Minggu, 13 Juli 2008.
Bidadari di Lembah Lahambay
''Pulanglah. Sakit kakak kalian semakin parah. Dokter bilang, mungkin minggu depan, mungkin besok pagi, boleh jadi nanti malam. Benar-benar tidak ada waktu lagi. Anak-anakku, sebelum semuanya terlambat, pulanglah..'' Seorang wanita tua mengirim pesan pendek kepada empat anaknya yang berada di tiga tempat berbeda, nun jauh di sana. Saat pesan terbaca di handphone masing-masing, tak pikir panjang, keempat bersaudara itu segera menghentikan aktivitas. Dalimunte, seorang profesor yang namanya tercatat dalam 100 peneliti fisika paling berbakat di dunia, sontak menghentikan ceramahnya di tengah antusias pendengarnya. Ikanuri dan Wibisana yang baru mendarat di bandara Roma, Italia, segera memutuskan kembali lagi ke Indonesia. Mengabaikan pertemuan dengan rekan bisnis mereka, keduanya mencari penerbangan yang bisa membawa pulang. Lantaran penerbangan penuh karena ada pertandingan sepak bola, keduanya memilih lewat Prancis. Sebagaimana Dalimunte, Ikanuri, dan Wibisana, pesan y!
ang sama menghentikan aktivitas Yashinta yang tengah melakukan riset di Gunung Merbabu. ''Aku harus pulang.'' Sekenanya ia menjawab pertanyaan temannya yang penasaran melihat Yashinta tiba-tiba ingin pulang, sibuk membenahi barang-barangnya. Kakak yang dimaksud dalam pesan pendek itu adalah Laisa, kakak sulung empat bersaudara itu. Tapi, seberapa besar peran Laisa dalam kehidupan keluarga ini sehingga empat adiknya harus mengorbankan apa yang sedang mereka kerjakan untuknya? Tere-liye mengisahkannya dalam novel terbarunya: Bidadari-bidadari Surga, terbitan Penerbit Republika. Ini merupakan novel ketiga Tere yang diterbitkan oleh Penerbit Republika setelah dua novelnya yang lain: Hafalan Shalat Delisa dan Moga Bunda Disayang Allah. Banyak yang menilai, ketiga novel ini penuh dengan nilai-nilai religi Islami dan pesan-pesan moral. Berbeda dengan dua novel sebelumnya yang bercerita tentang anak-anak dan dunianya, Bidadari-bidadari Surga mengisahkan perjuangan hidup sebuah kel!
uarga dari orangtua seorang janda dengan lima anak. Tinggal di!
sebuah
kampung dekat Lembah Lahambay yang indah di pedalaman Sumatra, saat anak-anaknya beranjak dewasa, empat di antaranya menetap di tempat yang berbeda. Di masa tuanya di kampung itu, sang ibu hanya ditemani Laisa, anak sulungnya. Setelah mengabarkan kondisi Laisa kepada empat saudaranya, alur cerita dalam novel ini kemudian kembali ke masa silam, mengisahkan masa-masa kecil lima kakak beradik ini. Baik Dalimunte, maupun Ikanuri, Wibasana, dan Yashinta punya kenangan yang berbeda tentang sosok Laisa. Tapi semuanya punya kesamaan, sang kakak orang yang selalu mengorbankan apa pun demi kemajuan mereka. Hatinya mulia, penuh keikhlasan demi adik-adiknya. Dia sang bidadari. Tak heran bila Prof Dr Djoko Santoso memuji novel setebal 368 halaman ini. Dalam pengantar buku ini, Rektor Institut Teknologi Bandung (ITB) itu menorehkan komentarnya, ''Penulis novel ini berhasil memberikan karya cerita yang menggambarkan kesuksesan yang dicapai dengan kerja keras, pengorbanan yang ikhlas, dan !
rasa syukur kepada Sang Pencipta.'' Sebagaimana halnya Djoko Santoso, Ratih Sanggarwati menilai, buku ini sarat makna akan kerja keras, pengorbanan, dan penghormatan. ''Air mata saya menetes deras ketika mata dan angan saya sampai pada halaman 62. Saya ingin seperti Laisa, banyak berkorban untuk kemajuan orang lain. Jika kita dan anak-anak kita membaca buku ini, saya yakin banyak Laisa lahir di bumi Indonesia tercinta,'' kata dia. Komentar Ratih tak hanya dia ungkapkan dalam pengantar buku, tapi juga ketika bertemu langsung dengan Tere dalam temu penulis di arena Pesta Buku Jakarta 2008, Sabtu (5/6). ''Imajinasi Anda kaya sekali. Berapa lama di Italia?'' Mendapat jawaban dari Tere bahwa ia tidak pernah ke Italia --juga tidak bisa berbahasa Italia-- Ratih kembali menimpali, ''Itulah hebatnya tulisan, bisa menembus ruang dan waktu.'' Ratih yang pernah berkunjung ke Italia menyatakan, ''Ketika membaca buku ini, Anda tidak bisa membayangkan Tere tidak bisa berbahasa Italia.'' !
Tere menggambarkan dirinya seperti Buya Hamka yang karya-karya!
nya mela
nglang jauh meninggalkan fisiknya. ''Yang merantau itu pikirannya,'' kata dia. Toh, ia menyadari tak sama persis dengan pengarang yang dikaguminya itu. `'Bedanya, kami hidup di zaman berbeda. Saya hidup di zaman internet, mudah mengakses banyak hal.'' Bidadari-bidadari Surga yang diterbitkan Juni 2008 ini kini telah memasuki cetakan kedua. ''Hanya dalam waktu dua minggu ini sudah buku ini sudah masuk cetakan kedua,'' kata Tommy Tamtomo dari Penerbit Republika.
(bur )
No comments:
Post a Comment