Rabu, 27 Pebruari 2002.
"Harimau Mati Meninggalkan Belang, Gajah Mati Meninggalkan Gading." Seperti kata pepatah, Muhammad Sirajuddin alias Romo alias Pak De pun ingin mewariskan nama baik kepada anak cucunya. Yang jelas, ini bukan perkara mudah. Remisi 20 tahun yang didapatkannya dari Presiden BJ Habibie atas hukuman seumur hidup yang dijatuhkan pengadilan kepadanya pun, telah diubah menjadi pembebasan bersyarat oleh Presiden Abdurrahman Wahid, tahun lalu, tak membuat hati kecil Pak De lega. Pak De ingin mati meninggalkan gading.
Menyandang gelar pembunuh bukan hal mudah. Apalagi, ia mengaku tidak melakukannya. Karena itu, pembebasan bersyarat inipun, tak bakal melegakan hatinya.
Masyarakat maupun para ulama di sekitarnya boleh jadi telah menerima kehadirannya dengan tulus. Apalagi sejak semula, mereka tidak pernah percaya Pak De sampai tega membunuh Ditje Budiasih. Seorang model dan peragawati kondang saat itu. Namun vonis majelis hakim saat itu tak hanya mengelarinya 'pembunuh' tetapi juga menjebloskannya di Penjara, Cipinang, 14 tahun lamanya. Dan gelar 'mantan pembunuh 'itu, seperti bayangan yang mengikutinya, kemanapun dia pergi. " Saya ingin membersihkan nama saya karena bukan Pak De pelakunya," tutur Pak De.
Tekadnya bulat. Bukan saja membuang gelar dan bayanan hitam itu, tapi juga mencuci namanya hingga bersih. Karena itulah, tahun lalu, Pak De merasa perlu mengajukan permohonan peninjauan kembali (PK) ke Mahkamah Agung (MA).
Doanya terkabul. Andar M Situmorang, seorang pengacara yang dikenalnya dua tahun terakhir menyatakan menemukan bukti-bukti baru (novum). Salahsatunya adalah pernyataan dr A Mun'im Idries, ahli forensik Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (RSCM) yang melakukan otopsi terhadap Dietje. Pernyataan Mun'im itu dilansir dalam majalah Gamma, edisi 10 Januari 2001.
Dalam pernyataannya, Mun'iem mengungkapkan, hasil otopsi yang dilakukannya itu diketahui, meninggalnya Dietje adalah karena luka tembak yang bukan dilakukan oleh satu orang. Dasarnya, terdapat lima lubang luka tembak dalam tubuh Dietje yang berasal dari dua jenis peluru, kaliber 22 SNW ukuran 6 mm dan kaliber 38 SNW ukuran 9 mm.
Keterangan jenis senjata yang disebutkan Mun'iem sebagai alat menghabisi nyawa model terkenal itu dinilai Pak De bisa jadi novum baru. Termasuk upaya memulihkan nama baiknya.
Dalam memori Peninjauan Kembali (PK) juga disebutkan bahwa Mahkamah Agung (MA) telah salah menerapkan hukum terhadap Pak De. Jika Pak De dinyatakan bersalah dalam kasus itu, maka sebagaimana Pasal 12 jo Pasal 65 jo Pasal 7 Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP), hukuman terhadap Pak De, paling lama adalah 20 tahun. Jadi bukannya seumur hidup sebagaimana putusan kasasi MA tanggal 23 Maret 1998.
Situmorang juga menyampaikan surat pernyataan dari tiga orang Saksi - Riyanto, Zainal Abidin, dan Idris-yang menyatakan bahwa mereka bersama Pak De pada saat kejadian.
Terang saja, Pak De menyambut suka cita upaya yang diperjuangkan Andar, penasehat hukumnya itu. Ia berharap, jaksa dan hakim yang bakal menangani perkaranya ini cukup reformis dan bersedia menegakkan keadilan, meski saat ini seperti benang basah. " Yang saya inginkan bukan ganti rugi berupa materi dari pemerintah. Tetapi pemulihan nama baik," tandasnya.
Sayang, seperti halnya pencari keadilan di negeri ini, Pak De pun harus bersabar. Karena bisa saja, harapan itu bakal tinggal harapan. Dalam sidang di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan yang dipimpin Hakim Bachtiar, Senin (11/2) lalu, Jaksa Penuntut Umum (JPU) Agnes Triani menepis argumentasi yang diajukan Situmorang dalam memori PK. Permintaan PK oleh Pak De tidak dapat dibenarkan karena tidak ada novum.
Sesuai ketentuan Pasal 263 Ayat (2) Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), memori PK dapat diajukan jika ditemukan bukti baru. Sehingga tidak ada kekhilafan hakim/hakim agung Mahkamah Agung (MA) dalam menerapkan hukum terhadap Pak De.
Agnes juga menegaskan, keterangan Mun'iem yang dilansir dalam Majalah Gamma, merupakan dugaan atau tafsiran dari seorang dokter forensik yang hanya berwenang menerangkan sebab-sebab kematian korban. Soal jenis peluru yang menyebabkan kematian korban yang berwenang menjelaskannya adalah ahli balistik.
Dengan kata lain, seorang dokter forensik tidak dapat menilai atau menyimpulkan sendiri bahwa pelaku penembakan bukan satu orang tanpa didasarkan alat bukti lain yang sah. Bila dr Mun'iem dapat membuktikan bahwa proyektil lain selain kaliber 22 SNW,
"Hal ini tidak membuat putusan hakim membebaskan terdakwa," paparnya.
Mun'iem tak kaget dengan pendapat sang jaksa. Ia justru kaget dengan langkah yang ditempuh Situmorang. Upaya penasehat hukum Pak De itu dinilainya amat riskan untuk dilakukan. Bagaimanapun, novum yang dimaksudkan itu tak lebih dari wacana akademis semata. Bukan fakta. "Lucu, kok berita jadi alat bukti," katanya.
Mun'iem sendiri mengaku, keterangannya soal dua jenis peluru yang digunakan untuk membunuh Ditje itu dikutipnya dari pernyataan Wakadispen (Wakil Kepala Dinas Penerangan) Polda Metro Jaya Mayor Hanif Akbar ketika itu. Nah, logikanya, kalau ada dua jenis peluru tentu ada dua senjata. Kedua orang itu bisa Pak De bersama pelaku lain, atau bisa juga kedua pelakunya benar-benar orang lain yang bukan Pak De. "Inikan wacana, bukan fakta. Dan seharusnya yang dikejar bukan saya, tapi Hanif Akbar," jelasnya.
Kata Mun'iem, masalah ini sebenarnya telah dijelaskan kepada Situmorang maupun Pak De. Sayangnya, yang bersangkutan tidak pernah mengerti.
Karena itu, wajar Mun'iem menduga, Situmorang tak punya kompetensi di bidang hukum Pidana karena hanya ingin memetik sensasi belaka dari kasus ini. "Terus-terang saya kasihan sama Pak De," katanya.
Tentu saja Situmorang menampik tudingan Mun'iem. Menurutnya, apa yang disampaikan ahli forensik itu sekalipun hanya wacana, namun akan menjadi alat bukti jika dipaparkan secara mendetail di muka hakim. Apalagi baik Mun'iem maupun Herkutanto yang turut melakukan otopsi terhadap Dietje, tak pernah dihadirkan dalam persidangan kala itu. Begitupun dengan tiga peluru dari senjata lain yang disebut Mun'iem. "Dari lima peluru, kan cuma Cuma yang dibawa ke persidangan. Tiga lain dikemana kan?" ujarnya.
Kepedulian mengurus persoalan hukum Pak De telah dilakukan ketika Pak De masih mendekam di Cipinang. Ia pula yang menulis surat kepada Presiden Habibie melalui Menteri Kehakiman Muladi agar Pak De mendapatkan remisi. Demikian pula halnya dengan surat kepada Presiden Abdurrahman Wahid, minta agar Pak De dibebaskan. "Jadi cari sensasi apa? Ini proyek kemanusiaan demi mengungkap kebenaran," tandas Situmorang.
Jika kelak Mun'iem bersaksi, dia pun telah menjadwalkan untuk meminta hal serupa kepada Hanif Akbar.sudrajat
No comments:
Post a Comment