Cari Berita berita lama

Republika - Mafia Bea Cukai

Senin, 9 Juni 2008.

Mafia Bea Cukai












Emerson Yuntho Anggota Badan Pekerja Indonesia Corruption Watch Jumat (30/5) lalu merupakan hari kelabu yang paling tidak dilupakan bagi seluruh jajaran instansi Bea dan Cukai. Inspeksi mendadak (sidak) yang dilakukan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK di Kantor Pelayanan Utama Bea Cukai Tanjung Priok secara mengejutkan telah menemukan sejumlah uang yang diduga hasil suap senilai hampir setengah miliar rupiah. Tidak saja level pejabat yang menikmati dan melakukan korupsi tersebut, tapi boleh dibilang pada semua tingkatan. Dalam mafia Bea dan Cukai itu selain pejabat dan petugas Bea Cukai, juga terlibat pihak ketiga, seperti pengusaha, satuan pengamanan bahkan karyawan cleaning service dan tukang parkir pun ikut menjadi aktor proses suap di lingkungan kepabeanan ini. Bukan rahasia umum selama ini sering terjadi adanya permainan antara aparat Bea Cukai dan importir dalam hal kepengurusan kepabeanan. Bukan sekadar mempercepat pengurusan dokumen, tetapi juga ada mani!
pulasi bea masuk. Barang yang semestinya kena bea besar, kemudian diganti speknya dan diturunkan bea masuknya, Dengan begitu negara dirugikan miliaran rupiah, bahkan triliunan rupiah. Bea Cukai adalah sebuah lembaga penting dalam perdagangan internasional. Peran Bea Cukai salah satunya adalah fasilitator perdagangan (trade facilitator). Karena peran yang begitu serius, maka dalam aplikasinya lembaga yang berada di bawah Depkeu itu wajib memberikan pelayanan yang melingkupi empat hal, yaitu hemat waktu, hemat biaya, aman, dan mudah (save time, save cost, safety, dan simple). Cerminan layanan itu menjadi bagian integral dari sistem dan prosedur kepabeanan. Namun, praktik korupsi yang menyelimuti Bea Cukai mengakibatkan pelayanannya menjadi buang-buang waktu, biaya mahal, tidak aman, dan sulit. Pihak pengusaha harus mengeluarkan biaya tambahan 10-15 persen untuk mengurus kepabeanan ini. Maraknya praktik korupsi di Bea Cukai juga dirasakan betul oleh masyarakat khususnya para !
pengusaha. Pada awal 2007 lalu survei Transparency Internation!
al Indon
esia (TII) menempatkan instansi Bea dan Cukai sebagai instansi terkorup bersama dengan Kepolisian Republik Indonesia. Masih pada 2007, Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Manajemen (LPEM) Universitas Indonesia dan Bank Dunia merilis sebuah hasil survei mengenai dugaan korupsi di tubuh Bea Cukai. Berdasarkan hasil survei LPEM-Bank Dunia tersebut, nilai korupsi di Bea Cukai tidak tanggung-tanggung, sekitar Rp 7 triliun per tahun. Survei itu melibatkan tak kurang dari 600 pengusaha di bidang manufaktur yang tersebar pada lima kota besar, Medan, Jakarta, Semarang, Surabaya, dan Makassar. Berbagai pungutan ilegal yang harus ditebus pengusaha saat berurusan aparat Bea Cukai. Titik rawan pungutan liar di antaranya lahir dari kebijakan jalur merah dan jalur hijau. Modusnya, barang yang seharusnya melalui jalur hijau (tanpa pemeriksaan) tiba-tiba oleh petugas diarahkan pada jalur merah (wajib diperiksa) atau sebaliknya. Tindakan petugas seperti itu sudah menjadi rahasia umum dan membuk!
a peluang untuk bernegosiasi dengan pengusaha yang juga tak sedikit selalu mengincar jalan pintas. Masalah korupsi di Bea dan Cukai sesungguhnya tidak saja terjadi di Indonesia, tapi juga muncul di beberapa negara lain. World Customs Organization (WCO) sebagai wadah instansi Bea dan Cukai seluruh dunia menyadari betul masalah korupsi ini. Pada 1993 dalam pertemuan tahunannya di Arusha, Tanzania, organisasi pabean sedunia ini melahirkan sebuah deklarasi berkaitan dengan integritas Bea dan Cukai. Deklarasi yang dikenal sebagai Arusha Declaration (Deklarasi Arusha) ini berisikan daftar 12 langkah spesifik yang bisa diambil instansi Bea dan Cukai demi mencegah korupsi atau paling tidak membantu dalam mendeteksinya. Sejak Deklarasi Arusha, WCO sudah bekerja keras dalam merancang program reformasi dan modernisasi pabean yang mengintegrasikan prinsip-prinsip Deklarasi Arusha ke paket yang lebih luas yang bisa dipergunakan negara-negara anggotanya untuk melakukan reformasi mendasar!
dalam proses dan organisasi masing-masing. Solusi agar Bea Cu!
kai bers
ih dari praktik korupsi di lingkungan kerjanya adalah dengan mendapatkan dukungan yang kuat dan efektif dari dua sektor yang melebihi lembaga mana pun kemampuannya untuk memengaruhi perubahan budaya kerja, yaitu para pemimpin nasional dan anggota masyarakat perdagangan internasional. Mereka harus mengatakan tidak untuk menjadi bagian praktik korupsi yang dilakukan di instansi Bea dan Cukai. Apa yang dilakukan oleh KPK dengan melakukan sidak di lingkungan Bea dan Cukai layak mendapat apresiasi. Artinya langkah yang dilakukan sudah sesuai dengan harapan masyarakat dan juga dunia usaha agar KPK memprioritaskan penanganan korupsi di sektor pelayanan publik termasuk Bea dan Cukai. Prestasi ini tidak muncul pada periode KPK sebelumnya. Pada sisi lain langkah yang dilakukan oleh KPK seiring dan sejalan dengan reformasi birokrasi internal yang sedang dicanangkan di lingkungan Departemen Keuangan (Depkeu) sejak 2007 lalu. Sebagaimana diberitakan, Depkeu yang membawahkan Direktorat !
Bea dan Cukai telah menghabiskan anggaran Rp 4,3 triliun untuk program reformasi birokrasi. Anggaran reformasi birokrasi untuk Depkeu dimaksudkan untuk memperbaiki sistem kerja serta pemberian nemurasi (tunjangan kerja) kepada pejabat dan pegawai. Dengan adanya peningkatan gaji dan tunjangan yang diterima, para pegawai Depkeu diharapkan tidak menyalahgunakan wewenang. Pemberian tunjangan ini tercatat dilakukan sejak 1 Juli 2007 dalam bentuk tunjangan khusus pembinaan keuangan negara (TKPKN). Oleh karena itu, apa yang dilakukan oleh KPK diharapkan tidak hanya berhenti pada sidak, tetapi juga meneruskan ke proses hukum terhadap para pelaku penyuapan baik pemberi maupun penerima. KPK juga harus mengawal jalannya proses reformasi birokrasi di lingkungan Departemen Keuangan umumnya dan Bea dan Cukai khususnya. Menteri Keuangan serta Dirjen Bea dan Cukai selaku atasan juga harus berani memutus mata rantai praktik mafia Bea Cukai dengan mengambil langkah tegas dan memberikan sank!
si yang berat bagi pegawai-pegawai yang dinilai tidak bertangg!
ung jawa
b ini. Harapannya langkah ini dapat menjadi efek kejut (shock therapy) bagi pegawai Bea dan Cukai untuk tidak mengulang kesalahan serupa pada masa datang. Ikhtisar: - Kasus di Bea dan Cukai hanya contoh kecil dari banyaknya masalah di Indonesia. - Permainan aparat Bea dan Cukai dengan pihak luar sudah sangat rapi dan membuat mafia yang sudah menggurita. - Butuh pimpinan yang tegas, adil, dan berakhlak untuk membenahi problem-problem seperti itu. - Gaji dan pendapatan besar terbukti tak menghalangi seseorang terlibat korupsi.
( )

No comments:

Post a Comment