Minggu, 13 Pebruari 2005.
Menanam Bensin di Kebun SingkongMENTERI Riset dan Teknologi Kusmayanto Kadiman ternyata bisa juga jadi sopir. Mantan Rektor Institut Teknologi Bandung itu tanpa canggung duduk di belakang setir Land Rover Discovery. Penumpangnya, Direktur Jenderal Industri Kimia dan Direktur Jenderal Migas. Mobil kelas atas ini meluncur dari Gedung BPPT di Jalan M.H. Thamrin menuju Monumen Nasional, lalu ke Jalan Jenderal Sudirman dan memutar lagi di Jembatan Semanggi, balik lagi ke BPPT.
Tak lama Kusmayanto jadi sopir. Kamis terakhir di bulan Januari itu ia hanya memamerkan kinerja mobil berbahan bakar singkong. Tapi demo Kusmayanto belum berakhir. "Saya akan promosikan ke Istana Negara," katanya. Namun sebelum beranjak ke Istana, rupanya gayung sudah disambut oleh Gubernur Sutiyoso. Ia akan menjajaki penggunaan "bensin-singkong" itu untuk taksi di Jakarta.
Bensin-singkong? Tepatnya bensin dioplos alkohol yang dibuat dari ubi kayu. Di dunia dikenal dengan sebutan gasohol atau gasolin-alkohol. Penelitian gasohol giat dilakukan untuk mengurangi ketergantungan pada bensin yang diyakini bakal habis ditambang. Salah satu alternatifnya mencampurkan etanol ke dalam bensin. Etanol mengandung 35% oksigen, sehingga meningkatkan efisiensi pembakaran. Juga menaikan angka oktan, seperti zat aditif (methyl tertiary buthyl ether --MTBE) dan tetra ethyl lead (TEL)] yang umum dipakai. Berbeda dengan TEL, Etanol bisa terurai sehingga mengurangi emisi gas buang berbahaya.
Tak mengherankan, pemakaian etanol di dunia makin dan makin besar. Produksi etanol dunia untuk bahan bakar diduga bakal meningkat dari 19 milyar liter (2001) menjadi 31 milyar liter (estimasi 2006). Beberapa negara di Brasil, Amerika Serikat, Kanada, Uni Eropa, dan Australia sudah menggunakan campuran 63% ethanol dan 37% bensin. Sedangkan yang mengisi tangki Land Rover Pak Menteri itu adalah gasohol Be-10, artinya porsi bioetanol 10% dan bensin 90%. "Dengan porsi 10%, kerja mesinnya bisa optimal," kata Agus Eko Tjahjono, kepala Balai Besar Teknologi Pati, Lampung.
Di Indonesia sendiri gasohol bukan barang baru. Di Lampung, gasohol sudah bertahun-tahun mengisi tangki mobil dan motor para pegawai Balai Besar. Tapi tak pernah dilirik pejabat di Jakarta. Teknologi ini mulai diteliti Balai Besar sejak 1983 dengan bantuan teknis dari lembaga penelitian Jepang, JICA. Mereka terus mengembangkan teknologi itu dengan tekad mengubah sumber pati tak berharga itu --di Lampung, tiap kilogram, harganya tak lebih dari harga sepotong ubi goreng di Jakarta-- menjadi bahan bakar bernilai tinggi. Hasilnya? "Sekarang, gasohol ubi kayu kami termurah di dunia," kata Agus Eko Tjahjono.
Sumber bioetanol memang tak cuma singkong, bisa juga tebu, ubi jalar, sagu, jagung, gandum, bahkan limbah pertanian seperti jerami. Di Amerika, yang banyak dipakai sebagai sumber pati adalah jagung. Tapi Agus yakin, bahan bakar alternatif dari singkongnya mampu bersaing di pasar.
"Teknologi kami makin efisien. Ongkos produksi lebih murah dari minyak tanpa subsidi," katanya. Untuk skala kecil, kapasitas 60.000 liter per hari biaya produksinya Rp 2.400, lebih rendah dibandingkan dengan bensin yang berkisar Rp 2.600. Menurut Agus, gasohol juga bisa menyejahterakan petani. Ia memberi contoh, tahun 2004, konsumsi bensin 15 juta kiloliter. Jika 20%-nya diganti gasohol BE-10, berarti menghemat 3 juta kiloliter bensin. Setiap liter alkohol, dihasilkan dari 6,5 kilogram singkong. Artinya, butuh 2 juta ton singkong dari lahan seluas 100.000 hektare.
Tunggu dulu, bagaimana kinerja gasohol? Bagus Anang Nugroho dari Balai Termodinamika di Serpong, yang telah mengujinya, bertutur. Ia melakukan perbandingan antara gasohol, premium, dan pertamax pada mesin Toyota Kijang kecepatan 80 km/jam. Kesimpulannya?" Unjuk kerja (power dan torsi) gasohol setara dengan pertamax bahkan lebih baik dari premium," katanya.
Masalahnya, apakah para pelahap bensin di jalanan mau pakai? Bila Pertamina berani memasukkannya ke pom bensin, pelanggan bisa memilih dengan gampang. Kalau tidak, Pak Menteri Ristek tampaknya harus bekerja lebih keras lagi menjajakan bensin-singkong dari Lampung itu.
Heni Kurniasih
[Ilmu & Teknologi, Gatra Nomor 13 Beredar Senin, 7 Februari 2005]
No comments:
Post a Comment