Cari Berita berita lama

KoranTempo - Ganti Rugi dan Peradilan Khusus

Selasa, 2 November 2004.
Ganti Rugi dan Peradilan KhususAnggapan Kementerian Lingkungan Hidup (KLH) kurang berdaya sebenarnya tidak hanya dirasakan Rachmat Witoelar. Menteri Lingkungan Hidup yang baru dilantik ini hanya ingin menegaskan posisi kurang menguntungkan kementeriannya saat menghadapi industri. Padahal berbagai upaya telah dilakukan sebelumnya. Baik berupa pengaduan perusahaan yang terindikasi merusak lingkungan sampai menggagas pengadilan khusus kerusakan lingkungan.

Pada Januari 2004 KLH pernah mengajukan sembilan perusahaan bermasalah ke kejaksaan. Pada saat bersama KLH telah menyelesaikan kasus pencemaran lingkungan yang melibatkan empat perusahaan. Namun, penyelesaian kasus ini dilakukan secara mediasi (di luar pengadilan). Empat perusahaan itu dikenai denda yang besarnya berbeda. PT Adei Plantation & Industry (Riau) harus membayar ganti rugi sebesar Rp 9,6 miliar. PT Palur Raya (Surakarta) dikenai denda sebesar Rp 1,1 miliar. Sedangkan PT Natuna Sea (Riau) membayar ganti rugi US$ 2,6 juta dan PT Bumi Sarana (Kulonprogo) didenda Rp 300 juta.

Kasus ganti rugi yang terjadi pada 2004 ini menambah panjang daftar sanksi serupa. Sepanjang 2003 KLH menerima ganti rugi perusahaan bermasalah sebesar Rp 9,6 miliar. �Dana itu kita kembalikan pada masyarakat,� kata Sudarsono, Asisten Deputi Urusan Penegakan Hukum Deputi IV Bidang Pengendalian Dampak Lingkungan Sumber Institusi KLH. Pada 2004 KLH merencanakan target ganti rugi perusahaan bermasalah sebanyak Rp 15 miliar.

Namun, tidak semua perusakan lingkungan berakhir dengan ganti rugi. Kasus kerusakan Taman Nasional Bogani Nani Wartabone pada Januari 2004 misalnya. Perusakan yang melibatkan Bupati Kabupaten Gorontalo Achmad Hoesa Pakaya berakhir dengan pengembalian berkas laporan oleh Kejaksaan Gorontalo. Achmad Hoesa dituntut karena memberikan rekomendasi proyek pembuatan jalan yang menggerus.

Selain mengajukan perusak lingkungan ke pengadilan, KLH pernah menggagas pembentukan peradilan khusus lingkungan hidup pada awal 2002. Ide ini dilatarbelakangi praktek peradilan di Indonesia berbagai kasus lingkungan selama ini yang jauh dari harapan. �Sebagian besar kasus lingkungan di pengadilan tidak membawa hasil memuaskan,� kata Nabiel. Sayang, gagasan ini tak pernah terwujud sampai Nabiel menyerahkan jabatannya kepada Rachmat Witoelar. arif/berbagai sumber

No comments:

Post a Comment