Senin, 15 Januari 2007.
Geliat Malam di Parung
Sabtu (13/1) malam. Kumandang adzan Isya belum jua usai. Tiga gadis belia usia sudah berdiri di pinggir Jalan Raya Parung, Kabupaten Bogor. Ketiganya tidak sedang menunggu angkot untuk bepergian. Tidak pula ksekadar kongkow menghabiskan malam minggu. Mereka adalah bagian kecil dari ratusan wanita penghibur yang setiap malam menghiasi Jalan Raya Parung, jalan yang mirip seperti etalase seks bebas di jalur penghubung Jakarta-Tangerang-Depok-Bogor ini. Pada setiap pengendara motor dan mobil pribadi yang melintas di jalur itu, ketiga perempuan muda ini selalu menjulur-julurkan tangannya layaknya seorang calon penumpang menghentikan angkot. Bila pengendara tak jua memperlambat laju kendaraannya dan terus melewati mereka, ketiganya melanjutkan dengan canda bersama sambil menghisap rokok yang terselip di sela jemari kecilnya. Republika pun mendekati ketiganya yang tampak akrab dengan situasi serupa. "Ayo, Mas. Mampir. Minum-minum, enak anget," goda salah satu di antara mereka!
yang berpakaian kaos street hitam dengan celana tiga perempat. Dua rekannya yang lain tertawa. Begitulah gambaran peristiwa yang memulai transaksi minuman keras dan berujung seks di kawasan Parung. Setelah berdialog penuh canda dan berjanji akan kembali lagi, Republika pun meninggalkan ketiga gadis itu tetap di pinggir jalan tak jauh dari SMA Dwi Warna. Saat jam menunjukkan hampir pukul 22.00 WIB, sebuah kendaraan operasi polisi yang melintas di Jalan Raya Parung. Tampaknya tak mungkin mereka tak mengetahui praktik-praktik yang terus ada setiap hari ini. Menurut warga sekitar, kegiatan prostitusi liar di kawasan Parung saat ini kondisinya makin parah. "Mereka tidak lagi takut-takut menjalankan praktiknya. Bahkan di siang bolong sekalipun," ujar Rohim, warga Parung. Informasi yang diperoleh dari aparat Satuan Polisi Pamong Praja Kota Depok, sedikitnya ada 12 tempat karaoke yang dijadikan transaksi seks di kawasan Parung. Di antaranya adalah F, Y, S, Cr, Dy, D&D, PD Kafe, T!
J dan Pen. "Mereka nggak akan ngaku, tapi kita tau. Kan kita j!
uga seri
ng maen ke sana," kata anggota Satpol PP Depok ini. Menurut dia, dalam semalam uang yang berputar di 12 tempat itu diperkirakan mencapai 100 juta lebih atau Rp 3 miliar lebih per bulan. Tamu yang hadir setiap malamnya berkisar antara 700 sampai 1.000 orang. Karenanya jangan heran jika Anda melewati Jalan Raya Parung terlihat ratusan mobil parkir berbaris di sebuah daerah tertetu. Bisa dibayangkan bila uang yang beredar di tempat-tempat hiburan saja mencapai Rp 3 miliar per bulan, berapa banyak duit yang tersedot kepada mereka para pekerja seks komersil. Terlebih para wanita penghibur ini mematok harga yang relatif tinggi untuk para PSK jalanan, yaitu antara Rp 200 ribu sampai Rp 300 ribu untuk satu kali kencan singkat. Dengan jumlah uang yang menggiurkan ini, tak heran tempat hiburan malam di kawasan ini makin bertambah saja. Bayangkan, dalam satu malam mereka bisa mengantongi uang sampai Rp 2 juta lebih. Belum ditambah fee dari penyanyi yang kadang juga bisa dibooking tamu.!
"Tip ngebooking kita untuk menemani minum bisa sampai Rp 50 ribu. Tapi ya, tergantung tamunyalah," kata seorang penyanyi di karaoke F. Walaupun demikian, tak semua wanita di pinggir Jalan Raya Parung berprofesi sebagai PSK. Setidaknya dari penelusuran di sejumlah titik, mengungkapkan, sebagian mereka hanya mengandalkan biaya tip dari tamu yang mereka temani untuk sekadar minum (miras). Sebagai contoh, di sebuah warem, satu botol bir dijual dengan harga Rp 17 ribu, padahal bila dibeli di luar harganya tak leih dari Rp 10 ribu. Kemudian sebotol air mineral dijual Rp 8.000 dari harga umum sekitar Rp 3.000. "Kita memang paling banyak dapat duit justru dari tip dan minuman, Mas," ujar Fina (19 tahun), salah seorang wanita penjaga warem. Pemberantasan praktik prostitusi di daerah Parung sebenarnya sudah menjadi bahan pembicaraan serius di kalangan dewan dan tokoh masyarakat. Ketua Komisi A DPRD Kota Depok, Lalu Suryade, mengatakan, semakin lama kegiatan tersebut dibiarkan, maka !
akan semakin tidak terkendali dan menganggu lingkungan. "Yang !
kita per
lukan sebenarnya cuma kemauan eksekutif. Prostitusi itu kan kelihatan di depan mata, tinggal diberantas saja," ujarnya. Ketua Umum Gerakan Umat Islam Indonesia (GUUI) Bogor, Habib Abdurrahman Assegaf, juga menyatakan hal yang sama. Dia menuding bupati Bogor tidak punya kemauan untuk memberantas pusat maksiat di daerahnya itu. "Saya yakin kalau ada kemauan tidak susah. Buktinya di Jakarta dan Depok juga bisa."
(EH Ismail )
No comments:
Post a Comment