Senin, 11 Agustus 2003.
Sekularisasi PendidikanMenyimak kurikulum pendidikan sekolah di Indonesia, terasa sekali ada sekularisasi atau pemisahan agama dari kehidupan. Itulah yang terjadi di dunia pendidikan saat ini, khususnya sekolah negeri/swasta. Pelajaran agama hanya diberi waktu dua jam per minggu. Apakah ini seimbang dengan pelajaran sains dan teknologi yang waktunya jauh lebih banyak? Apakah dengan keadaan pendidikan saat ini kita bisa mencetak generasi berkualitas dan bisa mensejahterakan kehidupan masyarakat yang saat ini dalam keadaan terpuruk?
Kenyataan yang ada sekarang, pendidikan hanyalah mencetak generasi yang pintar bergaya hedonistik, hidup bermewah-mewah dan suka hura-hura, serta permisif (serba boleh), mengesahkan pergaulan bebas, menyalahgunakan sains dan teknologi, suka tawuran serta terampil mengkonsumsi narkoba. Tapi, mereka tidak pintar menjalankan kehidupan sesuai dengan aturan Allah, Sang Pencipta.
Dengan hanya dua jam pendidikan agama, bisakah kita menciptakan generasi yang bermoral, pantang korupsi, enggan menyuap, dan suka menolong sesama? Dengan dua jam, agama hanyalah dianggap sebagai pengetahuan yang boleh dilupakan. Mana mungkin menanamkan nilai-nilai keimanan dalam dua jam, di tengah serbuan budaya global dan contoh yang buruk dari para pejabat kita. Jadi, sudah semestinya sistem pendidikan kita direvisi.
Rosihan Handayani
Jalan Anggrek IV No. 3
Jakarta Timur
Merenungkan Kembali Kemerdekaan Indonesia
Sudah menjadi tradisi setiap Agustus masyarakat bersuka cita memperingati Hari Kemerdekaan Indonesia dengan mengadakan berbagai kegiatan dan perlombaan. Hal ini terjadi di mana-mana, baik di desa maupun kota, di kantor kelurahan hingga jalan raya. Benarkah kita telah merdeka? Jika benar, mengapa masih banyak kebijakan yang sarat dengan pengaruh dan tekanan pihak asing. Dalam bidang ekonomi, pengaruh asing begitu kuatnya, kebijakan pencabutan berbagai subsidi jelas tidak lepas dari tekanan pihak asing. Ketika Abdurrahman Wahid menjadi presiden dia menyatakan, hal itu sebenarnya tidak dia kehendaki, tapi karena kebijakan itu tercantum dalam letter of intent pemerintah Indonesia dengan Dana Moneter Internasional (IMF), mau tidak mau kebijakan tersebut harus diambil. Banyak aset negara akhirnya dilego dengan harga murah. Mulai dari saham Semen Gresik sampai Indosat. PT Dirgantara Indonesia yang kini dirundung masalah karena pemogokan karyawan juga akan dijual ke pihak asing. Jik!
a demikian keadaannya, otoritas apa lagi yang masih dimiliki bangsa ini? Bukankah semuanya telah tergadai pada pihak asing? Padahal, negeri kita adalah negeri kaya raya. Kata orang Jawa, gemah ripah loh jinawi. Tapi kini kita terjajah di negeri sendiri, persis seperti tikus yang kelaparan di lumbung padi.
Belum lagi nilai budaya di masyarakat yang berkembang saat ini juga terpengaruh oleh nilai-nilai budaya Barat. Gaya pop dalam berpakaian, pergaulan yang diusung oleh stasiun-stasiun TV telah merasuk hingga ke pelosok-pelosok kampung. Mereka punya andil besar dalam membuat kerusakan mental bangsa Indonesia. Atas nama kebebasan ekspresi dan iklan, apa pun mereka tayangkan.
Dengan semua fenomena di atas, masih pantaskah kita bersuka cita, walaupun dengan dalih mensyukuri kemerdekaan? Wahai, kaum muslimin, sudah saatnya kita mengakhiri kondisi keterjajahan di negeri kita--yang kini bergelimang dengan kemiskinan, kelaparan, dan pengangguran. Kini saatnya kita berjuang sekuat tenaga untuk mempersembahkan yang terbaik kepada negeri kita di semua bidang.
Irfan Budiman
Jalan Sukaluyu
Bandung
No comments:
Post a Comment