Selasa, 15 April 2008.
Konsep Paradigma Sehat
Oryz Setiawan Praktisi Kesehatan & Aktif di Persatuan Sarjana Kesehatan Masyarakat Indonesia (Persakmi) Rentetan musibah datang silih berganti, mulai dari bencana lingkungan, merebaknya (kembali) kasus flu burung, demam berdarah, diare, hingga kasus gizi buruk di hampir semua wilayah Tanah Air. Sektor kesehatan, misalnya, ibarat gadis molek yang tak kunjung dapat jodoh. Selama ini kesehatan lebih dipandang sebagai investasi sosial yang dianggap sebagai beban pembangunan yang kurang memberikan dampak langsung dan riil pada masyarakat. Makna kesehatan kini lebih identik dengan penyakit, obat, puskesmas, rumah sakit, dan dokter yang memberikan sifat histeria massa sehingga sering ketika terjadi masalah kesehatan sangat jarang berpikir bahwa aspek pencegahan menjadi preferensi utama. Padahal, berdasarkan penelitian lebih dari 50 persen masalah kesehatan (penyakit) dapat dicegah dengan upaya preventif. Bencana alam yang kerap terjadi akhir-akhir ini pun sebenarnya juga bi!
sa diprediksi sebelumnya. Pembalakan hutan, penambangan pasir liar, pembuangan sampah sembarangan, sistem drainase yang buruk, dan faktor lain adalah contoh konkret bahwa musibah dan kejadian yang kini melanda telah jauh-jauh hari diperkirakan. Semuanya akan mengikuti hukum hubungan kausal (sebab akibat). Indikator positif Kondisi kesehatan kini merupakan produk historis yang mengadopsi program kesehatan berbasis paradigma sakit dengan indikator negatif, seperti penurunan angka kematian bayi dan ibu, angka kesakitan, jumlah kunjungan pelayanan kesehatan dan jumlah layanan sarana, prasarana, serta fasilitas fisik semata. Oleh karena itu, perlu dikembangkan indikator positif. Artinya, mampu mewujudkan status kesehatan, produktivitas tinggi, dan mampu mendorong masyarakat untuk lebih mandiri dalam jangka panjang yang mengacu pada ukuran indeks kualitas hidup. Program kesehatan yang menekankan pada penyembuhan penyakit harus diubah ke arah pembinaan masyarakat yang sehat melal!
ui gaya hidup sehat sehingga menciptakan kultur perilaku hidup!
sehat,
menjamin kemandirian, mampu mencegah sedini mungkin problem kesehatan (penyakit). Selain itu, dapat mengurangi ketergantungan terhadap dokter dan obat sehingga tercipta pola pemahaman hidup sehat yang menjadi entry point bagi upaya peningkatan derajat kesehatan publik. Dewasa ini problem kesehatan tersebut lebih banyak dijumpai di wilayah yang mengalami transisi demografi, perubahan pola hidup masyarakat dan struktur sosial ekonomi serbakompleks di mana tingkat persaingan hidup tinggi, tekanan ekonomi yang secara perlahan dan tak disadari menyebabkan pengabaian status kesehatan. Blum (1974) dalam Planning for Health, Development and Application of Social Change Theory , menyatakan bahwa faktor lingkungan berperan sangat besar di samping faktor perilaku daripada faktor pelayanan kesehatan dan keturunan (genetik). Di sisi lain, dalam satu dasawarsa terakhir terjadi pertumbuhan dan perkembangan yang luar biasa di bidang layanan rumah sakit, klinik pengobatan, pusat kebugaran, !
layanan klinik kecantikan, bahkan pengobatan alternatif yang kian marak menambah spektrum warna layanan kesehatan. Namun, ironisnya maraknya layanan kesehatan dan pengobatan yang muncul dewasa ini justru terkesan hanya diperuntukkan bagi segelintir kelompok, bukan dimanfaatkan sepenuhnya oleh setiap orang. Pengaruh mekanisme pasar yang sangat kuat berpotensi mendistorsi layanan kesehatan yang memiliki karakteristik nilai-nilai humanisme. Dominasi peran swasta yang tidak mampu diimbangi kekuatan intervensi pemerintah akan mengakibatkan kecemburuan sosial yang akhirnya berpengaruh pada entitas ketidakadilan masyarakat. Apalagi, desain layanan swasta yang tersedia saat ini lebih banyak menggunakan pendekatan skala ekonomi berbiaya tinggi. Karena itu, sering menimbulkan dampak kenaikan tarif yang ujung-ujungnya mempersulit aksesibilitas dan keterjangkauan masyarakat miskin dan kaum marginal. Ancaman kapitalistik Paradigma sehat sebagai salah satu strategi dasar pembangunan ya!
ng mendorong masyarakat untuk secara mandiri mampu mempertahan!
kan stat
us kesehatan sekaligus mengedepankan upaya-upaya yang berorientasi promotif dan preventif. Meningkatnya kasus-kasus kesehatan saat ini menunjukkan ketidakjelasan pola pemberdayaan peran publik dalam pembangunan kesehatan. Kepentingan publik kerap menjadi dampak pengomoditasan berbagai pragmatisme kebijakan, sasaran objek pangsa pasar kaum kapitalis yang sering menempati subordinat dalam konfigurasi sistem kesehatan nasional. Pola penanganan usai merebaknya kasus penyakit, wabah, atau problem kesehatan lain merupakan depolarisasi kebijakan sektor kesehatan yang selama ini diimplementasikan. Upaya penanganan yang kental nuansa 'proyek' mengakibatkan terjadinya pembengkakan anggaran terutama pada kegiatan pengadaan fisik maupun program populis dengan dalih pengembangan infrastruktur pelayanan kesehatan dan pemberantasan penyakit. Alokasi anggaran secara riil di lapangan lebih banyak terserap untuk pemberantasan problem kesehatan bukan diperuntukkan bagi upaya tindakan proakti!
f yang berbasis pencegahan. Padahal, berdasarkan perhitungan ekonomi, biaya yang digunakan untuk memberantas penyakit dan kasus kesehatan jauh lebih tinggi daripada upaya pencegahan maupun rehabilitasi. Minimnya informasi dan sosialisasi adalah salah satu penyebab masyarakat kurang merespons setiap kampanye program kesehatan pemerintah. Masyarakat justru lebih banyak menerima sumber informasi dari media massa daripada melalui institusi kesehatan pemerintah. Kendala inilah yang menjadi tantangan besar dari pemerintah sebab di era kebebasan informasi dan modernisasi teknologi sekarang ini terhadap kemampuan pemilihan dan penggunaan teknologi informasi akan menentukan efektivitas pesan kesehatan yang disesuaikan dengan aspek spesivisitas-kelokalan, karakteristik, dan tingkat pemahaman masyarakat.
( )
No comments:
Post a Comment