Rabu, 6 Pebruari 2008.
Merajut Benang Sejarah yang Terputus
Setelah tragedi 9/11, peneliti dan diplomat asing mulai menolehkan kepalanya ke Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah. Deplu menjadikannya mitra kerja. Mereka ingin tahu bagaimana ke-Islaman Indonesia melalui kerja sama riset. Prof Komaruddin Hidayat, sang rektor, UIN bukan hanya harus peka pada isu terorisme tapi juga isu lokal seperti Ahmadiyah dan lainnya di samping perannya sebagai tempat transfer knowledge dan juga character building. Kepada Siti Darojah, Rahmat Santosa Basarah, dan Amin Madani dari Republika, dia berkenan menceritakan obsesinya. Berikut petikannya. UIN sekarang menjadi universitas umum. Untuk ilmu umum, apakah ada latar belakang Islamnya juga? Perlu diluruskan terminologi ilmu agama dan umum. Seakan-akan ilmu agama bukan umum. Kami memang membuka kajian agama, ilmu pengetahuan, teknologi dan humaniora. Yang kami lakukan ini adalah menyambung benang sejarah yang telah putus atau revitalisasi studi ke-Islaman di abad Tengah (pertengahan-red)!
. Pada masa itu pusat studi Islam tak hanya studi keagamaan saja tapi juga humaniora dan science. Mestinya sudah sejak dulu ini terjadi. Lalu mengapa baru sekarang? Ini berkaitan dengan sejarah perkembangan politik di Indonesia. Pusat studi ke-Islaman dulu itu pesantren. Mereka anti Belanda, penjajah. Belanda itu Barat. Dan sesuatu yang dari Barat itu sekular sehingga kemudian pesantren jadi anti ilmu pengetahuan umum. Alasan kedua, di negara kita ada dualitas departemen yang mengurus pendidikan yakni departemen agama untuk ilmu keagamaan dan departemen pendidikan nasional untuk yang umum. Ini juga seolah-olah studi agama tidak mempelajari ilmu umum dan Diknas tidak mengajarkan agama. Ini kenyataan yang tidak pas karena studi ke-Islaman itu menyangkut semua ilmu. Ilmu itu berkembang sedemikian rupa seperti benih jadi pohon, kemudian bercabang dan beranting-ranting sehingga cabang ilmu tak bisa dibatasi. Ilmu bahkan berkembang melintasi batas bangsa, negara, dan ras. Oleh ka!
rena itu kami mengembangkan UIN dengan empat peran pokok yakni!
kampus
sebagai pusat transfer dan riset ilmu, sebagai character building. Karena namanya Islam, orang tak mengirim anaknya ke sini hanya belajar semata. Kampus ini melahirkan tokoh politik, ustadz, pengusaha yang amat penting berpegang pada moral. Ilmu tanpa karakter rusak dan karakter tanpa ilmu tidak performed. Peran kampus yang keempat adalah sebagai tempat pelestarian dan pengembangan budaya. Selama ini kita kurang mengembangkan seni dan budaya Islam yang Indonesia. Kita saksikan sendiri juragan acara hiburan di televisi itu dari India atau dari luar sana. Budaya dan seni juga harus berkembang dari kampus. UIN juga punya tanggung jawab sosial. Ini beda dengan kampus lain. Ketika ada isu Ahmadiyah, hubungan antaragama, pembakaran gereja dan teror, masyarakat melihat apa yang dikatakan Rektor UIN. Kami juga kerja sama dengan Deplu. Inilah uniknya posisi sosial UIN. Untuk ilmu umum, apakah ada dasar ke-Islamannya juga? Ada tiga aspek yang dipertimbangkan dalam pengembangan ilmu um!
um. Yang pertama dari basis epistemology. Bagaimana ilmu yang tumbuh itu punya kaitan dengan spirit keislaman Alquran. Kita cari ayat atau basisnya di Alquran, lalu mencari ada keterkaitan dinamis, dialogis dan inspiratif antara Alquran dan keilmuan. Tanpa mematikan disiplin ilmu. Aspek kedua adalah etika atau aksiologi. Ilmu apapun yang dikembangkan harus diniatkan ibadah untuk kebaikan. Yang ketiga kami mendorong bagaimana santri mengembangkan teknologi dan ilmu pengetahuan tapi juga berkomitmen membantu masyarakat pesantren atau kepedulian sosial. Ilmunya di kampus manapun sama. Hanya kepedulian sosial yang beda. Lalu kiblat pengembangan UIN itu ke mana? Istilah kiblat ini tak selalu tepat. Ilmu itu dipengaruhi suasana lokal. Tapi ilmu sosiologi Barat pun tak bisa sepenuhnya dikembangkan di sini karena harus ada konteks keindonesiaannya. Kalau kita meminjam istilah Thomas Friedman 'The world is flat, dunia ini datar artinya dengan teknologi komunikasi lintas dunia pendid!
ikan menjadi amat dekat. Untuk studi keislaman, menurut kami T!
imur Ten
gah lebih kuat. Tapi bicara Islam, kami juga harus mengirim dokter ke Jepang untuk belajar penyakit tropis karena di sana pusatnya. Belajar politik ke Barat karena mereka kaya pengalaman. Konflik di Amerika itu telah melahirkan pengalaman pahit dan dituangkan dalam keilmuwan. Mereka semua kembali ke sini, dan menjalin dialog antara dosen dan mahasiswa yang belajar ke Timur Tengah, Jepang, Barat dan di Indonesia. Ada sinergi menarik. Bukankah ilmu itu berkembang jika ada perbedaan. Kurikulum ilmu umum mengacu ke mana? Sebagai institusi kami di bawah Depag. Tapi untuk keilmuan umum kami melapor ke Diknas. Kami seperti berdiri di dua induk. Kami sedang nego Diknas agar dibantu karena kami juga melaksanakan program Diknas. Tapi Diknas menilai kami ini di bawah Depag. Kata Depag, ini urusan Diknas. Bagi kami ini bukan soal Diknas atau Depag tapi milik bangsa. Posisi UIN unik sebagai pusat studi dinamika keberagamaan di Asia Tenggara. Kami dilirik LIPI, Depag, Deplu dan peneliti a!
sing untuk kerja sama. Kami ingin jadi world class university dan bisa jadi ikon perguruan tinggi Indonesia jika dibina. Karena, bicara apapun di Indonesia, sosial, politik, dan ekonomi tak mungkin meninggalkan bagaimana perilaku dan sikap kekuatan Islam. Apa yang diharap para peneliti atau diplomat asing itu? Yang datang ke sini macam-macam. Ada ilmuwan murni, antropolog, sosiolog juga pengusaha. Mereka berkepentingan untuk keamanan investasi mereka di sini. Ada juga orang asing yang ingin tahu ada politik dan keilmuwan. Tapi kami saling menghargai. Kami berprinsip menjaga independensi ini. Namun memang jika menunggu dana penlitian pemerintah minim sekali. Anggaran pendidikan 20 persen saja tak juga cukup apalagi sekarang dibayangi resesi. Mungkin karena kerap berhubungan dengan Barat, makanya ada yang menyatakan UIN itu tempat berseminya pemikiran liberal? Semua universitas di dunia bekerja sama dengan luar negeri. Kita belajar tradisi riset dan kritis dari dunia Barat. !
Barat punya nilai plus dan minus sekaligus. Nyatanya orang yan!
g kritis
pada Barat itu juga alumni Barat. Jika sebelumnya Islamnya sudah kuat ya mereka kritis. Lihat Amin Rais, Syafii Maarif, Imaduddin Abdurrahim, Nurcholis Madjid. Paradigma di Barat itu ada pemisahan antara gereja dan negara, kampus dan agama. Di beberapa negara berkembang demokratisasi muncul karena kritik pada gereja yang hierarkis. Secara simbolis begini, Yesus menjadi idola di Barat karena mereka kalah di tiang salib. Tokoh agama berakhir tragis di tiang salib, ini amat simbolik. Sementara Nabi Muhammad melahirkan imperium kekuasaan yang diteruskan oleh dinasti-dinasti sahabatnya. Artinya baik Alquran maupun sejarah Islam tak ada pemisahan antara agama dan negara. Antara agama dan universitas dan pada abad pertengahan, abad kejayaan, politik berkembang, science berkembang dan agama berkembang. Jadi beda antara Barat dan Islam. Karena beda sejarah dan doktrinnya. Jadi, Anda menampik soal isu Islam liberal? Jika bicara soal Islam liberal, kita harus sepakat dulu terminologin!
ya. Apakah kita bicara dengan konsep yang sama. Jika kita bicara sekular apakah kita punya konsep yang sama soal sekular. Saya takut ini hanya jargon saja. Tapi situs dan buku sudah menyatakan mereka Islam liberal? Nah kalau tulisan itu beda. Itu ilmiah. Bicara ilmiah itu adem dan terbuka. Tapi jika jargon itu hanya saling menyalahkann. Saya tak mau terlibat. Bagi saya, sepanjang orang itu bicara dengan argumen yang jelas akan mendewasakan masyarakat. Yang pro punya argumen, dan yang kontra juga. Silakan bicara baik-baik, ada medianya. Jangan bicara hal yang tak jelas di khutbah Jumat atau di atas mimbar. Kasian umat dan pendengarnya. Sudah capek oleh problem ekonomi, jangan diperberat dengan hal yang tak jelas lagi. Sekarang universitas negeri harus jadi Badan Hukum Milik Negara. Bagaimana UIN. Bisakah mandiri secara finansial? Orang yang masuk IAIN dan sekarang UIN sebagian orang miskin. Kami punya kewajiban moral membantu mereka. Jika tak difasilitasi mereka tak punya pi!
lihan dan tak bisa mencintai dan memahami Indonesia. Lewat UIN!
, mari k
ita dorong mereka terlahir sebagai orang Indonesia yang punya wawasan dan menjagi bagian dari warga dunia. Makanya kami ingin memberi beasiswa kepada santri yang pinter-pinter. Kalau tidak dibantu, jangan-jangan mereka jadi sarang teroris nantinya. Dari sisi keuangan, UIN memang jauh di bawah UI dan ITB. Makanya kami mengimbau pemerintah, DPR dan Depdiknas, untuk menjadikan UIN sebagai aset bangsa membina kader terbaik. Makanya kami terima tawaran riset dari luar negeri. Kami ingin semua dosen juga berpengalaman mengajar atau riset di luar negeri. Jika ini tidak diperhatikan, kita tak akan bisa kompetisi. In the long run, kita hanya akan melahirkan sarjana kelas TKI dan pekerja yang tidak kualified. Padahal alam kita melimpah tapi tidak diback up oleh sumber daya dan riset yang bagus, kita hanya jadi pusat kenduri negara lain, alam kita dijarah, orang pinter di brain drain dan kita terjerat utang luar negeri. Lalu bagaimana selama ini? Kami sedang melobi bagaimana agar dana !
Diknas mengucur juga ke sini. Kita kan juga mengembangkan 70 program diknas. Masa, yang dibesarkan pohon diknas tapi yang menyiram Depag. UIN ini kampus yang mengindonesia. Mahasiswa dari beragam daerah. Lokasinya letak di dekat pusat ibukota. Jika potensi ini dimanfaatkan bisa lahir tokoh bangsa yang kuat. Di sini memang aslinya anak petani. Mereka masuk pesantren karena miskin. Dulu, lulusan pesantren mau masuk ITB ya nggak bisa. Nilainya nggak masuk. Maka kultur yang paling dekat ya UIN. Di sini kita beri pelajaran umum dan kami jadi katalisator mobilitas intelektual bagi penyemaian kader bangsa. Jika di daerah itu relatif homogen. Memang dekat dengan daerahnya. Tapi, dengan otonomi daerah, semua mengerucut ke putra daerah. Padahal peradaban yang unggul itu yang hibrid atau silang. Kalau sama tidak sehat. Rumah tangga homogen juga tak baik. Makanya ada muhrim, keluarga sedarah yang dilarang menikah. Nah di Jakarta ini memungkinkan budaya silang tadi. Tapi, kok Depag menj!
adikan UIN Malang sebagai percontohan karena ada pesantrennya?!
Menurut
saya silakan masing-masing tumbuh sesuai wilayah. Untuk di Jawa Timur pesantren itu cocok. Tapi untuk melahirkan wawasan itu Jakarta. Jadi jangan sama deh. Pemerintah harus melahirkan pusat-pusat unggulan. Buat apa jika sama semua. Di Jepang tiap kampus punya unggulan. ITB dan IPB beda. Kami juga sedang mengarah ke kampus bilingual. Banyak dosen lulusan luar negeri baik Timur Tengah maupun dari Barat. Kami minta mereka mengajar dengan bahasa Inggris dan Arab supaya kita bisa masuk ke dunia yang datar tadi. Kalau tidak, kita cuma bisa jadi orang Ciputat. Kami juga kerja sama dengan Malaysia, McGill, dan Singapura untuk program S2. Gelarnya double degree. Obsesi Seorang Guru (Besar) ''Obsesi saya UIN menjadi taman peradaban. Saya satpamnya, saya tukang siramnya, atau keamanannya,'' kata Prof Dr Komaruddin Hidayat. Ia berharap taman itu tumbuh dan ribuan pohon jati yang kuat berdiri kokoh memenuhi taman itu. Itu makanya, kata Komaruddin, dia selalu mendorong rekannya maju dan !
memenuhi undangan keluar negeri. ''Selagi masih bisa diwakilkan, saya delegasikan saja kepada orang lain. Saya ini sudah jenuh ke luar negeri. Biar yang lain saja,'' katanya merendah. Dia dengan gembira melakukan itu. Alumni UIN dan juga santri pondok Pesantren Pabelan di Jawa Tengah ini mengaku takut menjadi orang yang kurang bersyukur. Dahulu, dia hanya bercita-cita jadi guru saja. ''Atau paling tinggi kepala sekolah,'' katanya. Ada kebanggaan jadi guru di desa karena setiap datang sepedanya selalu disambut murid-murid. ''Sekarang saya juga jadi guru malah guru besar.'' Komaruddin mengakui fisolofi yang diajarkan sang guru dari Pondok Pabelan amat mempengaruhi dirinya. Dan itu terbawa menjadi sikapnya termasuk ogah menjadi bagian dari birokrasi. ''Saya ingin jadi orang merdeka, karena tak perlu takut karena diatur orang lain.'' Meskipun birokrasi itu menurut dia penting. Keinginan itu mengantarnya menjadi wartawan, aktivis LSM dan kini Rektor UIN. ''Saya menikmati betul j!
adi wartawan karena merdeka, bebas mau bertemu siapa saja.'' D!
ia berpe
ndapat menjadi rektor itu bukan jabatan naik atau turun. Sebelumnya dia bahkan sudah aktif di berbagai lembaga termasuk Panwaslu. Dari dulu, kata dia sudah aktif di LSM dan di kampus. ''Ibarat orang nyetir ini cuma pindah jalur saja.'' Toh, spiritnya tetap sama. Hanya spirit mengelola emosi yang berbeda. Di luar aktivitas sebagai rektor, Komarudin masih menjaga tali silaturahmi dengan teman-teman karena teman itu dianggapnya sebagai aset. Undangan pernikahan, makan malam dan bahkan golf pun dia terima dengan senang hati. ''Ya, saya senang main golf.'' Bukan sekadar olah raga, katanya, golf itu adalah ajang melihat keindahan Indonesia yang tersisa. Indonesia indah. Tapi yang tersisa hanya di lapangan golf. Golf juga mengajarkan sabar dan istiqomah. ''Jika kita tidak konsentrasi, maka pukulan kita pasti meleset.'' Bio Data Nama : Komaruddin Hidayat, Prof. Dr. Tempat/Tanggal Lahir: Pabelan, Magelang, 18 Oktober 1953 Pendidikan: 1. Pondok Pesanten Pabelan, Magelang, Indonesia (1!
969) 2. S1 Facultas Ushuluddin IAIN Jakarta (1981) 3. S2 (M.A) and S3 (PhD) Filsafat dari Middle East Technical University (METU) Ankara, Turki (1995) 4. Post-Doctorate Research Program at McGill University, Canada (one semester, 1995) 5. Post-Doctorate Research Program at Hartfort Seminary Connecticut, USA (one semester, 1997) Pekerjaan: 1. Rektor UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, (2006-sekarang). 2. Pendiri dan anggota Masyarakat Dialog Antaragama (Madia). 3. Ketua Asosiasi untuk Pemilihan dan Demokrasi (2006) 4. Anggota Badan Nasional Standar Pendidikan (BNSP) (2005-sekarang) 5. Ketua Panwaslu (22003-2004). 6. Pendiri Sekolah Internasional Madania 7. Dosen di UGM, dll Buku: 1. Agama Masa Depan, co-author; 1995 2. Tragedi Raja Midas 1998 3. Passing Over, co-editor; 1998 4. Tuhan Begitu Dekat, 2000 5. Wahyu Di Langit Wahyu Di Bumi (2003) 6. Menafsirkan Kehendak Tuhan (2003) 7. Manuver Politik Ulama, Co-author; 2004 8. Psikologi Kematian, 2006, dll
( )
No comments:
Post a Comment