus 2004.
Memahami Pembinaan TeritorialLetnan Jenderal TNI (Purn.) Agus WidjojoMantan Kepala Staf Teritorial TNI, Senior Fellow CSIS, dan Senior Adviser pada United Nation Support Facility for Indonesian Recovery

Apa sebenarnya arti pembinaan teritorial, dan siapa yang memiliki kewenangan untuk menyelenggarakan fungsi tersebut? Pertanyaan ini perlu kita jawab agar sampai pada pengertian guna bisa memahami wacana tentang pembinaan teritorial berkaitan dengan diwadahinya fungsi pembinaan teritorial dalam Rancangan Undang-Undang Tentara Nasional Indonesia.

Dalam uraian yang paling sederhana, pembinaan teritorial dapat diartikan sebagai pembinaan (manajemen) terhadap segenap sumber daya nasional, yang berada dalam batas wilayah geografis tertentu (teritori) untuk mendukung kepentingan nasional, termasuk di dalamnya kepentingan pertahanan. Karena secara konstitusional--berdasarkan Pasal 10 dan 11 bab III UUD 1945 dan Tap MPR Nomor VII Tahun 2000--TNI mendapat peran pertahanan untuk menjaga kedaulatan negara, pembahasan tentang pembinaan teritorial tidak dapat tidak melibatkan keterlibatan TNI.

Di masa lalu, pembinaan potensi nasional di daerah untuk mendukung upaya pertahanan nasional dilaksanakan langsung oleh TNI melalui komando teritorial di daerah. Keadaan ini dimungkinkan karena tatanan ini kita warisi dari masa lalu yang berawal dari tatanan pemerintah gerilya, dan ketika negara berada dalam keadaan darurat. Dalam kedua keadaan tersebut, fungsi pemerintahan pada hakikatnya dipegang oleh pemerintahan darurat militer.

Dinyatakan bahwa pemerintahan militer adalah suatu alat negara di bawah perlindungan tentara, yang berkewajiban (a) mengalirkan segala kekuatan (nationale potentie) untuk pertahanan dari masyarakat kita ke arah perjuangan negara, (b) mempersatukan dan menggerakkan (mengkoordinasi dan mengaktifkan) tenaga sipil, dan (c) bertanggung jawab dan melaksanakan pertahanan de facto militer, pertahanan de facto pemerintahan, dan pelaksanaan kesejahteraan rakyat (Dr. A.H. Nasution tentang pemerintah gerilya di desa dan di kecamatan dalam Sekitar Perang Kemerdekaan Jilid 10, hlm. 357-414, atau Sejarah Angkatan Darat, Angkasa Bandung, 1993).

Dalam kaitan ini, kita dapat melihat bahwa fungsi "mengalirkan segala kekuatan (nationale potentie) untuk pertahanan" merupakan fungsi pemerintahan. Karena pemerintahan gerilya merupakan pemerintahan darurat militer, pembinaan teritorial dilakukan oleh TNI sebagai pelaksana pemerintahan darurat militer. Keadaan yang sama sebenarnya berlaku ketika suatu daerah dinyatakan dalam tingkat keadaan bahaya darurat militer.

Namun, ketika negara ini berada dalam keadaan damai dan tingkat keadaan tertib sipil, pengaturan kewenangan segenap institusi secara maksimal dikembalikan pada kaidah sesuai dengan sistem politik yang dianut serta ketentuan konstitusi. Apabila kita sepakat bahwa Undang-Undang Dasar 1945 mengamanatkan sistem politik berdasarkan demokrasi dengan kedaulatan berada di tangan rakyat, segenap penjabaran penyelenggaraan kekuasaan dalam ketatanegaraan harus konsisten didasarkan pada kaidah demokrasi.

Di dalam demokrasi, kekuasaan politik untuk menjalankan negara oleh rakyat diberikan kepada pejabat publik yang dipilih oleh rakyat, terbagi atas pejabat dalam kekuasaan eksekutif untuk membuat dan melaksanakan kebijakan, dan pejabat dalam kekuasaan legislatif untuk melaksanakan kontrol atas kekuasaan eksekutif. Dari tatanan ini kita lihat bahwa Panglima TNI tidak merupakan pejabat publik yang dipilih oleh rakyat. Panglima TNI hanya bertindak atas keputusan politik yang dibuat oleh otoritas politik eksekutif, dalam hal ini presiden.

Sejalan dengan alur pikir tersebut, karena fungsi pembinaan teritorial merupakan fungsi pemerintahan, dalam masa damai fungsi tersebut merupakan kewenangan administrasi pemerintahan sipil. Hal ini dipertegas apabila kita melihat Pasal 10 UU No. 22/1999 tentang Pemerintahan Daerah yang menyatakan bahwa daerah berwenang mengelola sumber daya nasional yang tersedia di daerahnya.

Masalah yang muncul adalah tidakkah kewenangan pembinaan teritorial yang dimiliki oleh pemerintahan darurat militer dan dilaksanakan oleh TNI merupakan duplikasi terhadap kewenangan pemerintahan sipil di masa damai, karena menangani fungsi dan obyek yang sama: manajemen sumber daya nasional. Selanjutnya, apabila berdasarkan kaidah demokrasi, kewenangan politik telah diberikan kepada pejabat publik (sipil) yang dipilih oleh rakyat melalui pemilihan umum, tidakkah TNI tidak memiliki kewenangan untuk membina sumber daya nasional di masa damai, karena tidak lagi merupakan bagian dari pemerintahan darurat militer?

Fungsi pembinaan teritorial dalam keadaan darurat dilaksanakan oleh komando teritorial TNI. Namun, apabila kita meninjau kilas baik terhadap keberadaan komando teritorial, pembinaan teritorial bukan merupakan satu-satunya peran yang harus dilaksanakan oleh komando teritorial. Dalam keadaan darurat dalam bentuk pemerintahan gerilya, komando teritorial mempunyai fungsi pertahanan dan pembinaan teritorial. Oleh karena itu, komando teritorial di masa lalu dinamakan juga tentara dan teritorium.

Fungsi "tentara" dalam hal ini dimaksudkan sebagai fungsi pertahanan untuk menyelenggarakan dan mengendalikan operasi militer. Sementara itu, fungsi "teritorium" adalah fungsi pemerintahan untuk membina sumber daya nasional. Dengan demikian, apabila sebuah komando teritorial tidak lagi melekat sebagai pemerintahan darurat militer, ia hanya dapat hadir sebatas dalam fungsi pertahanan, tanpa memiliki kewenangan yang dapat menjangkau sumber daya nasional yang berstatus "sipil". Dalam keadaan demikian, baru dapat dikatakan bahwa komando teritorial merupakan bentuk dari gelar pertahanan. Tatanan ini pun konsisten apabila dilihat dari kewenangan yang diberikan kepada TNI oleh konstitusi, yaitu kewenangan dalam fungsi pertahanan.

Fungsi pertahanan pada sisi lain juga merupakan fungsi pemerintahan dan tidak semata-mata dilakukan sendiri sepenuhnya oleh TNI. Dalam masa damai, penyiapan dan pembinaan sumber daya nasional untuk mendukung upaya pertahanan juga menjadi tanggung jawab pemerintah dalam segala lingkup fungsinya. Dalam implementasinya, penyelenggaraan fungsi pembinaan tersebut merupakan wujud dari sistem pertahanan keamanan rakyat semesta dalam negara modern dan demokratis, yang pada hakikatnya merupakan pelaksanaan dari doktrin yang lebih komprehensif, yaitu "pertahanan semesta".

Dalam konteks ini, apabila kita lihat dalam kerangka doktrin, kemanunggalan TNI-rakyat tidak dapat dilepaskan dari kewenangan yang diberikan oleh konstitusi kepada TNI. Kewenangan ini berarti, dalam keadaan darurat militer dan perang, TNI berfungsi sebagai pelaksana fungsi pemerintahan yang mempunyai kewenangan menjangkau ke dalam wilayah sumber daya nasional yang berstatus "sipil". Namun, sebaliknya, dalam masa damai, kewenangan yang diberikan kepada TNI adalah dalam lingkup fungsi pertahanan sebagai instrumen pelaksana pertahanan nasional berdasarkan keputusan politik.

Benar adanya bahwa setiap prajurit TNI harus bersikap menghargai dan melindungi rakyat sebagai tiang penopang kemanunggalan TNI-rakyat. Namun, jika kita perhatikan, segenap doktrin yang menjadi rujukan bagi kemanunggalan TNI-rakyat merupakan rujukan bagi perorangan prajurit TNI, bukan dimaksudkan ditujukan kepada TNI sebagai institusi. Sebab, jika kita berbicara tentang kewenangan pada tingkat institusi, kita akan kembali pada kewenangan yang diberikan kepada TNI oleh konstitusi, yaitu sebagai instrumen pertahanan nasional.

Hal ini dapat kita uji kembali dari kaidah demokrasi bahwa konstitusi tidak memberi kewenangan kepada TNI untuk mempunyai kewenangan langsung atas rakyat. Bagi TNI selaku institusi, rakyat telah memberikan mandatnya kepada presiden, yang akan membuat keputusan politik bagi TNI sebagai otoritas politik di tingkat nasional. TNI tidak memiliki kewenangan langsung atas rakyat karena Panglima TNI tidak dipilih oleh rakyat, tetapi merupakan pembantu yang diangkat oleh presiden. Dalam konteks demokrasi, dan persepsi TNI, rakyat telah diwakili oleh presiden dalam kekuasaan eksekutif.

Mengikuti alur uraian di atas, maka pemahaman terhadap fungsi pembinaan teritorial harus dilihat secara komprehensif atas pendekatan (1) hakikat pembinaan teritorial adalah fungsi pembinaan sumber daya nasional (2) menurut kewenangan pada setiap tingkat keadaan bahaya yang memberi kewenangan berbeda bagi TNI dan pemerintahan sipil (3) sesuai dengan kaidah demokrasi seperti diamanatkan oleh konstitusi. Akhirnya, konsistensi antara sistem politik demokrasi sebagaimana yang diamanatkan konstitusi dan peran serta kewenangan yang diberikan kepada TNI oleh konstitusi dimaksudkan agar kita dapat memberi perlindungan hukum bagi setiap prajurit TNI, dalam tugas apa pun yang diberikan oleh bangsa melalui otoritas politik dan pimpinan TNI, sehingga tidak terjebak dalam wilayah pelanggaran hukum ataupun hak asasi manusia.

Pembinaan teritorial tidak hadir sebagai fungsi organik yang melekat pada TNI, tetapi menjadi fungsi organik ketika TNI menjadi pemerintahan darurat militer dan keadaan perang. Dalam keadaan damai, fungsi tersebut tetap merupakan fungsi pemerintahan yang dilaksanakan oleh pemerintahan sipil. Sesungguhnya pembinaan teritorial lebih merupakan fungsi pemerintahan daripada fungsi organik TNI.

No comments:

Post a Comment