Kamis, 23 November 2006.
Janji-janji Pemoles BibirPresiden Amerika Serikat George W. Bush datang ke Indonesia. Sebagai tamu, Bush dan First Lady Laura tampak menikmati suasana welcome Istana Bogor. Sesekali mereka berdua melemparkan senyum kepada orang-orang yang ditemuinya. Selama konferensi pers dan bertemu dengan murid-murid SD di kelas simulasi, Bush tampak lebih santai dan tenang, bahkan sesekali tersenyum ketika berdialog dengan wartawan dan sejumlah murid. Dari liputan hampir semua stasiun televisi di Tanah Air, tampak jelas upaya Bush untuk menepiskan kesan angker dan "hawkish" pada dirinya.
Kini, yang pasti, ada kesan komunal yang harus dijawab oleh pemerintah. Bukan soal "kota hujan" yang mendadak mati sehari, dan ditaksir Rp 100 milyar hasil potensi aktivitas bisnis yang hilang. Bukan pula duit Rp 6 milyar yang dihabiskan untuk menyiapkan kedatangannya. Tidak juga "sandiwara" sekolah dadakan yang diboyong ke istana. Tetapi, Bush datang ke Bogor membawa dan meninggalkan apa?
Memang ada sejumlah kesepakatan sebagai hasil pertemuan itu. Namun itu semua ibarat macan di atas kertas atau bahkan sekadar pemanis lidah. Tak bisa mengaum dan belum berarti apa-apa buat rakyat. Sejumlah komitmen Bush untuk Indonesia tidak istimewa dan kurang spektakuler. Tak ada keputusan penghapusan utang Indonesia, misalnya. Semua sekadar hasil pertemuan tingkat menteri dan pejabat tinggi.
Apalagi, Bush yang sudah berkuasa dua periode dipastikan akan hengkang dari Gedung Putih pada 2008. Terus, siapa yang akan menjamin janji Bush bakal terealisasi dalam waktu dua tahun terakhir ini? Sejumlah birokrat dan elite pemerintahan serentak menyatakan, kunjungan Bush punya arti besar bagi kedua bangsa dan negara. Indonesia punya kepentingan. Demikian pula Amerika, mustahil datang tanpa kepentingan.
Bila menengok sejarah, negara hyperpower itu seolah tidak henti mengintimidasi, menjajah, memeras, dan mengeruk sumber daya alam negara-negara lain. Tak hanya melalui modus halus (soft) dengan penaklukan ekonomi, melainkan juga dengan cara kasar militeristik seperti masih tersisa di Irak dan Afghanistan. Saat ini, hampir tak ada negara yang tidak melakukan "perhitungan" dengan Amerika, entah itu ekonomi, politik, atau militer.
Pengamat politik luar negeri dari Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, Mohtar Mas'oed mengatakan, selama ini jarang sekali seorang Presiden Amerika, apalagi seperti Bush, mau didikte dengan agenda yang dimiliki tuan rumah. "Apalagi dengan Indonesia yang posisinya dianggap di bawah Amerika Serikat," katanya.
Melihat perilaku Presiden Bush, Mohtar beranggapan tak beda jauh dengan para pendahulunya. "Kini ke mana-mana dia getol ngomong soal mobilisasi kekuatan melawan terorisme internasional," ujarnya.
Bagi Bush sendiri, menurut Mohtar, kepentingannya ke luar negeri adalah masalah ideologi dan geopolitik. Untuk ideologi, Bush akan selalu membahas terorisme dan keamanan global. Indonesia justru dipandang penting karena dinilai memiliki penduduk muslim paling banyak di dunia. Oleh sebab itu, secara ideologi, Bush tengah mencari dukungan dari negara muslim terbesar.
"Sedangkan untuk geopolitik, dia lebih memperhatikan kawasan yang secara ekonomi memberikan pemasukan pada Amerika," katanya. Untuk Asia, Amerika akan lebih condong ke Timur Tengah karena kaya minyak. Sedangkan ke Indonesia, yang diincar adalah sumber daya alam yang lain.
Dan untuk mendapatkan itu, menurut Mohtar, Bush lebih sering memakai hard power. Dalam soft power untuk mempengaruhi pikiran orang, ditempuhlah pendekatan ekonomi, sosial, dan budaya. Bush ternyata masih ingin mengubah pikiran orang dengan todongan bedil. Oleh sebab itu, janji-janji ekonomi, sosial, dan budaya masih sekadar "pemoles bibir".
G.A. Guritno, Bernadetta Febriana, dan Sawariyanto (Yogyakarta)
[Laporan Utama, Gatra Nomor 2 Beredar Kamis, 23 November 2006]
No comments:
Post a Comment