Senin, 23 April 2007.
Masih Ada Kesenjangan antara Pria dan Wanita
Perempuan melek huruf hanya mencapai 87 persen, sedangkan laki-laki mencapai 94 persen.
JAKARTA -- Ketua Departemen Filsafat Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, Dr Gadis Arivia, mengatakan, hingga saat ini masih ada kesenjangan antara pria dan wanita di Indonesia, terutama di bidang pendidikan. ''Perempuan melek huruf hanya mencapai 87 persen, sedangkan laki-laki mencapai 94 persen,'' kata Gadis saat menjadi pembicara sarasehan terkait Hari Kartini bertajuk "Akar Budaya Kepemimpinan Perempuan Indonesia" di Jakarta, Sabtu (21/4). Dikatakannya, kesenjangan juga terjadi pada pendidikan sekolah dasar meski tidak terlalu tajam, yakni 93 persen untuk anak perempuan dan 95 persen untuk anak laki-laki. ''Kesenjangan ini semakin lebar ketika sampai pada tingkat pendidikan yang lebih tinggi,'' kata Gadis pada acara yang digelar Pengurus Besar Korps Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia Putri dan Pimpinan Pusat Ikatan Pelajar Putri NU tersebut. Pada bagian lain Gadis menyebutkan, dibanding tahun 2005, pada tahun 2006 terjadi penurunan partisipasi !
kerja perempuan dibanding laki-laki. ''Partisipasi perempuan bekerja di tahun 2005 telah mencapai 50.65 persen, sedangkan di tahun 2006 menurun menjadi 48.63 persen,'' katanya. Sementara itu, Direktur Eksekutif The Wahid Institute, Ahmad Suaedy menyoroti gerakan pemberdayaan perempuan di lingkungan Nahdlatul Ulama (NU). Dikatakannya, pada awalnya, peran perempuan di NU sangat terbatas karena kuatnya budaya patriarki. Gerakan perempuan di kalangan NU baru dimulai ketika tampil sosok bernama Hindun yang memelopori pembentukan Muslimat NU. ''Awalnya banyak kiai-kiai yang menolak gagasan Ibu Hindun itu,'' kata Suaedy saat menceritakan perjuangan putri pendiri NU Hadratus Syeikh KH Hasyim Asy`ari itu. Meski akhirnya gagasan Hindun itu diterima sejumlah kiai, termasuk KH Hasyim Asy`ari, katanya, butuh waktu sekitar 15 tahun untuk bisa diterima lebih luas di kalangan NU. Tepatnya, ketika Muslimat NU dimasukkan dalam Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga NU. Perkembangan menggem!
birakan dalam pemberdayaan kaum perempuan di NU terjadi pada e!
ra 1940-
an. Pada era tersebut, perempuan mulai mengajar para santri dan menjadi pimpinan di pesantren. Kartini award Anugerah "Kartini Award" ke-13 yang diselenggarakan oleh Surabaya Plasa Hotel, akhirnya diraih oleh Desak Nyoman Suarti (49 tahun), seorang perajin perak dan pembina kesenian tradisional asal Ubud, Kabupaten Gianyar, Bali. Kartini Award itu, disampaikan oleh Walikota Surabaya Bambang DH di Surabaya, Sabtu (21/4). Suarti yang mendapatkan sejumlah uang dan piagam itu menyisihkan dua nominator perempuan lainnya asal Surabaya, yakni Kastini (52 tahun) serta Purbandari (33 tahun). Ketua dewan juri dari Pusat Studi Wanita (PSW) Unair, Liestianigsih D Dayanti mengemukakan bahwa Suarti menyisihkan nominator lainnya, karena dia dianggap memiliki dedikasi yang luar biasa dalam bidangnya. ''Ia telah mendorong ibu-ibu tidak mampu di daerahnya untuk belajar menabuh gamelan yang selama ini lazimnya dimainkan oleh kaum laki-laki. Ia juga mengajarkan tari Kecak dan tari Barong untuk !
perempuan-perempuan di daerahnya,'' paparnya. Selain itu, Suarti juga telah menampung anak-anak tidak mampu di daerahnya. Suarti mengemukakan, dirinya tergugah mengajarkan tari tradisional Bali setelah ia pulang dari mengajar tari di suatu perguruan tinggi di luar negeri. Ia khawatir masa depan kesenian tradisional Bali akan punah. ''Kalau di luar negeri saya mengajarkan seni ini, mengapa di pulau saya tidak? Akhirnya tahun 1999 saya kumpulkan ibu-ibu ke rumah saya dan saya ajak belajar menari,'' paparnya. Ikhtisar: - Gerakan perempuan di kalangan NU baru dimulai ketika tampil sosok bernama Hindun yang memelopori pembentukan Muslimat NU. - Anugerah "Kartini Award" ke-13 diraih oleh Desak Nyoman Suarti, seorang perajin perak dan pembina kesenian tradisional asal Ubud, Kabupaten Gianyar, Bali.
(ant )
No comments:
Post a Comment