Jumat, 10 Juni 2005.
Pemerintah Sulit Buat Aturan Perlindungan Pekerja AnakJAKARTA - Pemerintah kesulitan membuat undang-undang yang melindungi pekerja rumah tangga (PRT) anak. Menurut Direktur Pengawasan Norma Kerja Perempuan dan Anak Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi, Sudarjanto, penolakan dari para majikan terhadap pembuatan undang-undang itu merupakan salah satu penyebabnya.
"Mind-set-nya harus diubah sebelum membuat undang-undang," kata Sudarjanto kepada Tempo di Jakarta kemarin. Dia mencontohkan, perbedaan kelas dalam masyarakat Indonesia menjadi unsur dominan sulitnya membuat undang-undang yang melindungi pekerja anak di sektor privat itu. Tak aneh, kata dia, banyak kasus kekerasan yang menimpa PRT anak, seperti kerja paksa, trafficking (perdagangan manusia), serta kekerasan fisik dan seksual.
Sudarjanto mengakui, pengawasan terhadap para majikan dalam memperlakukan PRT anak tidak mudah. Selain terbatasnya tenaga yang mengawasi pekerja anak di sektor formal, penolakan majikan karena ranahnya diintervensi pihak luar pun menjadi penyebab. Bahkan sekadar pendataan jumlah PRT anak pun susah dilakukan. "Baru mau ditanya tentang PRT-nya, pintu sudah dibanting," kata Sudarjanto menjelaskan.
Meski pembuatan regulasi perlindungan PRT sulit, Sudarjanto masih berharap ada celah lain, di antaranya bekerja sama dengan Kementerian Negara Pemberdayaan Perempuan. Tahun ini kementerian itu akan membuat lokakarya panduan perlindungan PRT anak. "Apakah akan menghasilkan draf undang-undang, saya belum tahu," katanya.
Koordinator Program Gema Perempuan, lembaga yang memfokuskan penguatan PRT, Aida Milasari, mengakui bahwa pembuatan undang-undang yang melindungi PRT anak tidak mudah. "Para pengambil keputusan itu juga majikan," kata dia kepada Tempo. Mereka tidak akan membuat regulasi yang justru mengurangi hak istimewa sebagai majikan. Aida menilai, sikap pasrah Departemen Tenaga Kerja menunjukkan departemen itu tidak memiliki kemauan politik melindungi PRT anak.
Aida menyarankan agar pengawasan terhadap perlindungan PRT anak bisa dilakukan dengan menempatkan pekerja-pekerja sosial di kelurahan. Seharusnya, kata dia, pemerintah mengeluarkan regulasi yang mengangkat partisipasi masyarakat jika melihat tindak kekerasan.
Menurut Aida, masalah PRT selama ini adalah bekerja tanpa batasan waktu, upah rendah, dan tidak ada perlindungan kerja, misalnya hak beristirahat ketika mereka sedang sakit dan pemberian fasilitas menyangkut kebutuhan reproduksi mereka. Majikan juga tidak memberikan pendidikan bagi PRT anak di luar rumah mengingat mereka masih anak-anak. Padahal, kata dia, Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2004 tentang Ketenagakerjaan mengatur bahwa pekerja anak tidak boleh bekerja lebih dari lima jam per hari.
Endang, 15 tahun, PRT asal Surabaya yang bekerja di daerah Pamulang, Banten, mengaku beban kerjanya tak sebanding dengan upah yang diterimanya, Rp 250 ribu per bulan. Dia bekerja dari subuh hingga malam tanpa istirahat. Majikannya memang membolehkannya mengikuti pendidikan Paket B (setara SMP) yang diberikan Gema Perempuan. Tapi, kata Endang, meski dia makin memahami hak-haknya, majikannya tetap memperlakukannya seperti biasa. "Majikan tak membolehkan saya mencuci pakai mesin, biar ngirit, padahal ada alatnya," ujarnya. ISTIQOMATUL HAYATI
No comments:
Post a Comment