Selasa, 29 Januari 2008.
Merangkai Sakura, Mengolah 'Nendo'
Lukisan menawan itu terbuat dari tepung roti yang telah dicampur zat pengenyal.
Di tangan Emmy Nurhayati Subagyo (50 tahun), adonan tepung roti itu disulap menjadi lukisan bunga bernilai puluhan juta rupiah. Inilah oleh-oleh yang diboyongnya dari Jepang setelah lima tahun tinggal di negeri Sakura itu, yaitu seni merangkai bunga berbahan nendo. Nendo adalah tepung roti yang telah dicampur zat pengenyal. Jika didekatkan ke lubang hidung, aroma tepung roti masih terasa menyengat. Tetapi,''Tepung ini sudah enggak bisa digoreng jadi roti, lho,'' kata Emmy setengah bercanda. Nah, di Jepang, nendo lazim digunakan sebagai bahan baku kerajinan tangan, misalnya membuat bunga imitasi. Ada sekitar 20 lukisan bunga nendo yang dipajang di tembok rumahnya di Jl Tirtayasa, Villa Indah Padjadjaran, Bogor. Karya artistik ini disimpan dalam bingkai kaca yang besar. Amat elegan. Siapa sangka, lukisan bunga-bunga tiga dimensi ini terbuat dari tepung roti. Emmy adalah orang Indonesia 'alumni' Jepang yang terus berkarya di jalur seni bunga nendo, jika bukan satu-satu!
nya. Ada sekitar 70-an lukisan nendo yang pernah dilahirkan tangan dinginnya sejak berkecimpung di seni tradisional khas negeri matahari terbit itu. Sebanyak 50-an di antaranya ia simpan sebagai koleksi pribadi yang tersebar di kediamannya di Bogor dan Jakarta. Bunga warna-warni bertaburan di sana sini. Maklum, dalam satu lukisan, Emmy bisa menduplikasi 30-an jenis bunga sekaligus tumplek di kanvas. Ada bunga tulip, mawar, begonia, anggrek, margareta, katlea, bunga matahari, dan masih banyak lagi. Meski begitu, favorit Emmy adalah lukisan monokultur bunga sakura, bunga khas Jepang. Lukisan perdana bunga sakura ia buat pada 1996. Setinggi 1,1 meter, lukisan bersejarah itu ditaburi 4.000 bunga sakura! Bayangkan, Emmy harus membuat replika bunga ini satu per satu dari bahan adonan tepung roti. Lukisan berwarna putih keunguan itu ia rampungkan dalam tempo dua tahun. Tak hanya mewujud dalam bentuk lukisan. Produk buatan tangan Emmy berbahan nendo ini juga tampil dalam rupa yang!
lain antara lain cermin dan jam dinding yang ditaburi bunga n!
endo di
pinggir-pinggirnya, boneka nendo, atau bunga nendo dalam pot. Titik nol Perkenalan Emmy dengan seni merangkai bunga nendo dimulai pada 1994 ketika ia tinggal di Tokyo, Jepang, menemani sang suami, Drs H Subagyo (alm), dinas di BNI Tokyo. Mulanya, adalah sekadar membunuh waktu untuk menunggu suami pulang kantor, menunggu tiga putrinya pulang sekolah, dan momong putra bungsunya yang belum lama lahir. Dengan membayar uang kursus 3.000 yen per bulan, Emmy berguru kepada seorang sinsei (guru) berusia 70 tahun bernama Kasamatsu. Kasamatsu, kata Emmy, terbilang sinsei langka. Ia termasuk satu dari segelintir sinsei yang 'bersedia' mengajari seni nendo kepada orang-orang Indonesia. Sebab, tak sedikit, sinsei yang ogah. Dalam pandangan mereka, orang Indonesia itu tergolong malas. ''Maunya serba-instan. Merangkai bunga pun inginnya cepat bisa, padahal seni nendo perlu ketekunan luar biasa,'' tutur Emmy. Benar saja. Kali pertama kursus, sang sinsei langsung memberi Emmy tugas 'menyeb!
alkan'. Bayangkan, ia harus membikin 1.200 bunga seukuran pentul korek dari adonan nendo. ''Susahnya bukan main,'' kata dia. Emmy menyebutnya fase itu sebagai 'titik nol'. Begitulah. Seni merangkai bunga nendo klasik memang selalu diawali dengan membuat bunga-bunga berukuran mungil. ''Tradisinya seperti itu, sejak zaman Oshin,'' seloroh dia. Toh, saat ini Emmy bisa menuai hasilnya. Kepada Republika, Emmy menujukkan kebolehannya menciptakan bunga mungil dari adonan tepung roti dalam tempo singkat. Pertama-tama, ia memotong beberapa kuncup bunga asli berwarna oren dari pot. Setelah mengamatinya beberapa saat, ia langsung mencomot secuil adonan, melumurinya dengan cat minyak, dan membentuknya lewat kecekatan tangan. Dan, kuncup bunga-bunga imitasi itu pun lahir. Betul-betul mirip. Bahkan hingga ke bagian yang paling detail. ''Diperlukan kecermatan dan imajinasi yang kuat di sini,'' ia mengungkap. Meski begitu, Emmy meyakinkan membuat bunga dari nendo tidak sulit. Bahkan, pera!
latannya amatlah sederhana. Selain 'kecerdasan' jemari, cuma d!
ibutuhka
n gunting kecil, batang logam pembentuk (orang Jepang menyebutnya 'stick') dalam pelbagai ukuran, zat pewarna yang terdiri dari water soluble oil colors dan cat acrylic, serta mini-press. Untuk kasus tertentu, diperlukan pula cetakan tekstur daun. Namun, nyawa dari seni merangkai bunga ini adalah nendo. Di Indonesia, bahan ini lazimnya didatangkan dari Jepang dan Thailand. Harganya tidak terlalu murah. Di Jepang, 1,5 kilogram nendo dibanderol 1.000 yen. Adonan tepung roti ini, kata Emmy, berkarakteristik mudah kering. ''Tetapi amat luwes untuk dibentuk. Coba saja,'' kata Emmy yang bisa lupa segalanya manakala sudah bergelut dengan adonan-adonan itu. Meniru ucapan sang sinsei, bunga-bunga imitasi ini, kata Emmy, mesti dibuat sealami mungkin. Kalau ada yang sobek, ya harus dibuat ada sobekan. Kalau rontok, ya mesti dibikin tekstur bunga rontok. ''Semakin natural, semakin bagus,'' katanya. Emmy bahkan rela menanam sejenis bunga, menunggunya tumbuh, lantas memerhatikannya saban!
hari untuk memperoleh 'potret' sempurna dari bunga yang bakal diduplikasi tersebut. Prinsip inilah yang membikin Emmy mesti menghabiskan waktu hingga dua tahun untuk merampungkan lukisan bunga sakura pertamanya. Lumut adalah salah satu alasan. Bayangkan, selama beberapa bulan, Emmy hanya menyentuh dan mengelus-elus lumut untuk memperoleh tekstur sejati tumbuhan ini supaya duplikasinya kelak akurat. Lumut kebetulan lazim terdapat di batang pohon sakura. Meski begitu, waktu yang dihabiskan untuk membuat satu lukisan nendo bisa bervariasi. Ada pula yang rampung dalam hitungan hari atau minggu. Melukis, kata Emmy, adalah salah satu cara dia mengusir rasa stres. ''Semakin stres, semakin cepat lukisan itu rampung,'' Emmy tergelak. iman yuniarto
( )
No comments:
Post a Comment