Senin, 2 April 2007.
Putusan MA Bebaskan Koruptor JORR Dinilai Janggal
Perlu adanya eksaminasi publik atas putusan-putusan korupsi yang dibebaskan oleh MA.
JAKARTA -- Mahkamah Agung kembali menuai kontroversi. Dalam kasasi perkara korupsi pembangunan tol Jakarta Outer Ring Road (JORR), Mahkamah Agung (MA) mengeluarkan dua putusan yang berbeda. Hamid Djiman sebagai perantara tanah TNI AD untuk JORR dibebaskan, sedangkan juru bayar dari PT Jasa Marga Dawud Djatmiko tetap meringkuk di tahanan. ''Bagaimana bisa terdakwa yang satu dibebaskan sedangkan terdakwa yang lain tidak. Yang jelas, dalam korupsi, tak mungkin seseorang itu bekerja sendiri,'' ujar koordinator pemantau peradilan Indonesian Corruption Watch (ICW) Emerson Juntho, kepada Republika, Ahad (1/4). Namun Kepala Kejaksaan Negeri (Kajari) Jakarta Timur, M Jasman, justru menyambut baik putusan tersebut. Menurut Djasman, vonis Dawud justru kebalikannya dengan vonis Hamid. Hal ini menjadi celah lebar bagi Kejaksaan Agung untuk mengajukan Peninjuan Kembali (PK). Salah satu dasar pengajuan PK adalah ditemukannya vonis yang bertentangan dalam perkara yang sama. Hamid d!
inyatakan bebas murni pada 16 November 2006. Pembebasannya nyaris luput dari pemberitaan dan beredar sebatas isu. Berita ini terungkap baru pekan lalu. Padahal, Hamid telah dieksekusi sejak 23 November 2006. Proses hukum yang relatif cepat untuk kasus korupsi, karena vonis pengadilan tingkat pertama di Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Timur baru dijatuhkan pada 13 Februari 2006. ''Tidak diam-diam, kami (kejaksaan - red) yang eksekusi,'' ujar Jasman. Menurut Jasman, dalam putusan kasasi termuat putusan yang bersifat penetapan dan harus dijalankan. Maka, ujar dia, ketika salinan telah diterima, menjadi tugas kejaksaan untuk melaksanakan amar putusan tersebut. Saat Hamid dibebaskan, kata Jasman, dirinya telah melaporkan ke Kejaksaan Agung. Meski terjerat perkara yang sama, Hamid dan Dawud diajukan ke persidangan dalam dua berkas berbeda. Vonis mereka pun berbeda. PN Jakarta Timur memvonis Hamid dengan hukuman penjara 14 tahun, denda Rp 200 juta, dan mengganti kerugian negara Rp!
67,53 miliar. Adapun Dawud, divonis pada hari yang sama denga!
n Hamid,
dijatuhi hukuman penjara delapan tahun dan mengganti kerugian negara sejumlah total kerugian negara dikurangi uang pengganti yang telah dibebankan kepada Hamid, menjadi sekitar Rp 6,7 miliar. Pengadilan Tinggi (PT) DKI Jakarta menguatkan vonis mereka pada 24 April 2006. Peran Hamid dalam pembebasan lahan untuk JORR adalah sebagai 'calo'. Dia memakai surat kuasa TNI AD untuk mendapatkan uang ganti rugi pembebasan lahan seluas 49,9 ribu meter persegi di Kelurahan Ceger, Cipayung, Jakarta Timur. Dari keseluruhan dana yang diterima Hamid, Rp 81,9 miliar, dibayarkan ke TNI AD selaku pemilik lahan sejumlah Rp 6,6 miliar. Uang yang didapatkan TNI AD, sesuai perjanjian antara TNI AD dan Hamid, adalah 30 persen ganti rugi lahan yang dihargai Rp 300 ribu per meter. Sebagian dana diberikan kepada warga yang menghuni lahan tersebut. Selebihnya dinikmati Hamid setelah sebagian dibagi-bagikan kepada beragam pihak dan untuk administrasi pengayaan dirinya. Adapun Dawud adalah Wakil Ketua !
Panitia Pelaksana Pembebasan Lahan proyek itu. Dawud bekerja di Jasa Marga. Dawud-lah yang mengajukan uji materiil ke Mahkamah Konstitusi (MK) penjelasan pasal 2 ayat 1 UU 31/1999 sebagaimana diubah dengan UU 20/2001. Belakangan, pengabulan uji materi ini dituding menjadi salah satu senjata perlawanan balik koruptor Indonesia. PK perkara Hamid dan Dawud ini, kata Jasman, bisa menjadi jalan untuk menguak keterlibatan orang lain dalam perkara ini. ''Tapi yang penting PK dulu,'' ujar Jasman. Ketika kasus ini merebak, aroma tak sedap menguar yang menyebut-nyebut keterlibatan pejabat daerah setempat dan orang-orang yang terdaftar sebagai Panitia Pengadaan Tanah (P2T). Sementara itu Ahmad Santosa atau kerap disapa Ota dari Kemitraan menyatakan, perlu adanya eksaminasi publik atas putusan-putusan korupsi yang dibebaskan oleh MA. ''Dari situ, kita lihat, apa kejanggalan putusan-putusan itu mencolok dan mengarah pada indikasi tertentu di MA.'' Dikatakannya, para hakim punya kewajib!
an profesional sebagai hakim untuk melihat, mengkaji, dan meng!
analisis
putusan-putusan serupa. Diakuinya, Indonesia tidak menerapkan sistem Stare Detisis atau putusan yang dibuat tak boleh bertentangan dengan putusan-putusan terdahulu. ''Meski begitu, hakim tetap punya kewajiban profesional untuk melihat putusan sebelumnya, apalagi yang perkara yang satu rumpun (sejenis). Sehingga, hakim bisa menghindari putusan yang membingungkan publik,''sambungnya. wed/ann KY: Hukum Masih Dipermainkan Mafia Peradilan Ketua Komisi Yudisial RI, M Busyro Muqodas, menyatakan, bahwa hukum sebagai salah satu pilar dalam berbangsa dan bernegara saat ini masih sering dipermainkan oleh `mafia peradilan` demi kepentingan pribadi maupun kelompok. ''Kita memang telah lepas dari penjajahan negara lain, namun sebenarnya penjajah itu masih ada dan hidup tenang diantara kita yakni penjajah "jual beli putusan,'' katanya pada Seminar Nasional Format Pendidikan Politik pasca Reformasi dan Rakerwil Muhammadyah se Sulsel, di Makassar, Sabtu (31/3). Terungkapnya berbagai kasus!
penyalahgunan wewenang oleh hakim serta pejabat peradilan lain akhir-akhir ini, menjadi cermin dari lemahnya integritas moral serta perilaku penegak hukum termasuk aparat di lembaga peradilan. ''Keadaan ini tidak hanya di lingkungan Pengadilan Negeri dan Pengadilan Tinggi, tetapi juga terjadi di Mahkamah Agung sebagai penyelenggara kekuasaan kehakiman tertinggi,'' ungkapnya. Akibatnya, masyarakat pencari keadilan memandang bahwa lembaga Peradilan sebagai suatu sistem dianggapnya sudah tidak bersih dan kurang berwibawa sehingga mereka menjadi putus asa dan bosan menggantungkan harapannya kepada pemerintah. ant
( )
No comments:
Post a Comment