Cari Berita berita lama

Republika - Mereka yang Tegar

Minggu, 16 November 2008.
Minggu, 16 November 2008 pukul 07:37:00
Mereka yang Tegar


Anak mereka terlahir cacat. Tapi, mereka mencoba mengatasi keterpukulan mereka untuk mengambil tanggung jawab.Semasa awal kelahiran putrinya, Wun Bong Lee dan keluarga besarnya sempat malu memiliki keturunan yang cacat. Hee Ah Lee, anak Wun Bong dan Woo Kap Sun, lahir pada 9 Juli 1985 dengan menyandang lobster claw syndrome. Hee Ah lahir dengan jemari tangannya serupa capit kepiting.Wun Bong bahkan sempat membujuk Woo Kap agar membiarkan Hee Ah diberangkatkan ke Kanada untuk menjadi anak adopsi. Pasalnya, ia tak yakin Hee Ah punya masa depan di Korea. Ide itu ditentang Woo Kap.Di benua Amerika, anak cacat banyak dibuang keluarganya. Hingga, suatu ketiak Amerika Serikat bahkan mengalami booming bayi yang siap diadopsi. Bayi-bayi itu dalam kondisi cacat dan tak diinginkan oleh orangnya dari kalangan menengah dan keluarga utuh.Wun Bong juga pernah melarang Woo Kap mengajak Hee Ah berlatih piano. Apalagi, sampai naik pentas. Ia khawatir Hee Ah akan diolok-olok karena cacat !
fisiknya. ''Sebelum meninggal, Wun Bong hadir di pementasan Hee Ah dan menangis. Ia menyesali sikapnya. Dia bangga sekali dengan Hee Ah,'' kata Woo Kap.Ketegaran dan keikhlasan menerima anak yang cacat telah ditunjukkan Woo Kap sejak Hee Ah masih berupa janin berusia enam bulan. Ketika itu, dokter menyarankan agar Woo Kap menggugurkan kandungannya. Woo Kap yang hamil setelah delapan tahun berumah tangga dengan Wun Bong menolak.Menerima kenyataan anak lahir cacat bukan persoalan mudah. Ada kekalutan di sana. Ada perasaan terpukul. ''Tertekan secara sosial,'' ujar Dewi Yull, yang memiliki dua anak spesial, kepada Republika, Mei 2007.''Istri saya waktu itu bahkan sampai stres dan penyakit asmanya kambuh hingga sekarang,'' kata Daniel Sudarnoto Tambing, yang memiliki anak tak bisa melihat.Menurut Dewi Yull, perasaan tertekan itulah yang harus dilawan, sehingga tak akan meninggalkan tanggung jawab sebagai orang tua. Ketegaran orangtua akan berpengaruh pada anaknya. Itu juga yang!
dialami Alphieza Syam ketika harus mendidik anaknya, Kemal Mu!
hammad R
izki Alfisena, yang menyandang down syndrome. ''Setelah tahu anak kita spesial memang terpukul, tapi tetap harus kita terima dan kita jalankan tugas serta kewajiban untuk membesarkannya,'' ujar Alphieza.Kemal saat ini berusia delapan tahun. ''Kemal adalah tipe anak yang tidak mau ditinggal di rumah. Dia selalu ingin ikut ke mana orang tuanya pergi,'' ungkap Alphieza Syam. Maka, ayah Kemal yang bekerja sebagai financial counsel manager itu selalu mengajak Kemal ke mana pun dia pergi.Kebiasaan ini memungkinkan Kemal bertemu banyak orang. Hal itu membuatnya semakin percaya diri. Hasilnya, semasa play group Kemal selalu menjadi juara dalam peragaan busana. Kemudian pada tahun 2007 kemarin, ia berhasil lolos casting untuk sebuah produksi film televisi. Dia juga sempat berperan dalam dua episode di sebuah sinetron. Di sekolahnya pun, saat mendapat giliran menjalankan kewajiban sebagai petugas adzan, Kemal juga tidak keberatan. Raihan prestasi dalam keterbatasan juga ditunjukkan Ad!
rian Wida Tambing, putra Daniel Sudarnoto Tambing. Remaja kelahiran 1988 yang terpapar Toxoplasma gondii saat dalam kandungan itu diterima kuliah di ITB.Tahun demi tahun, Daniel dan istri terus merawat Adrian yang masih bisa sedikit melihat cahaya, di rumahnya di Bekasi Barat. Saat umur tiga tahun, untuk menyuapi Adrian, istri Daniel harus menggunakan berbagai trik. Dia membeli permainan sejenis piano kecil yang saat tutsnya ditekan akan mengeluarkan bunyi dan lampu yang menyala. Saat lampu menyala itulah mulut Adrian terbuka, makanan pun disuapkan ke dalamnya. ''Kita juga pakai lilin, saat menyala mulutnya terbuka, kita tiup, lalu kalau ingin menyuapi lagi, kita nyalakan lagi lilinnya,'' kenang Daniel.Tapi siapa sangka, dengan alat yang dibeli oleh istrinya itu, Adrian justru mempunyai bakat yang luar biasa. Semasa duduk di bangku SMP, kemampuan bermain pianonya sangat luar biasa, meskipun Adrian mengalami buta total ketika berumur tujuh tahun. Lantunan melodi pianonya per!
nah sampai ke telinga Gus Dur yang saat itu mejabat sebagai Pr!
esiden.
''Beberapa pejabat dan pak Habibie juga pernah menyaksikan permainan piano anak saya,'' kata Daniel. c62/rei
Jumlah Penyandang Cacat Jenis Jumlah- Penyandang cacat penglihatan (tuna netra) 195.332 orang- Penyandang cacat pendengaran (tuna rungu) 106.612 orang- Penyandang cacat bisu (tuna wicara) 118.293 orang- Penyandang cacat bisu-tuli (tuna wicara dan rungu) 67.575 orang- Penyandang cacat tubuh (tuna daksa) 521.231 orang- Penyandang cacat mental (tuna grahita) 236.439 orang- Penyandang cacat jiwa 149.789 orang- Penyandang cacat ganda 83.396 orangSumber: Susenas 2003 (-)

Index Koran

No comments:

Post a Comment