Cari Berita berita lama

Republika - Ekskul

Minggu, 28 Januari 2007.

Ekskul


Plagiat atau Korban?









Jatuh ke tangan Nayoto Fio Nuala, Piala Citra seolah kehilangan bobotnya. Apa pasal? Produser film Ekskul tersebut dicap telah melakukan plagiat, sebuah tindakan tak senonoh di kalangan profesional. Pihak Universal Music Indonesia mendapati Ekskul mencomot ciptaan Hans Zimmer berjudul Elysian dari film Gladiator dengan durasi sekitar 30 sampai 40 detik. Lantas, cuplikan menit ke-61 Remembering Munich karya John Williams yang menjadi sountrack film Munich juga disisipkan sekitar 30 sampai 40 detik. Plagiat juga ditudingkan terhadap ide cerita. Film Ekskul disebut-sebut sebagai tiruan dari film Elephant karya Gus van Sant yang namanya mencuat lewat film Good Will Hunting. Karya Nayoto yang satu ini dinilai tidak orisinal. Di berbagai milis, pecinta film malah menyebut Ekskul sebagai tiruan murahan yang patut dicibir. Soal plagiat tidaknya Nayoto, pemerhati budaya terpecah dua. Mereka yang mencaci terdengar lebih keras. Sebagai aksi protesnya, mereka yang menamakan di!
rinya Masyarakat Perfilman Indonesia (MFI) bahkan mengambil langkah drastis. Dua puluh dua Piala Citra yang diperoleh sejumlah sineas dari Festival Film Indonesia periode 2004-2006 dikembalikan kepada Menteri Kebudayaan dan Pariwisata, Rabu (3/1) lalu. Riri Riza, Mira Lesmana, Rudi Soedjarwo, Shanty Harmayn, Joko Anwar, John de Rantau, Hanung Bramantyo, Upi, dan Prima Rusdi termasuk sineas muda yang kecewa berat dengan penjurian FFI 2006. Merekapun memilih merelakan Piala Citra yang telah diraih. Mereka tampaknya enggan disejajarkan dengan sineas yang dituding melakukan plagiat. Tapi, menurut Riri Riza, istilah plagiat tidak tepat dipakai untuk kasus Ekskul. Sebab, MFI tidak mempermasalahkan ide cerita. Soal pencomotan ilustrasi musiklah yang disorot MFI. ''Yang jelas, MFI mengidentifikasi Ekskul mengambil tanpa izin musik dari lima film kenamaan,'' tukasnya. Kelima film yang dimaksud Riri adalah Gladiator, Munich, Borne Supremacy, House of Flying Bagger, dan Taeguki. Ek!
skul sama sekali tidak menuliskan credit title terhadap score !
music da
ri film-film kondang tersebut. ''Kendati persoalannya tengah diurus oleh pihak-pihak yang bersangkutan, MFI tidak menganggap persoalan Ekskul berhenti sampai di situ,'' kata Riri yang mendapat Piala Citra dari Eliana-Eliana. MFI tetap menginginkan agar Piala Citra untuk Ekskul dianulir. Para sineas muda yang tergabung di MFI malu mendapati film yang mencomot ilustrasi musik dinobatkan sebagai film terbaik di negeri ini. ''Film semestinya menjadi bukti betapa Indonesia merupakan bangsa yang menghargai peradaban, hak cipta,'' ujar Riri. Tetapi, sejumlah seniman, semisal Danarto, berada di pihak yang berseberangan. Penyair kenamaan ini justru secara terang-terangan membela Nayoto. Di mata Danarto, Nayoto tak bersalah. Ia yakin ada alasan di balik pemakaian ilustrasi musik tanpa izin dari penciptanya. ''Tanpa disadarinya, Nayoto telah melakukan perlawanan terhadap struktur hirarki kemapanan yang hegemonik atas kreativitas, orijinalitas, dan hak cipta,'' kata Danarto. Tentang !
kejanggalan naskah Ekskul, argumentasi Danarto cukup provokatif. Nayoto dianggapnya cuma sineas 'nakal' yang melemparkan teka-teki jumlah peluru di pestol Joshua, si tokoh utama. ''Ini gaya khas seniman kontemporer,'' ujarnya. Argumentasi tadi bisa jadi menjelaskan atau menjustifikasi tindakan comot ilustrasi musik yang dilakukan Nayoto. Mungkin, Nayoto hanya menunjukkan sikap reforimpuls. ''Karya orang lain dianggap sebagai harta karun yang bebas diperebutkan. Seniman yang telah menggulirkan karyanya ke publik tak lagi diperhitungkan,'' papar Danarto. Namun, Riri berpendapat Nayoto tidak bisa disebut sebagai seniman kontemporer. Sebab, tak ada proses kreatif dalam menggunakan karya orang lain. ''Seniman kontemporer adalah seniman yang melakukan proses terjemah ulang dan menggali bahan dengan seizin penciptanya. Itu tidak dilakukan Nayoto,'' katanya. Terkait kegeraman MFI, Riri menjelaskan kelompoknya sudah tak tahan melihat sistem penyelenggaraan FFI. Jika FFI tidak dib!
enahi, mereka anggap FFI tidak perlu ada. ''Sudah enam orang s!
ineas mu
da produktif yang sepakat untuk memboikot FFI,'' katanya. Ekskul, lanjut Riri, hanyalah pintu masuk bagi MFI untuk mendobrak kebobrokan FFI. Mereka punya agenda lain di samping mengupayakan agar Piala Citra tak menjadi milik Nayoto. ''MFI mendesak DPR untuk mencabut UU No 8 tahun 1992 tentang perfilman serta dilakukannya perubahan mendasar pada peraturan dan penyelenggaraan sensor film yang menyangkut keberadaan Lembaga Sensor Film dan BP2N,'' katanya. Tapi, gaya protes MFI tak disepakati oleh Garin Nugroho. Kendati demikian, ia mengakui selama tiga tahun terakhir FFI memang tidak mampu memberi peran kepada masyarakat film. ''Ini perlawanan terhadap sistem yang belum tereformasi,'' kata Garin. Hanya saja, cara protes MFI mestinya tidak merugikan pekerja film lainnya dalam hal ini pembuat film Ekskul. MFI hendaknya langsung melayangkan keberatannya kepada lembaga film yang bersangkutan atau kepada pemerintah sebagai pihak yang membawahi lembaga-lembaga film yang ada di Ind!
onesia. ''Saya sendiri bersimpati kepada pekerja film Ekskul,'' kata Garin. Bagi Garin, Ekskul adalah kasus hukum. Ekskul bukanlah bagian dari esensi perjuangan mereformasi lembaga film Indonesia. ''Kalau menuduh Ekskul menjiplak, buktikan saja di pengadilan. Ekskul tidak boleh dijadikan alat untuk masuk dalam perjuangan ini,'' tandas Garin. reiny dwinanda
( )

No comments:

Post a Comment