Jumat, 6 September 2002.
Jam Tayang Iklan Rokok di Televisi Masih Jadi Perdebatan di DPRJAKARTA - Penayangan iklan rokok, khususnya di media televisi, sampai saat ini masih menjadi bahan perdebatan di antara anggota Panitia Kerja Rancangan Undang-undang Penyiaran.
Perdebatan itu terutama menyangkut jam tayang iklan tersebut.
Djoko Susilo, anggota Panitia Kerja RUU Penyiaran mengatakan, sebagian anggota ada yang menginginkan adanya perubahan jam tayang yang ada, yakni dari pukul 21.30 WIB menjadi minimal pukul 22.00 WIB atau lebih malam lagi.
Menurut Djoko, anggota-anggota Panitia Kerja RUU Penyiaran sudah memutuskan tidak adanya larangan terhadap penayangan iklan rokok di televisi. Hanya saja, anggota-anggota panita kerja menginginkan agar frekuensi penayangan iklan rokok itu bisa berkurang dibandingkan sebelumnya. Alasan anggota, jika penayangan iklan rokok itu tidak dikurangi, jumlah perokok remaja akan semakin tinggi.
"Karena dihilangkan sama sekali tidak mungkin, kami usulkan agar penayangannya menjadi lebih malam, sehingga jumlah perokok remaja bisa berkurang. Meskipun mungkin tidak terlalu signifikan," kata Djoko kepada Koran Tempo di Jakarta.
Namun, sebagian anggota lagi mengatakan iklan rokok tetap boleh ditayangkan pada sore hari jika iklan itu menjadi sponsor utama suatu program siaran, seperti untuk pertandingan olah raga atau acara lainnya.
"Adanya dua pendapat ini yang membuat jam tayang iklan rokok masih menjadi perdebatan. Kalau iklan rokok boleh ditayangkan pada sore hari karena sebagai sponsor utama, berarti tujuan untuk menayangkan iklan rokok lebih malam lagi menjadi tidak ada gunanya," kata Djoko.
Di sisi lain, menurut Djoko, tidak mungkin melarang sama sekali penayangan iklan rokok di televisi seperti yang diinginkan masyarakat, karena bisa mematikan industri rokok dalam negeri. Industri rokok di dalam negeri kelangsungan hidupnya juga harus dijamin, karena melibatkan tenaga kerja yang cukup besar. Apalagi, dengan adanya persaingan antara industri rokok lokal dengan industri rokok putih dari manca negara..
"Hal ini juga menjadi persoalan, karena selama ini iklan rokok putih dari luar negeri boleh ditayangkan pada sore hari untuk acara-acara yang memerlukan sponsorship. Industri rokok kretek seharusnya juga mendapatkan kesempatan yang sama. Tetapi selama ini iklan rokok kretek yang merupakan produk dalam negeri justru tidak pernah ditayangkan di sore hari," katanya.
Karena itu, menurut Djoko, persoalan ini akan menjadi perdebatan panjang karena di satu sisi undang-undang tersebut harus melindungi rokok kretek domestik dari serangan rokok putih dalam hal iklan di televisi. Sedangkan di sisi lain, undang-undang juga harus dapat melindungi konsumen yang menginginkan hidup sehat.
Belanja terbesar
Ketua Umum Persatuan Perusahaan Periklanan Indonesia (PPPI) R.T.S. Masli mengatakan, meskipun selama ini rokok bukan jenis produk yang terlalu dominan dan memberikan kontribusi terbesar di televisi, tapi belanja iklan rokok di televisi sangat besar. Jika iklan rokok dihapuskan dari media televisi, memang media televisilah yang akan paling dirugikan.
Sebagai gambaran, dari total belanja iklan di Indonesia pada 2001 misalnya, iklan rokok memberikan kontribusi 6,2 persen dari total belanja iklan yang mencapaiRp 9,7 triliun. Masing-masing 2,4 persen berasal dari rokok kretek dan 3,8 persen dari rokok putih.
"Dari 6,2 persen itu, sebanyak 70-80 persen di antaranya merupakan iklan rokok di televisi. Berarti, belanja iklan rokok untuk televisi cukup besar," kata Masli belum lama ini, ketika diminta komentarnya tentang kemungkinan dihapuskannya penayangan iklan rokok di televisi.
Menurut Masli, dampak lain yang dialami stasiun televisi tidak hanya dari sisi materi, melainkan juga kompetisi antarstasiun televisi yang semakin ketat. Apalagi, jika salah satu produk iklan dihapuskan dari televisi. Jika ada produk iklan adayang dilarang diiklankan, berarti akan ada pengecilan kue iklan sehingga persaingan memperebutkan iklan semakin besar.
Padahal, PPPI memperkirakan iklan rokok akan memberikan kontribusi 6,5 persen dari total belanja iklan yang diproyeksikan sekitar Rp 12,6 triliun pada 2002. Sedangkan investasi terbesar belanja iklan rokok terbesar yang masih tetap untuk televisi diperkirakan akan mencapai sekitar 80 persen dari kontribusi sebesar 6,5 persen itu.
"Jika iklan rokok ditiadakan, maka yang paling banyak kehilangan adalah media televisi karena investasi iklan rokok sebagian besar untuk televisi. Dari 10 televisi swasta yang ada, tiga stasiun televisi besar, yakni Indosiar, RCTI, dan SCTV yang diperkirakan paling akan banyak mengalami kerugian," kata Masli. laksmi nurwandini
No comments:
Post a Comment