Rabu, 30 Januari 2002.
Mencoba Bertahan Sebagai Juara Dua Popularitas PM Junichiro Koizumi, sebagaimana tampak dari hasil jajak pendapat surat kabar Asahi Shimbun kemarin, tetap tinggi. Penduduk Jepang tetap memujanya. Seperti Desember tahun lalu, popularitas Koizumi tak berkisar dari angka 72 persen.
Padahal, sejak menjabat PM April lalu, ekonomi Jepang mengalami resesi. Terakhir, akibat kendurnya industri, pengangguran melesat dengan kecepatan 5 persen. Raksasa ekonomi ini terhuyung, dan Indonesia merasakan akibatnya. Berikut adalah wawancara Purwani Diyah Prabandari dari majalah Tempo dan Fitri Oktarini dari Tempo News Room dengan juru bicara Koizumi, Norio Hattori, dua pekan lalu di Jakarta.
T: Jepang yang diandalkan mengalami resesi, bagaimana masa depan hubungan ekonomi RI-Jepang?
J: Jepang dan Indonesia sedang menjalankan reformasi, terlebih setelah 1997-1998, keduanya membutuhkannya. Jepang misalnya harus mempertahankan posisinya di peringkat kedua setelah Amerika Serikat. Jadi, reformasi, perubahan sistem ekonomi, harus dijalankan.
T: Bisa jelaskan secara singkat, program apa yang dilakukan Jepang dalam reformasi ini?
J: Pemerintah telah mempresentasikan rencana privatisasi, evaluasi struktur ekonomi, dan pembersihan sistem di sektor perbankan. Sistem perbankan Jepang bermasalah dan kami harus keluar dulu dari masalah ini. Begitu juga sektor lainnya. Ini tuntutan masa depan dan sekarang, dan ini tentu saja juga harus diterapkan di Indonesia.
T: Jika Indonesia susah melakukannya dan sulit membayar utang, Anda mau menekan Indonesia dan membawanya ke meja CGI?
J: Kami tidak akan membawa masalah tersebut ke CGI. PM Koizumi mengatakan, proses yang baik haruslah lebih bijaksana. Ini adalah program yang besar dan penetapan program harus datang dari dua pihak, Indonesia dan juga Jepang. Jadi, kadang-kadang kita harus menekan negara Anda, dan juga sebaliknya negara Anda pun kadang menekan kami.
T: Artinya Indonesia mendapatkan sedikit fleksibilitas dalam pembayaran utang-utangnya pada Jepang?
A: Kemungkinan ya, Indonesia mungkin menginginkan write off tetapi ini tidak baik. Indonesia harus lebih mandiri dalam menyelesaikan masalah-masalahnya. Kami ingin pertolongan kami safe help. Kami hanya mendukung, menuntun saja. Bukan kami yang melaksanakan pembangunan di Indonesia, tapi Indonesia sendiri.
T: Berkaitan dengan regulasi antiteroris, apakah poin utama dalam regulasi tersebut?
J: Terorisme memiliki arti yang amat luas. Pada lingkungan regional ini saya tidak bisa menyebutkan negaranya, terdapat jaringan teroris seperti Al-Qaidah, dan perlu ada program penekanan yang lebih orisinal dan global untuk mengatasi masalah terorisme ini, misalnya saling tukar-menukar petugas intelijen.
T: Apa tanggapan Presiden Megawati mengenai masalah tukar-menukar petugas intelijen?
J: Kami berbicara kepada Susilo Bambang Yudhoyono. Dia sangat antusias menanggapinya.
T: Ini berarti ada kebijakan baru dalam militer Jepang. Bagaimana kebijakan itu dalam menyikapi operasi internasional?
J: Semua komite internasional harus bekerja sama. Kami juga ingin agar SDF (Pasukan Bela Diri) mampu berpartisipasi. Partisipasi nontempur untuk melawan para teroris.
T: Militer Jepang telah menimbulkan trauma di Asia Tenggara. Apalagi Jepang lalu menolak memberikan kompensasi untuk perempuan-perempuan Asia yang jadi jugun ianfu. Apa alasan penolakan itu?
J: Isu yang berkaitan dengan perang sudah kami bicarakan, antara pemerintah Jepang dan pemerintah Indonesia. Kami ingin menunjukkan ketulusan kami, simpati kami dengan mendirikan ASEAN Woman Fund. Kantornya ada di Jakarta. Sebagian besar dananya datang dari kami dan juga swasta. Kami melakukan apa yang bisa kita lakukan. Kami akan berlaku lebih manusiawi lagi dalam menghadapi masalah ini.
Q: Apakah ini juga berlaku pada wanita di Korea?
A: ya tentu saja, perlakuan yang sama.
No comments:
Post a Comment