Jumat, 10 Januari 2003.
Kecewa dengan AC Denpoo Belum lama ini kami membeli dua unit AC Denpoo (1 pk dan 3/4 pk) di Carrefour Lebak Bulus. Kedua AC tersebut kami beli untuk dipasang di rumah orangtua kami di Larangan Indah, Ciledug.
Setelah kami pasang, ternyata AC yang berukuran 1 pk bermasalah. Kami segera menghubungi teknisi Denpoo. Menurut teknisi itu, masalah tersebut ada pada PCB-nya, dan karena itu harus diganti.
Sampai surat ini saya buat, AC Denpoo tersebut belum dapat kami nikmati karena belum dapat dioperasikan. Sementara itu, pihak Denpoo menunjukkan kesan tidak serius menanggapi komplain kami. Tiga kali kami menyampaikan komplain melalui telepon, tapi yang kami dapatkan hanya janji.
Yang membuat kami kesal, tiap kali komplain ke Denpoo kami harus menceritakan persoalan dari awal. Pihak Carrefour, tempat kami membeli AC tersebut, memang bersedia untuk menggantinya dengan AC yang baru, tapi tidak mau menanggung biaya pembongkaran dan pemasangan kembali AC tersebut.
Mengingat pengalaman mengecewakan tersebut, kepada pembaca kami imbau agar berhati-hati dalam membeli suatu produk elektronik. Jangan hanya tertarik pada harganya yang murah, tapi periksalah kualitas barangnya.
Dino Rinaldi
Jalan Dwijaya III No. 20
Jakarta
Ketertiban Unjuk Rasa
Memasuki tahun baru 2003, kita dikejutkan oleh pengumuman pemerintah, yaitu tentang kenaikan harga kebutuhan pokok masyarakat, seperti bahan bakar minyak, tarif dasar listrik, dan kenaikan tarif telepon. Pengumuman tersebut tentunya membawa dua dampak yang ada di masyarakat, antara lain pihak yang menyetujui dan pihak yang merasa dirugikan.
Terlepas dari kedua belah pihak tadi, yang kita soroti akhir-akhir ini adalah tentang mulai maraknya aksi massa, baik pemogokan ataupun unjuk rasa dari beberapa elemen masyarakat. Menyikapi hal tersebut, aksi unjuk rasa di negara yang menganut demokrasi merupakan tindakan yang dibenarkan dan dianggap sah. Di Indonesia sendiri hal tersebut telah diatur dalam UU Nomor 9/1998 tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat di Muka Umum.
Dengan adanya undang-undang itu, tentunya setiap aksi unjuk rasa diharapkan akan berjalan dengan tertib, lancar, aman, serta damai. Hal seperti itulah yang menjadi harapan semua masyarakat yang kini sedang dilanda keprihatinan, baik fisik maupun psikis.
Belum jauh dari ingatan kita, beberapa waktu yang lalu aksi-aksi semacam seringkali malah mengganggu dan mencemaskan masyarakat, terutama kemacetan arus lalu lintas yang berkepanjangan, sehingga menjadi momok kesehariannya, khususnya Jakarta. Belum lagi tentang "penghinaan" simbol-simbol negara, seperti pelecehan dan pembakaran patung Presiden, karena bagaimanapun Presiden merupakan kepala negara yang telah dipilih secara aklamasi dan konstitusional oleh wakil rakyat.
Ketertiban dalam aksi penyampaian pendapat, tentunya bukan hanya dari massa itu sendiri, pihak aparat pun harus tertib dan disiplin dalam mengamankan aksi tersebut. Ketegasan aparat keamanan tentunya harus benar-benar diwujudkan dalam menindak setiap pelanggaran yang terjadi.
Yudha Raharjo
Serdang, Kemayoran
Jakarta Pusat
Menteri Tenaga Kerja dan Indorayon
Beberapa waktu lalu kita melihat Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Jacob Nuwa Wea banyak berbicara soal pembukaan kembali operasi pabrik pulp milik PT Inti Indorayon Utama (IIU) yang sudah berubah nama menjadi PT Toba Pulp Lestari. Jacob tampaknya menjadi juru bicara pemerintah untuk urusan pembukaan pabrik Indorayon di Desa Sosor Ladang, Porsea, Toba Samosir, Sumatra Utara, itu.
Namun anehnya, Jacob ngotot berujar bahwa rakyat Toba Samosir yang tidak setuju pembukaan kembali pabrik pulp--yang ditutup oleh Presiden B.J. Habibie pada 1999 lalu itu--cuma 15 persen. Sementara itu, 85 persen lainnya dari total 300 ribuan penduduk Kabupaten Toba Samosir, menurut Jacob, setuju pembukaan pabrik itu. Ucapan Jacob itu bertolak belakang dengan fakta di lapangan dan informasi yang disampaikan 10 orang utusan rakyat yang datang ke Komnas HAM pada 20 Desember 2002 yang lalu. Menurut para utusan rakyat itu, ketika Jacob dan Nabiel Makarim, Menteri Negara Lingkungan Hidup, datang ke Balige pada 30 November 2002 dalam rangka penjajakan kembali apakah pabrik PT IIU layak buka kembali atau tidak, kedua menteri itu hanya bertemu dengan segelintir orang yang dibawa dari Kabupaten Asahan untuk acara pertemuan itu. Adapun ribuan rakyat Tobasa yang nyata-nyata menolak operasi kembali pabrik tersebut tidak dijumpai oleh Jacob dan Nabiel.
Di Jakarta, berbagai komponen masyarakat sipil dan organisasi nonpemerintah dengan tegas menolak dibuka kembali parusahaan pencemar lingkungan hidup itu. Jadi, selayaknya pemerintah mempertimbangkan kembali keputusannya.
Eliakim Sitorus
esitorus@indocg.org
No comments:
Post a Comment