Sabtu, 21 Juni 2003.
Persembahan Wangi Letkol BiolaMESKI Idris Sardi pernah menggelar ''Konser Pamit'' pada 1994, ia tak benar-benar pamit. Sang ''biola maut'' hanya beristirahat sejenak, dan bukan berarti ia menggantung biolanya. Sejak awal 1996, Idris melatih personel Satuan Musik Militer jajaran TNI Angkatan Darat, yang meliputi 10 komando daerah militer. Total jenderal, ia melatih 700 personel TNI Angkatan Darat.
Lalu, Idris juga didaulat memimpin Orkestra TNI Angkatan Darat. Ia dianugerahi pangkat tituler letnan kolonel. Setahun kemudian, sejumlah personel pasukan elite Kopassus menjadi murid Idris. Memasuki 1998, ia mengajar ilmu dasar musik dan vokal untuk para santri di Pondok Pesantren Tangerang, Banten, pimpinan KH Ubaydillah Khalid. Bersama para santri, Idris membuat rekaman salawat Nabi.
Sejak beberapa pekan lalu, pria yang pada 7 Juni lalu genap berusia 65 tahun itu kembali sibuk. Ia menyiapkan konser berjudul ''Persembahan Idris Sardi 2003'', yang digelar Rabu pekan ini, di Puri Agung Hotel Sahid Jaya, Jakarta. Itu merupakan pertunjukan yang sekaligus menandai setengah abad kiprahnya sebagai musikus profesional.
Untuk mengisi pertunjukan berdurasi dua jam itu, Idris menyeleksi banyak penyanyi guna mendapatkan jumlah delapan. Para pendukung acara, terutama 38 musikus dan penyanyi, dikarantina. Mereka berlatih di Studio Swanics, di kawasan Tebet, Jakarta Selatan, yang diresmikan Idris Sardi, Sabtu dua pekan lalu. Idris juga berkongsi dengan Boi G. Sakti, yang bersama koleganya di Gumarang Sakti Dance Company bakal mengisi olah gerak.
Ada lebih dari 100 orang yang ikut menyiapkan acara itu. Tak terkecuali Santi dan Lukman Sardi, anak Idris dari pernikahan pertamanya dengan Ita Zerlyta. Santi membantu menyalinkan partitur. Lukman sibuk menyiapkan kado ulang tahun buat ayahnya. Putra tertua Idris ini jarang terlihat memainkan biola. Namun, khusus untuk ''Persembahan'', Lukman giat berlatih.
Ada enam babak yang dipersembahkan Idris. ''Semuanya bernuansa Indonesia,'' kata Idris kepada Rury Feriana dari GATRA. Seluruh fragmen itu dibuat dengan tujuan memanjakan mata, telinga, dan juga penciuman. ''Di venue akan ditabur berbagai wangi-wangian,'' kata Joan Henuhili-Raturandang, konsultan public relations yang membantu ''Persembahan''.
Tentang repertoar yang akan dibawakannya, Idris melukiskan: ''Pokoknya, begitu keluar pada menit-menit pertama, saya mau bilang, saya bersyukur pada Tuhan. Selanjutnya, saya bercerita tentang kita,'' kata pemusik yang menyatakan dirinya kini bukan lagi barang dagangan yang layak jual. ''Makanya, ini langkah awal saya. Bila sukses, kembali modal, saya akan bikin lagi.''
Konser itu menghabiskan dana lebih dari Rp 1 milyar --hanya sebagian yang dibiayai Bank Mandiri dan Hotel Sahid Jaya. Mungkin karena itu, tiketnya mahal. Untuk tiket kelas Mawar dijual seharga Rp 1 juta, Anggrek Rp 750.000, dan Melati Rp 500.000. Tapi, untuk menyaksikan seorang maestro, itu sebuah harga yang pantas. Apalagi, Idris bukan sembarang virtuos biola.
Ia mulai memainkan biolanya di depan publik ketika berusia 10 tahun. Tapi, prestasinya tak sependek celana yang dikenakannya. Di umur itu, ia diangkat sebagai anak didik Nikolai Varfolomijeff, musikus pelarian Rusia yang mendirikan Akademi Musik Indonesia di Yogyakarta. Bayangkan, seorang mahasiswa berusia 10 tahun. Bayangkan pula komunikasi yang terjalin di antara keduanya. ''Yah, bahasa Indonesia-nya patah-patah,'' Idris mengenang.
Untungnya, ada satu bahasa yang dimengerti keduanya: bahasa musik. Idris mengenalnya sejak usia enam tahun lewat Mas Sardi, ayahnya, yang juga pemain biola. Mas Sardi kerap menjadi ilustrator musik untuk film --di sini pula ia bertemu Hadidjah, ibu Idris, pemeran dalam sejumlah film yang musiknya dibuat Mas.
Selain Mas Sardi dan Varfolomijeff, Idris berburu ilmu ke banyak guru. Mulai Willem Backet, Lukman Sumabrata, Hendrick Tordasi, Frank Szabo, untuk menyebut beberapa. Idris mempelajari musik keroncong dan irama Melayu dari Achmad, Isbandi, A. Halik, dan Said Effendi.
Dari semua gurunya itu, Idris berkenalan dengan disiplin. ''Dulu, belajar biola harus berpakaian rapi, pakai sepatu segala,'' katanya. Nilai seperti itu juga yang ia terapkan ke anak didiknya sekarang, yang jumlahnya bisa dihitung dengan jari. Untuk urusan murid ini, Idris memang sangat ketat. Ia menganut pakem hidup untuk musik, bukan musik untuk hidup.
Selain disiplin, Idris terkenal pula dengan terobosan-terobosannya. Tahu kalau musik klasik sulit menerobos dinding pendengaran orang Indonesia, ia berimprovisasi. Format musik tetap klasik, tapi repertoarnya lokal. ''Mengapa kita tak bisa menikmati gado-gado selayaknya orang luar menyantap salad?'' kata Idris memberi analogi.
Maka, Es Lilin, Jali-jali, Piso Surit --untuk menyebut beberapa-- diaransemen ulang ke dalam format klasik, baik berupa simfoni maupun orkestra. Risikonya, Idris dituding mengotori musik klasik. Belakangan, ia bisa tersenyum lebar. Sebab, kini banyak kelompok musik luar negeri yang membawa ide yang sama ke sini.
Carry Nadeak
[Musik, GATRA, Nomor 31 Beredar Senin 16 Juni 2003]
No comments:
Post a Comment