Cari Berita berita lama

KoranTempo - Relevansi KAA di Era Neoliberalisme

Sabtu, 23 April 2005.
Relevansi KAA di Era NeoliberalismeWiwik Suhartiningsih
Alumnus Pascasarjana IPB

Konferensi Tingkat Tinggi Asia-Afrika (KAA) tahun ini tepat 50 tahun setelah KAA I berlangsung di Bandung. Pertanyaannya, masih relevankah memperingati kejadian 50 tahun lalu itu di saat globalisasi neoliberalisme menerjang semua sendi kehidupan?

KAA I diikuti 29 negara, wakil dari Asia dan Afrika. Saat itu Perang Dunia III, antara blok barat dan blok timur, nyaris pecah. KAA muncul guna membendung Perang Dingin itu dengan cara membentuk aliansi negara-negara Asia-Afrika yang baru saja lepas dari belenggu kolonialisme.

Caranya dengan mengkonsolidasikan negara-negara Asia-Afrika untuk bangkit menjadi kekuatan baru di antara blok komunis dan blok kapitalis. Dalam konferensi itu juga diteken deklarasi yang kemudian dikenal dengan Dasasila Bandung. Isinya, kesepakatan untuk menegakkan kemandirian dalam segala hal, baik dalam politik, ekonomi, maupun budaya, untuk menentukan nasib sendiri. KAA juga mengeluarkan resolusi menentang penjajahan dan berbagai aksi kolonialisme negara-negara selatan oleh negara utara.

Kini, setelah 50 tahun berlalu, nasib negara-negara peserta KAA belum banyak berubah: miskin dan terbelakang. Hanya Cina dan Thailand, untuk menyebut contoh, yang relatif makmur. Namun, keduanya belum tergolong negara dunia pertama karena perekonomiannya masih bertumpu pada sumber daya alam.

Kolonialisme primitif dengan struktur pusat-pinggiran memang tak ada lagi. Tapi sejak berakhirnya Perang Dunia II, khususnya sejak terbentuk Trio Bretton Woods Institutions--IMF, Bank Dunia, dan WTO--pada 1944, struktur pusat-pinggiran mengalami transformasi yang ditandai dua hal.

Pertama, secara resmi ia mengalami proses pelembagaan dengan pembentukan IMF dan Bank Dunia dan rangkaian proyek utangnya. Kedua, sifatnya berubah dari bilateral menjadi multilateral. Ini bisa dilihat dari penguasaan saham negara-negara eks penjajah, 19 negara industri, di IMF dan Bank Dunia yang mencapai 60 persen. Bahkan dengan menguasai saham 17,5 persen AS memiliki hak veto di kedua lembaga multilateral itu. Sementara itu, 122 negara berkembang hanya memiliki 31 persen suara. Tak mengherankan apabila "lembaga-lembaga itu (Bank Dunia/IMF) bukan sekadar dikuasai oleh negara-negara maju, tapi juga oleh kepentingan dunia usaha dan keuangan" (Stiglitz, 2002).

Implikasinya, secara internasional, negara-negara pinggiran (di Asia dan Afrika) tidak hanya masih seperti 50 tahun lalu, tetapi sebagian besar kini juga terpuruk ke dalam "jebakan utang" (debt trap). Penjajahan dengan instrumen utang ini biasa disebut sebagai neokolonialisme.

Penjajahan lewat mode itu juga menimpa Indonesia. Dengan stok utang mencapai US$ 190 miliar, lebih besar daripada PDB kita (US$ 185 miliar), setiap tahun lebih dari sepertiga APBN terkuras untuk membayar cicilan dan bunga utang.

WTO juga tak lebih dari instrumen penjajahan baru negara-negara berkembang (di Asia dan Afrika) oleh negara-negara maju. Walden Bello, dalam bukunya, Iron Cage: The WTO, the Bretton Woods Institutions and the Third World (1999) menyebut, kehadiran WTO untuk kepentingan negara-negara maju, terutama AS. Bagi AS, GATT terlalu longgar dan lentur, tidak sesuai lagi dengan sepak terjang berbagai korporasi transnasional (transnational corporations). Untuk mewadahi gerak korporasi transnasional itu diperlukan suatu badan baru yang sangat kuat dan memegang mandat tak terbatas. WTO, bagi Bello, adalah sebuah cetak biru hegemoni global dari korporasi besar bernama Corporate America.

Struktur pengambilan keputusan WTO yang oligarkis juga jauh dari kaidah-kaidah demokrasi. Keputusan-keputusan penting WTO banyak dicapai secara informal melalui kaukus-kaukus yang digelar di berbagai koridor kementerian oleh penguasa besar perdagangan. Berbagai sidang pleno resmi, yang dalam negara-negara demokrasi merupakan arena utama berdebat dan membuat keputusan, justru dipakai arena pidato.

Persetujuan pokok yang seharusnya lahir dari pertemuan-pertemuan menteri pertama dan kedua dalam WTO, semuanya diputuskan dalam pertemuan tidak resmi di "ruang-ruang rahasia" untuk dibawa ke sidang pleno sebagai sebuah bentuk fait accompli.

Sistem WTO akhirnya menjadi bias, yang dalam bahasa ekonom AS, Bergsten, sebagai sistem yang "bekerja dengan memakai rancangan kesepakatan yang, sekadar mengatakan kebenaran yang dijalankan empat serangkai (AS, Uni Eropa, Jepang, dan Kanada)".

Anwar Shaikh dalam bukunya, The Economic Mythology of Neoliberalism (2004) menyimpulkan bahwa globalisasi dengan dasar paham neoliberalismenya telah banyak merugikan negara-negara berkembang. Teori ekonomi pasar bebas itu, yang dasarnya neoliberalisme, menghasilkan wujud dunia yang sangat berbeda dengan harapan yang sudah menjadi mitos teori tersebut. Globalisasi yang berlangsung selama ini sama sekali tidak menyelesaikan persoalan di negara-negara berkembang (Stiglitz, 2002).

Data yang ada menunjukkan, sejak berjalannya globalisasi neoliberal terjadi kesenjangan yang melebar antara negara-negara maju dan negara berkembang. Rentang 1970-1992, globalisasi ekonomi ditandai mengalirnya tabungan dari negara berkembang ke negara maju, nilai bunga pinjaman naik, dan pertumbuhan ekonomi lamban/mandek (Faux, 2002). Semakin banyak orang kelaparan dan mati akibat kekurangan makan, kesehatan yang tidak terjamin, dan tingkat pendidikan yang rendah.

Saat ini, sekitar 1,3 miliar manusia di bumi hidup dengan uang kurang dari US$1 per hari dan 2,8 miliar (hampir separuh penduduk bumi) hidup dengan US$ 2 per hari. Hidup mereka tidak lebih baik daripada sapi di Uni Eropa yang disubsidi pemerintahnya US$ 2 per hari. Sementara itu, seperlima penduduk bumi menikmati 80 persen pendapatan dunia (The Independent, 18/3/2002).

Terlalu gegabah menyerahkan masa depan dunia pada sistem Bretton Woods yang dirancang secara monolitik dan terpusat untuk kepentingan-kepentingan korporasi transnasional, khususnya perusahaan-perusahaan AS. Dalam konteks inilah spirit kemandirian yang diukir KAA 50 tahun lalu memiliki relevansi yang kuat.

Karena itu, 109 negara yang akan hadir dalam KAA kali ini hendaknya tidak hanya menebar romantisme masa lalu. Jauh lebih penting dari itu adalah menggelorakan semangat kemandirian dalam bentuk-bentuk kerja sama yang konkret dan memiliki peluang untuk dikerjakan bersama.

Sejauh ini, negara-negara anggota KAA sulit mengimplementasikan komitmen Dasasila Bandung karena secara ekonomi keuntungan yang didapat tidaklah sebesar apabila mereka mengintegrasikan diri ke pasar dunia di negara-negara utara. Namun, seperti ditunjukkan oleh preposisi di atas, integrasi ke pasar dunia hanya akan melanggengkan penjajahan dunia.

Sesungguhnya, kerja sama di antara negara-negara miskin di Asia dan Afrika tetap berpeluang diwujudkan. Perkembangan terbaru, pekan lalu Cina dan India, dua anggota penting KAA I, telah mengakhiri permusuhan sejak 30 tahun lalu. Keduanya bahkan sepakat menjalin "kerja sama untuk menghadapi tantangan dan ancaman global".

Cina dan India merupakan negara dengan tingkat pertumbuhan dan perkembangan ekonomi yang cepat di dunia. Dengan penduduk 1,3 miliar dan 1,1 miliar, Cina dan India adalah pasar raksasa untuk berbagai produk, termasuk produk dari negara-negara maju.

Seperti dikatakan Menteri Senior Singapura, Goh Chok Tong, dengan menunggang kedua kuda itu (Cina dan India), negara-negara Asia bisa mengukir kemakmuran bersama. Dengan desain kerja sama ekonomi, perdagangan, industri, investasi, dan keuangan yang konkret dan terukur, bukan tak mungkin untuk membentuk blok perdagangan kawasan Asia-Afrika guna menandingi hegemoni negara-negara industrialis di kawasan utara.

No comments:

Post a Comment