Cari Berita berita lama

Perceraian Beda Bangsa, Tidak Perlu Rebutan Hak Asuh ... - 10/03/2006, 13:11 WIB - KOMPAS Cyber Media - Kesehatan

Jumat, 10 Maret 2006.


Perceraian Beda Bangsa, Tidak Perlu Rebutan Hak Asuh ...

Jakarta, Jum'at
Kirim Teman | Print Artikel
Auk Murat
Berita Terkait:
- Kawin Campur Tak Melulu Bahagia (Australia, Kanada, China, Jepang)
- Buat Perjanjian Dulu Sebelum Mengucapkan 'Saya Terima'
- Konsultasi Psikologi: Mantu BULE..
Cinta merobohkan perbedaan dua insan yang beda warga negara. Namun, bagaimana bila pernikahan mereka putus di tengah jalan? Apa akibatnya buat anak-anak mereka?
Beberapa pekan silam, persoalan ini dibedah dalam diskusi selama dua hari.Perceraian selalu berakibat buruk pada anak-anak. Persoalan menjadi lebih rumit tatkala perceraian itu terjadi di antara dua insan beda kewarganegaraan. Hal ini sudah disadari Auk Murat semasa masih menjalin kasih dengan Andre JM, pria berkebangsaan Australia. Ketika memutuskan menikah tahun 1997, Auk juga menyadari perkawinannya akan ditempeli berbagai hal rumit karena keduanya beda warga negara.
Semula kebahagiaan mewarnai Auk ketika hadir dua buah hati tercinta, Nicola Ananda M (6) dan Tatiana Ananda M (4). Karena Andrew berkewarganegaraan asing, sesuai UU No 62 tahun 1958, praktis kewarganegaraan Nicola dan Tatiana juga mengikuti ayahnya, sampai mereka berhak menentukan kewarganegaraan sendiri pada usia 18 tahun.
BAGAI ANGIN SEGAR
Itu sebabnya, setahun sekali Auk harus mengurus izin tinggal kedua anaknya. Telat mengurus, ancaman deportasi terhadap Nicola dan Tatiana terbentang di depan mata.
"Ini jadi beban moral, dan merembet ke beban material," ujar mantan peragawati tahun 90-an ini.
Auk sudah menyadari risiko ini. Ia pun tidak mempermasalahkan. Namun, persoalan muncul ketika tahun 2003 silam, Auk dan Andrew bercerai. Siapa yang berhak mengasuh Nicola dan Tatiana? "Pengadilan menunjuk saya yang mengasuh. Sehari-hari, mereka sangat dekat dengan saya dan keluarga besar," tutur Auk yang sejak awal membiasakan anak-anaknya mengenal nilai-nilai positif dari dua budaya yang beda ini.
Meski senang ditunjuk sebagai pengasuh kedua anaknya, tak urung rasa waswas sering menghantui Auk. Pasalnya, bila terjadi sengketa dengan mantan pasangan, sewaktu-waktu anak-anak bisa terlepas dari asuhan. "Seorang ibu tidak memiliki perlindungan hukum untuk melindungi anak-anaknya sendiri. Ini sangat ironis. Hak sebagai ibu tidak dilindungi pemerintah."
Keresahan Auk sedikit berkurang karena 1 Februari silam dalam pembahasan RUU Kewarganegaraan, DPR menerima usulan dua kewarganegaraan terbatas bagi anak-anak yang lahir dari pernikahan campuran. Ini berarti, anak-anak tersebut mendapatkan dua kewarganegaraan, yaitu kewarganegaraan ayah dan ibunya, sampai berumur 18 tahun. Setelah itu, mereka harus menentukan kewarganegaraan yang akan dipilihnya.
Meskipun usulan ini belum disahkan, Auk mengaku seperti mendapat angin segar. "Ini berarti hak wanita yang menikah dengan pria asing, sebagai warga negara Indonesia diakui dan dilindungi pemerintah. Nasib anak-anak juga jadi lebih jelas," papar Auk.
Kelegaan dengan persetujuan DPR ini juga dirasakan Enggi Holt, ketua Keluarga Perkawinan Campuran Melalui Tangan (KPC Melati). Menurutnya, dengan dua kewarganegeraan terbatas, paling tidak orang tua merasa aman dalam membesarkan anak-anaknya.
"Enggak perlu kepikiran telat mengurus izin. Mengurus izin tinggal tidak murah. Biaya resminya memang hanya Rp 400 ribu per anak, tapi bila menggunakan jasa pihak ketiga, biaya membengkak menjadi Rp 2 - 3 juta per anak."
Selain itu, persetujuan ini berarti sang ibu diberi hak menurunkan kewarganegaraannya pada anaknya. "Jadi, anak bukan sekadar darah daging. Mereka juga jadi bagian dari perlindungan hukum si ibu. Anak juga tidak diperlakukan secara WNA murni," imbuh Enggi.
KEWARGANEGARAAN EFEKTIF
Persoalan Auk dan para ibu yang senasib dengannya dibahas selama dua hari oleh Keluarga Perkawinan Campuran Melalui Tangan Ibu (KPC Melati).
Diskusi mengambil tema Dampak Hukum dan Psikologis terhadap Anak yang lahir dari Perkawinan Campuran yang Resmi dan Sah sebagai Akibat dari Putusnya Perkawinan Kedua Orang Tuanya di Kemang, Jakarta Selatan. Dalam diskusi ini, Auk bertindak menjadi moderator.
Pembicara diskusi hari pertama, Prof. Dr. Zulfa Djoko Basuki SH, MH membahas soal dampak hukum putusnya perkawinan beda bangsa ini. Zulfa mengatakan, usulah RUU Kewarganegaraan, sepatutnya disetujui. Sebab, selama ini anak-anak tidak dapat tinggal bebas di negara ibunya dan rentan dideportasi. Apalagi bila orang tuanya cerai, baik cerai hidup maupun mati.
Lantas siapa yang paling berhak mengasuh anak?
"Di Pengadilan Agama, umumnya bagi anak-anak yang belum mumayyiz (berusia 12 tahun) , hak asuh diberikan pada ibu. Bisa saja ada perkecualian yaitu bila menurut pertimbangan hakim, demi kepentingan terbaik si anak, hak asuh lebih baik diserahkan pada ayah," ujar Zulfa menjelaskan.
Zulfa menambahkan, bila salah satu dari kedua orang tua meninggal dunia, hak asuh dengan sendirinya jatuh ke tangan orang tua yang masih hidup. Perkecualian terjadi bila pengadilan menganggap orang tua yang masih hidup ini, dianggap tidak cakap mendapatkan hak asuh. "Dalam kasus ini, hakim akan menunjuk wali."
Bagaimana bila anak yang berkewarganegaraan ganda terbatas ini mengalami masalah berkaitan dengan kewarganegaraannya? Menurut Zulfa, untuk menentukan status personalnya, akan dipakai kewarganegaraan yang nyata dan efektif. Maksudnya, kewarganegaraan mana yang lebih efektif digunakan si anak dalam kehidupan sehari-hari. Ini berkaitan dengan tempat ia tinggal, hubungan kekeluargaan, dan sebagainya.
Bila ternyata salah satu orang tua meninggal, hukum warisan yang berlaku untuk anak berkewarganegaraan ganda terbatas adalah hukum nasional si pewaris pada saat ia meninggal. "Bila ibunya yang notabene WNI meninggal, dan kewarganegaraan si anak yang efektif adalah Indonesia, maka ia akan mendapat segala hak sesuai dengan hukum Indonesia. Ia juga dapat memiliki benda-benda tetap. Bila yang efektif adalah WNA, ada pembatasan-pembatasan tertentu sampai ia berusia 18 tahun," ujar Zulfa.
Ketika si ayah meninggal, lanjut Zulfa, bila ayahnya ini berkebangsaan Inggris dan si ayah berdomisili di Indonesia, akan berlaku hukum domisilinya, yaitu hukum Indonesia. "Sebab, hukum di Inggris menyatakan, di mana pun warga negaranya berada, hukum yang berlaku untuk status personalnya adalah hukum di mana ia berdomisili," jelas Zulfa.
MATERI BUKAN TERPENTING
Selain masalah hukum, sisi psikologi anak pun tak bisa diabaikan saat kedua orang tuanya bercerai.
Pada hari kedua diskusi, Dr. Rosemini Adi Prianto, Msi membahas aspek psikologis ini. Rosemini mengatakan, materi bukan satu-satunya hal yang penting dipertimbangkan dalam pengasuhan anak setelah perceraian.
"Yang paling penting dilihat adalah anak ini paling baik berkembang pada pengasuhan siapa. Jadi, jangan selalu meneropongnya dari sisi material atau mengedepankan ego sebagai orang tua," tutur Rosemini.
Selain itu, orang tua tidak perlu memperebutkan hak asuh si anak, apalagi sampai terjadi sengketa. "Sebaiknya, dicari jalan keluar terbaik agar si anak bisa tumbuh dengan tidak mengalami banyak masalah."
Pada saat bercerai, ada baiknya orang tua memberitahu anak-anaknya bahwa ayah-ibu mereka tidak bisa tinggal serumah lagi karena bercerai. "Yang juga perlu diperhatikan, psikologi orang tua juga harus dalam keadaan baik. Biasanya, ketidakjelasan hukum dalam persoalan pernikahan campuran dapat membuat orang tua tidak nyaman."
Ketidaknyamanan itu, Roesmini melanjutkan, bisa dirasakan anak, sehingga perkembangan si anak kurang baik. "Misalnya ibunya cemas, sehingga tiap kali mengurus Kartu Izin Tinggal Terbatas (KITAS) ia berang pada anaknya," ujar Rosemini.
CEMAS TINGGALKAN ANAK-ANAK
Fisik si anak yang berbeda dengan anak-anak lainnya, juga bisa membuatnya diperlakukan beda oleh lingkungannya.
Bisa juga si anak minder karena merasa beda dengan lingkungannya. Hal ini dirasakan Dewi, salah satu peserta diskusi. Dewi yang menikah dengan pria India mengaku mengkhawatirkan anaknya yang berusia tujuh tahun.
"Secara fisik, anak saya mirip ayahnya. Tapi anak saya hanya bisa bahasa Indonesia. Kalau diledek hitam dan anak India, dia mengamuk. Dia protes pada saya, katanya, dia anak Indonesia, bukan India. Sulit saya menjawabnya dengan kalimat yang bisa dimengerti anak seusianya," ungkap Dewi yang tengah hamil anak ketiga.
Masih ada lagi kecemasan Dewi yang diungkapkan dalam diskusi itu. "Misalnya saya punya rumah, lalu saya meninggal, katanya anak-anak saya tidak punya hak atas rumah. Sebab, rumah itu tidak bisa diwariskan pada mereka. Lalu buat siapa rumah itu? Bisa jadi hantu saya memikirkannya."
Masih kata Dewi, ia cemas bila meninggal ketika anak-anaknya belum dewasa. "Lantas kalau kedua orang tuanya meninggal, bagaimana nasib anak-anak. Padahal mereka WNA. Dikirim ke India pun, mereka tidak mengerti apa-apa."
Menanggapi pertanyaan pertama Dewi, Rosemini menyarankan untuk memberikan penjelasan dengan kalimat dan analogi yang sederhana pada anak, untuk menjelaskan statusnya. "Ajarkan pada anak konsep bahwa semua manusia itu sama. Lalu kalau dicela atau diledek oleh teman-temannya, ajarkan bagaimana menyikapi ."
Rosemini juga menyarankan agar orang tua mendidik anaknya agar punya skill tangguh di lingkungannya. "Sebab, bagaimana pun kita tidak bisa mensterilkan anak-anak dari lingkungan. Anak yang diperlakukan seperti porselen justru akan jadi orang rapuh."(Tabloid Nova)

No comments:

Post a Comment