Cari Berita berita lama

Republika - Anak Juga Manusia

Senin, 21 Januari 2008.

Anak Juga Manusia












Anak-anakmu bukanlah anak-anakmu. Mereka adalah anak-anak kehidupan yang rindu akan dirinya sendiri (Khalil Gibran, 1833-1931)
Jarum jam terasa bergerak agak lamban di pesantren itu. Setidaknya buat Abdul Ghafur. Seperti narapidana di balik terali besi,''Waktu terasa lebih panjang,'' kata mahasiswa Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta itu. ''Tiga tahun terasa lama. Lama sekali,'' lanjutnya, kering.
Ghafur tengah bernostalgia tentang Urug Nangoh. Di pesantren yang terletak di Kecamatan Bayongbong, Kabupaten Garut, itulah, ia menghabiskan bangku SMP-nya -- dengan beban di dada. Maklum, jauh-jauh hari Ghafur sudah ogah sekolah di asrama (boarding school). Tapi apa daya. Orangtua Ghafur, Antarodin (80 tahun), berkeras memaksanya hidup mandiri di asrama, mengacu tradisi keluarganya. Beruntung Ghafur berhasil menggondol ijazah, meski ia merasa tersiksa, dan sempat menorehkan 'arang' di dahinya. ''Saya sempat kabur tiga kali.''
Yang terjadi pada Alan pun setali tiga uang. Enggan masuk boarding school, Alan harus tunduk pada keinginan sang ayah yang memaksa dia menimba ilmu di pondok pesantren Al-Irsyad, Salatiga, Jawa Tengah. Rasa tertekan menjadi makanan Alan sehari-hari selama tiga tahun. Beruntung ia lulus. Namun, Alan urung melanjutkan bangku SMA di ponpes yang sama. Ia melanjutkan ke MAN 2 Yogyakarta -- tidak lagi sekolah boarding.
Kisah Ghafur dan Alan berbanding terbalik dengan cerita Fathma Gardilla. Dara usia 13 tahun ini mengaku cukup betah sekolah di boarding school Assifiiah, Sukabumi, yang nota bene berjarak puluhan kilometer dari rumahnya di Condet, Jaktim. Ada alasan kuat bagi Ira --panggilan Humaira--soal statusnya kini. ''Pada mulanya pilihan bersekolah di boarding memang bukan paksaan orang tua,'' kata dia. ''Tapi ini juga keinginan saya, jadi kita sudah buat kesepakatan sebelumnya.'' Inilah alasan mengapa Ira tampak enjoy, jika bukan kebal, terhadap jadwal pesantren yang mengharuskannya bangun pukul 03.30 WIB dan belajar hingga 21.00 WIB.
Jangan paksa anak!
Paksaaan adalah pukulan yang telak buat jiwa si upik atau si buyung. Dalam kondisi terpaksa, menurut pengamat pendidikan Prof Dr Arief Rahman, anak dijamin tak bakal mampu mengembangkan inovasi.''Ia jadi tidak bisa kreatif,'' tambahnya.
Itu belum seberapa. Kondisi kian buruk jika si anak kemudian didera masalah psikologis yang berat. Bukan tidak mungkin si anak akan tercerabut. Tekanan berlebihan kepada si anak--seperti juga kebebasan berlebihan--bagaikan palang kayu yang menghambat anak mengembangkan jati diri. Tanpa jati diri anak tidak akan punya harga diri. Hasilnya? ''Anak tak bisa berprestasi,'' kata Arief.
Fuad Nashori berkomentar tak kalah garangnya. Bila anak-anak merasa terpaksa, menurut dekan Fakultas Psikologi dan Ilmu Budaya UII ini,''Maka mereka akan merasa dibuang oleh orangtuanya.'' Ini adalah lampu merah bagi seluruh orang tua. Fuad mengingatkan, anak-anak seperti ini rentan terjerumus untuk memiliki konsep diri negatif. Mereka memandang diri mereka secara negatif, sebagai seseorang yang tidak berharga, tak dikehendaki oleh orangtua.
Ajak diskusi
Bagi psikolog Elly Risman, mem-boarding school-kan anak adalah sebuah perjalan yang panjang. Perlu waktu satu tahun buat Elly untuk mempersiapkan anaknya sekolah di boarding, contoh kecilnya adalah siap beradaptasi dengan rak-rak baju yang lebih kecil atau ranjang yang kurang empuk.
Meski pada akhirnya si bungsu tak kerasan dan kembali ke rumah, toh, Elly sudah melakukan apa yang wajib dilakoni seorang ibu. Malahan,''Saya sudah memperkenalkan soal boarding school jauh-jauh hari. Saya tanamkan betapa pentingnya menimba ilmu agama di ponpes, hingga akhirnya ia mantap melakukannya atas kemauan sendiri,'' terangnya. Sang anak malah diberi keleluasaan untuk memilih sekolah sendiri. Elly sempat melakukan survei dari Banten hingga Jawa Tengah.
Senada dengan Elly, Arief Rahman menyatakan anak perlu diajak ngobrol sebelum keputusan mem-boardin school-kan mereka diketuk. Ada proses sosialisasi hingga mencapai tahap penyadaran. ''Obrolan pun jangan berat-berat seperti kalau sudah besar harus jadi manusia sukses,'' kata Arief. ''Cukup yang ringan-ringan saja, seperti setelah di jenjang ini mau melanjutkan sekolah kemana.''
Menurut Fuad, anak-anak sebaiknya sudah harus mengenal secara baik kehidupan asrama anak-anak sebelum memutuskan memilih boarding school. Orangtua, kata dia, perlu mengajak anaknya untuk menyaksikan sendiri. ''Jika mungkin merasakan 1 hingga 2 hari hidup di dalam sekolah berasrama,'' katanya. Kalau tidak mau? ''Ya batalkan saja.''
Kira-kira kapan anak siap untuk diasramakan? Menurut Arief Rahman, umur bukanlah faktor utama, tetapi lebih pada kesiapan anak. ''Selepas SMP agaknya lebih berpeluang,'' kata dia,''Meski itu masih tergantung pada pembinaan orangtua di rumah,'' lanjutnya. Yang jelas Arief tak menganjurkan anak usia kelas 1 dan 2 SD sudah diasramakan. ind/nri/rig/ren/vie/imy
Supaya tak Keliru Memilih Sekolah si Upik
Unsur spiritualitas
Saat membidik sekolah boarding, para orang tua sebaiknya memperhatikan kultur di sekolahnya. Salah satunya,''Bagaimana unsur spiritualitas diterapkan di sana,'' ujar Arief Rahman. Contoh sederhananya adalah apakah ada kebiasaan baik yang dikembangkan di situ. Sekolah yang baik, paling tidak, memiliki visi atau moto yang baik seperti 'belajar tiada henti adalah tanggung jawab dari Tuhan'.
Pembimbing anak
Perlu dicermati, apakah pimpinan asrama telah melakukan pengaturan yang baik dalam pembimbingan. Apakah setiap ustadz memberi pendampingan terhadap minimal 10 hingga 15 siswa. Asrama yang baik adalah yang teratur serta dipegang oleh ibu atau bapak asrama yang merupakan pendidik ulung. Yang menganggap anak asrama seperti anaknya sendiri. Yang dekat dengan anak-anak dan bisa membimbing anak.
Pola Asuh
Pola asuh yang terbaik adalah yang tidak terlalu keras, namun juga tidak terlalu membebaskan. Terutama untuk anak usia 15 hingga 19 tahun. ''Mereka haus pendidikan semacam itu,'' kata Arief. ''Senang diatur selama tidak dengan marah-marah.''
Prestasi alumni
Perhatikan prestasi yang ditunjukkan oleh siswa dan alumni sekolah tersebut. Apakah alumni mereka orang yang baik-baik. Ini memberi ukuran soal kualitas pembinaan di sekolah ketika si alumni belajar di situ.
Bahasa sehari-hari
''Cari tahu, apakah di asrama itu diharuskan berbahasa Inggris atau Arab,'' kata Fuad Nashori, dekan Fakultas Psikologi dan Ilmu Budaya UII. Mengingat pentingnya dua bahasa itu, orangtua sebaiknya mencari boarding school yang menerapkan kedua bahasa tadi dalam percakapan sehari-hari.
Pembauran
Sekolah berasrama yang satu jenis, kata Arief Rahman, harus memiliki program di mana anak laki-laki mengenal anak perempuan. Anak tidak boleh dalam waktu tiga tahun cuma mengenal satu jenis kelamin saja. Harus ada co-education. Misalnya di setiap akhir pekan ada kegiatan yang dapat mengenalkan anak laki-laki dengan anak perempuan. Pergaulan itu bentuknya bisa saja lewat diskusi ilmiah. Proses pengenalan itu harus ada. ind/nri
Boarding School dan Sekolah Kehidupan
Dunia anak-anak adalah keunikan tersendiri, dalam kadar tertentu amat sensitif. Pantaskah mereka dipisahkan jarak berpuluh kilometer dari orang tua mereka. Berikut wawancara Republika dengan psikolog H Fuad Nashori, yang sehari-hari bekerja sebagai Dekan Fakultas Psikologi dan Ilmu Sosial Budaya UII dan Ketua Umum Asosiasi Psikologi Islami, soal boarding school.
Apa positif-negatif tinggal di asrama bagi anak-anak?
Berkembangnya kemandirian. Anak dituntut menyelesaikan berbagai keperluan pribadinya, di samping tugas-tugas sekolah, dengan mengandalkan pada kemampuan diri sendiri. Anak juga diajar mengembangkan semangat bekerjasama dan sekaligus berkompetisi. Mereka belajar di sekolah yang sama, tinggal di asrama yang sama, dan pasti harus banyak bekerjasama. Kehidupan siswa asrama juga bernuansa persaingan dalam hal kepintaran. Itu akan memacu semangat berkompetisi. Negatifnya adalah bila anak hadir di asrama dalam keadaan terpaksa. Bila anak tidak siap untuk tinggal di asrama dan orangtua memaksanya, mereka boleh jadi gagal melakukan penyesuaian diri dengan lingkungan sekitar.
Apa dampak psikologis jauh dari orangtua dalam masa pertumbuhan?
Kadang anak merasa sangat tegang ketika berpikir bahwa mereka harus menghadapi masalah sendirian tanpa orangtua. Bila ini yang terjadi, jawabannya adalah tidak lama lagi remaja akan merasa kebersamaan dalam asrama.
Bagaimana seharusnya orangtua tetap menjalankan peran sebagai ayah ibu dalam kondisi jauh dari anak?
Tugas orangtua adalah memastikan bahwa anak-anak mereka memperoleh layanan pengembangan kognitif, emosi, sodial dan spritual yang baik dari asrama. Caranya adalah menjalin komunikasi dengan pimpinan asrama maupun dengan pembimbing yang langsung menangani anak-anak. Orangtua juga perlu secara periodik menjenguk anak. Orangtua harus memastikan anaknya selalu sehat dengan tetap memantaunya secara rutin. Sangat dianjurkan orangtua untuk mengantar kembali dan menjemput pulang anak. nri
( )

No comments:

Post a Comment