Jumat, 30 April 2004.
Hatta: Modernisasi Pertanian Indonesia Berjalan LambatJAKARTA � Menteri Riset dan Teknologi Hatta Radjasa menilai, modernisasi sektor pertanian di Indonesia berjalan lambat.
Menurut dia, sejak era 1980-an hampir tidak ada pembangunan infrastruktur yang mendukung pertanian modern. Parahnya lagi, kata Hatta dalam sambutan tertulis yang disampaikan pada dialog nasional dan temu bisnis pertanian di Jakarta kemarin, �Saat ini kondisi infrastruktur itu sudah banyak yang rusak.�
Kondisi ini lebih diperparah dengan lambannya penerapan teknologi pertanian dan mekanisasi. Padahal, Hatta melanjutkan, saat ini pertanian Indonesia masih digolongkan sebagai pertanian transisi yang umumnya bercirikan pertanian dengan tingkat produktivitas menengah, kurang efisien, dan kurang berdaya saing.
Hatta menjelaskan, untuk menciptakan pertanian yang tangguh dan modern harus dilakukan penerapan teknologi serta mekanisasi yang efektif dan efisien di seluruh mata rantai produksi. Salah satu caranya adalah dengan menggunakan model sistem pertanian agro kompleks dan agro teknologi.
Sistem pertanian agro kompleks dan agro teknologi adalah modal sistem pengembangan pertanian yang melibatkan seluruh sektor pertanian dalam arti luas (pertanian, peternakan, perikanan, kehutanan). Sistem ini dibangun secara terpadu dan terkoneksi dalam satu jejaring dari hulu hingga hilir yang berada dalam suatu kawasan dengan menerapkan teknologi pertanian modern.
Menanggapi persoalan ini, ekonom pertanian Didik J. Rachbini mengatakan, untuk membangun sektor pertanian yang tangguh, pemerintah sebaiknya terlebih dilu mengembangkan industri pembenihan. Di sisi lain, kebijakan makro seperti penurunan suku bunga perlu ditempuh agar sektor pertanian tidak kesulitan mendapatkan kucuran kredit perbankan.
Di tempat terpisah, Direktur Jenderal Bina Pengolahan dan Pemasaran Departemen Petanian Delima H.Azhari mengungkapkan, secara keseluruhan produk pertanian Indonesia surplus.
Meski begitu, khusus untuk produk pangan, hortikultura, dan peternakan, masih defisit. "Secara umum surplus karena sektor perkebunan paling banyak memberikan sumbangan," katanya di sela-sela acara pameran makanan dan hasil pangan di Jakarta kemarin.
Lebih jauh Delima menjelaskan, surplus yang diperoleh itu mencapai US$ 3,16 juta. Namun, berapa besar persisnya nilai defisit produk pangan itu, ia tidak menyebutkannya. Yang penting, kata dia, saat ini pihaknya tengah mengupayakan menekan defisit melalui peningkatan produktivitas dan nilai tambah untuk meningkatkan daya saing yang lebih baik.
Delima mengakui, di bidang pangan dan hortikultura Indonesia sudah tertinggal dari negara-negara tetangga, seperti Thailand dan Vietnam. Di bidang perkebunan pun, produk minyak sawit mentah yang selama ini menjadi andalan Indonesia, kini sudah disaingi Malaysia. mawar kusuma-tnr
No comments:
Post a Comment