Senin, 19 Agustus 2002.
Ekbis
Kebijakan Pemerintah Kontradiktif dengan Dunia Usaha
19 Agustus 2002
TEMPO Interaktif, Jakarta:Kebijakan pemerintah untuk menggenjot sektor pajak melalui RAPBN 2003 dinilai kontradiktif dengan keinginan pemerintah untuk melonggarkan dunia usaha. "Di satu sisi dunia usaha dijepit dari sisi pajak, di sisi lain juga dijepit oleh suku bunga yang masih tinggi," kata Didik J. Rachbini, pengamat ekonomi dari INDEF pada pers di Hotel Indonesia, Jakarta, Senin (19/8).
Menurut Didik, walaupun ada penggenjotan di sektor pajak, namun kebijakan itu dinilainya kontradiktif. Pasalnya dana yang disedot dari penerimaan pajak justru lebih besar dibandingkan yang dikucurkan kembali ke masyarakat. Akibatnya, kondisi yang kontraktif itu, menjadi hal yang bertolak belakang pula dengan keinginan untuk mencapai target pertumbuhan sebesar 5 persen. "Jadi maunya tumbuh 5 persen tapi tangannya diborgol, itu yang terlihat dari RAPBN sekarang," kata dia.
Ia menambahkan, kondisi yang kontradiktif itu diakibatkan karena negara terjebak untuk membayar berbagai hal, di antaranya utang-utang luar negeri. Akibatnya memang tidak ada harapan yang banyak dari RAPBN 2003. Sebaliknya justru masyarakat akan berkorban banyak untuk mendapatkan askes terhadap pajak-pajak yang mereka bayar.
Didik menekankan hal terpenting dari sektor pajak, bukan semata-mata besarnya penerimaan tetapi juga segi pembinaannya. "Pajak itu mau diapakan kalau dibuang ke tempat sampah sama aja kan," argumannya. Karena itu seyogyanya pajak memang dikucurkan kembali untuk membiayai anggaran rutin maupun anggaran pembangunan.
Namun, tambah dia, pasalnya penerimaan pajakpun tidak memadai. Apalagi dalam situasi pertumbuhan yang lemah sektor pajak dikuras habis-habisan. Kondisi inilah yang kemudian berimbas pada dunia usaha. Untuk itu Didik menyarankan agar pemerintah dapat menerapkan suatu kreasi kebijakan keuangan yang dapat memulihkan keadaan ekonomi. Salah satunya melakukan rekayasa dalam pembayaraan utang. Caranya antara lain meringankan beban obligasi pada utang dalam negeri maupun menjadwalkan kembali utang luar negeri (reschedulling) dalam jumlah yang lebih besar. "Kalau ingin lebih agitatif bagi rakyat batasi pembayaran utang itu," sarannya. Ia mencontohkan pembatasan sebesar 15 persen dari pembayaraan utang.
Didik sendiri merasa ragu, target pertumbuhan dapat tercapai sebesar 5 persen. Dari konsumsi di masyarakat pemerintah sebenarnya otomatis bisa memperoleh tingkat pertumbuhan sebesar 3 persen. Sebenarnya selain dari segi konsumsi, potensinya akan lebih besar jika didukung segi ekspor dan investasi. "Tapi saya ragu dengan rekayasa APBN yang sekarang ini yang juga kontras dengan usaha-usaha yang dilakukan selama dua kwartal atau paling tidak empat kwartal selama pemerintah berkuasa," ungkapnya. Karena itu ia menilai pemerintah tidak menghasilkan cukup banyak hal dapat diandalkan untuk memulihkan perekonomian.
Sementara itu, Meneg PPN/Kepala Bappenas, Kwik Kian Gie menetapkan target pertumbuhan sebesar 5 persen adalah produk domestik bruto (PDB). Karena itu, peran pemerintah tidak terlalu banyak atau hanya sekitar 20 persen. Justru yang dapat mendorong pertumbuhan adalah sektor swasta maupun BUMN.
"Besar, mereka tidak peduli apakah pemerintah ada atau tidak, kalau dia untung ya dia invest, dia memproduksi. Produksi kan masih jalan terus, karena itu pertumbuhan itu masih ada," ujarnya menepis nuansa pesimis terhadap target pemerintah untuk mencapai pertumbuhan sebesar 5 persen. (Dara Meutia Uning-Tempo News Room)
No comments:
Post a Comment