Kamis, 2 Januari 2003.
Pro dan Kontra PrivatisasiMar'ie Muhammad Mantan Menteri Keuangan
Bukan hanya di negara berkembang, di negara maju pun privatisasi Badan Usaha Milik Negara menimbulkan pro dan kontra yang tajam dan merupakan isu yang sangat kontroversial. Privatisasi, biasanya, diartikan penjualan seluruh atau sebagian kepemilikan negara pada suatu BUMN ke tangan swasta, asing, dan domestik. Bayangkan, melalui privatisasi, suatu aset milik negara serta-merta akan berpindah tangan ke pihak swasta sebagai pemilik baru.
Persoalannya bukan hanya berhenti di situ, tapi konsekuensi-konsekuensi yang akan terjadi segera setelah kepemilikan itu pindah tangan. Pemilik baru, jika jumlah sahamnya cukup besar, katakanlah di atas 20 persen, pasti akan meminta tempat yang menentukan dalam jajaran manajemen yang baru. Karenanya, tak usah aneh dalam kasus penjualan saham Indosat 42 persen kepada Singapore Technologies Telemedia Pte. Ltd., dikabarkan akan meminta antara lain portofolio Direktur Keuangan.
Dengan kedudukan direktur keuangan, ST Telemedia akan menguasai arus dana masuk dan keluar dari Indosat, juga akan menguasai cash flow dari Indosat. Dalam RUPS Indosat yang akan datang, pasti pemerintah tidak akan dapat menentukan keputusan yang diambil. Sebab, pemerintah menjadi pemegang saham minoritas dengan 15 persen kepemilikan, dan sisanya 43 persen milik publik di berbagai belahan dunia.
Di mana pun, termasuk di negara maju, kaum buruh atau pihak karyawan tidak menyukai program privatisasi. Karena mereka khawatir pihak manajemen baru, setelah privatisasi, akan lebih meningkatkan efisiensi perusahaan, termasuk dengan cara mengurangi jumlah karyawan. Lihat, betapa sengitnya perlawanan kaum buruh di Inggris menentang program privatisasi yang sangat intensif dijalankan selama Margaret Thatcher berkuasa.
Di Prancis, di mana kaum buruh sangat dekat dengan Partai Komunis, perlawanan mereka terhadap program privatisasi lebih galak dibandingkan dengan di Inggris. Demikian pula perlawanan kaum buruh di Italia. Alhasil, semakin kuat gerakan kaum buruh akan semakin kuat aliansi perlawanan terhadap program privatisasi. Dan sekarang kaum buruh di Indonesia juga sedang mengkonsolidasi kekuatan politik dan posisi tawar kolektif mereka.
Perlawanan terhadap program privatisasi juga datang dari top manajemen perusahaan yang akan dijual karena mereka takut akan tergeser kedudukannya. Kaum birokrat yang mengendalikan suatu perusahaan negara tidak jarang juga secara diam-diam melakukan perlawanan. Sebab, dengan privatisasi kekuasaan mereka akan berkurang, apalagi jika perusahaan negara itu menjadi sapi perahan dari sang birokrat yang mengendalikannya.
Rintangan terhadap program privatisasi juga datang dari kaum nasionalis yang tidak suka kepemilikan berpindah ke tangan asing, apalagi sekarang ini perlawanan terhadap globalisasi semakin kencang. Kaum nasionalis biasanya menggunakan slogan-slogan klasik, seperti kemandirian, guna menyampaikan pesan agar ekonomi negara tidak dikuasai dan jatuh ke tangan asing.
Mereka yang gandrung terhadap program privatisasi, biasanya, dicap sebagai kaum liberal yang lebih suka aset-aset milik negara dimiliki oleh pihak swasta, meski pihak asing sekalipun. Kelompok ini tidak terlalu peduli terhadap soal kepemilikan dan, bagi mereka, yang penting aset-aset itu tetap produktif, bahkan dapat dikelola lebih profesional dan efisien yang pada gilirannya akan memberikan hasil yang positif bagi perekonomian nasional.
Mereka juga mengemukakan alasan bahwa kepemilikan dan manajemen oleh pemerintah dalam dunia usaha merupakan salah satu sumber korupsi dan pemborosan, apalagi di negara-negara berkembang dengan berbagai bukti empiris. Alhasil, masalah privatisasi, seperti penjualan saham Indosat yang sekarang sedang diramaikan, bukan sekadar masalah teknis, tapi lebih bermuatan politis.
Kembali pada penjualan saham Indosat. Dengan penjualan 42 persen ini pemerintah mengantongi dana Rp 5,6 triliun dengan harga penjualan per lembar saham Rp 12.950, yang berarti sekitar 50 persen di atas harga penutupan saham Indosat pada 13 Desember 2002 di Bursa Efek Jakarta yang tercatat Rp 8.600 per lembar saham.
Jika semata-mata dilihat dari sudut harga, dengan pemerintah meraih sekitar 50 persen premium, secara jujur harus diakui harga yang dicapai sudah memadai. Rupanya, memang dari semula, penjualan ini dirancang melalui apa yang dikenal dengan strategic sale, karena pemerintah berkehendak meraih premium setinggi-tingginya dan, dengan demikian, jumlah dana yang diperoleh menjadi maksimal guna menutup defisit anggaran belanja.
Lalu, sekarang apa persoalannya, sehingga penjualan Indosat ini menjadi sangat gaduh yang menimbulkan perseteruan antara Laksamana Sukardi versus Amien Rais? Saat ini masyarakat diselimuti serba kecurigaan, apalagi di kalangan elite politik yang sedang habis-habisan mempersiapkan semua jurus untuk memenangkan Pemilu 2004. Kita tahu, di mana pun di dunia tak ada politik dan kekuasaan tanpa uang, sekalipun di AS sebagai kampiun demokrasi.
Dalam siaran pers Kementerian Negara BUMN tanggal 15 Desember 2002, diumumkan bahwa penjualan saham Indosat 41,94 persen kepada ST Telemedia dan Share Purchase Agreement telah ditandatangani pada tanggal tersebut. Kemudian, ternyata pihak Singapura, sebagai pembeli, menggunakan mekanisme special vehicle, yaitu STTC meski--katanya--saham STTC 99 persen dimiliki ST Telemedia.
Hal ini tentu menimbulkan kecurigaan alias kurang transparan, mengapa pihak pembeli bukan ST Telemedia seperti diatur dalam share purchase agreement dan harus menggunakan special vehicle? Dalam siaran pers tersebut dicantumkan bahwa setelah dilakukan short listing, terakhir dua perusahaan--ST Telemedia dan Telkom Malaysia Bhd.--yang mengajukan penawaran di atas Rp 12 ribu per lembar saham dan kemudian dimenangkan oleh pihak ST Telemedia. Tapi, sayangnya, dalam siaran pers itu tidak diumumkan kepada masyarakat berapa harga yang dimasukkan oleh pihak Malaysia.
Ke depan, agar program privatisasi tidak menjadi agenda politik yang semakin membingungkan masyarakat, hendaknya dibuat undang-undang yang akan menjadi patokan untuk pelaksanaan privatisasi. Di sini kita tunggu usul inisiatif dari DPR yang kesannya sekarang di masyarakat sering hanya menggerutu. Dalam UU ini secara transparan diatur kriteria dan prosedur privatisasi, proteksi terhadap kepentingan nasional, para karyawan serta stake holders lainnya, termasuk pemegang saham minoritas.
Meski sudah terlambat, UU tetap berguna daripada kita tidak punya pegangan sama sekali, yang memicu kegaduhan nasional yang saat ini sudah semakin bertumpuk-tumpuk.
Untuk mengurangi kegaduhan, tak ada salahnya jika pemerintah di tengah-tengah pengangguran yang membludak saat ini melakukan intervensi agar manajemen baru tidak melakukan pemutusan hubungan kerja yang sifatnya massal di Indosat.
No comments:
Post a Comment