Jumat, 11 Oktober 2002.
Olahraga, Bisnis, dan Wakil RakyatJakarta, 11 Oktober 2002 18:06ORGANISASI olahraga modern mengalami perkembangan pesat sejak era industrialisasi. Pakar sosiologi olahraga Allen Guttman menggambarkan bahwa organisasi olahraga modern saat ini, berdasarkan pengamatannya terhadap perkembangan olahraga sejak zaman Romawi, memiliki tujuh karakteristik yang dominan.
Pertama, olahraga tidak lagi dikaitkan dengan hal-hal yang bersifat religius atau keagamaan.
Kedua, olahraga bisa merupakan perwujudan pemerataan sosial di masyarakat. Sebab, tidak ada lagi batasan-batasan yang bisa menghambat partisipasi anggota masyarakat.
Di era modern ini, spesialisasi merupakan satu kunci keberhasilan. Jadi, kalau ingin berkarier di olahraga, seorang atlet harus memilih satu cabang yang menjadi fokus pilihannya. Bagi Guttman, itu merupakan karakteristik yang ketiga.
Karakteristik keempat adalah terjadinya rasionalisasi. Dengan makin kompleksnya dunia olahraga, dibutuhkan seperangkat aturan agar organisasi olahraga dan pertandingan berjalan baik.
Karakteristik kelima berkaitan dengan birokratisasi. Organisasi olahraga tidak lagi berdiri sendiri, melainkan berkaitan satu sama lain, dari tingkat perkumpulan sampai tingkat dunia.
Dengan makin majunya teknologi informasi, setiap cabang olahraga modern mencoba melakukan kuantifikasi terhadap jalannya pertandingan. Itu merupakan karakteristik keenam, dan menjadi daya tarik unik olahraga yang membedakannya dari peristiwa kesenian atau budaya lainnya.
Karakteristik ketujuh menyangkut pemecahan rekor. Menjadi lebih cepat, lebih kuat, lebih tinggi, dan lebih baik sangat didambakan seorang atlet.
Penelitian Guttman itu memberikan gambaran bahwa olahraga memang bukan semata aktivitas fisik. Olahraga memberikan arti lebih besar bagi individu dan masyarakat. Menariknya lagi, olahraga tidak akan pernah lepas dari perkembangan politik, ekonomi, dan sosial. Setelah era industri dan memasuki era informasi, kala peran media menjadi sangat besar, keterkaitan olahraga dengan dunia bisnis makin tidak terlepaskan. Olahraga dijadikan bagian taktik perusahaan meraup pangsa pasar dunia. Hal itu juga membawa atlet memandang olahraga sebagai ajang yang bisa memberikan kesejahteraan hidup lebih baik.
Perubahan cara pandang itu ditanggapi positif oleh Pemerintah Korea Selatan. Di saat mengalami krisis ekonomi 1998, pembangunan infrastruktur olahraga bukan saja dilanjutkan, melainkan dimanfaatkan untuk meningkatkan citra bangsa dan pembangunan ekonomi. Korea Selatan pun berani menjadi tuan rumah Piala Dunia Sepak Bola dan Pesta Olahraga Asian Games di tahun yang sama, 2002. Yang jauh lebih menarik adalah keterlibatan korporat seperti Samsung dan Hyundai yang memanfaatkan olahraga sebagai sarana strategis untuk meningkatkan citra perusahaan. Bahkan, pemerintah memberikan insentif yang dikaitkan dengan pajak kepada perusahaan Korea yang aktif berpartisipasi di olahraga.
Sayang, cara pandang seperti itu tidak dimiliki para elite politik serta elite ekonomi di Indonesia. Perubahan peta politik di Indonesia berdampak besar terhadap dunia olahraga. Kalau di era Orde Baru banyak pejabat pemerintah dan militer jadi orang nomor satu di cabang olahraga, sejak era reformasi jabatan tersebut ditinggalkan. Bahkan, Kapolri Jenderal Da'i Bachtiar secara tegas memerintahkan anak buahnya segera menanggalkan seluruh jabatan di olahraga agar lebih berkonsentrasi pada tugas-tugas utamanya. Da'i sendiri kemudian mundur dari jabatan Ketua Umum Lemkari. Itu diikuti Hatta Radjasa, Menteri Negara Riset dan Teknologi, yang mundur sebagai Ketua Umum Gabsi, ketika kepengurusannya baru seumur jagung.
Di tingkat pemerintahan, jabatan Menteri Negara Pemuda dan Olahraga dihapus Presiden Abdurrahman Wahid. Olahraga dianggap milik masyarakat, karena itu pengelolaannya dikembalikan kepada masyarakat. Instansi pemerintah yang menangani olahraga berada pada tingkat direktur jenderal, di bawah Menteri Pendidikan.
Menurunnya dukungan pemerintah itu membawa keguncangan besar di masyarakat olahraga. Institusi olahraga di Indonesia ternyata belum siap membangun dirinya sendiri. Bahkan, mencari pemimpin yang paham peran olahraga seutuhnya pun makin sulit. Apalagi memperoleh akses untuk dana pembinaan agar mampu menggerakkan olahraga dari tingkat komunitas, perkumpulan, sampai pemusatan latihan nasional. Dalam kondisi ini memang kalangan pengusaha makin banyak menempati jabatan puncak di olahraga. Sayang, minimnya pemahaman mereka terhadap karakteristik internal organisasi olahraga telah mengakibatkan roda organisasi berjalan lambat. Bahkan, perselisihan internal makin sering meletup.
Saat catatan ini dibuat, para duta bangsa Indonesia sedang berlaga di Asian Games XIV Busan, Korea Selatan. Menyadari pentingnya masa depan atlet, KONI Pusat menjanjikan bonus Rp 250 juta bagi setiap pemenang medali emas. Untuk mendapatkan bonus itu, para atlet harus memberikan pengorbanan, baik di saat latihan maupun bertanding. Kondisinya sangat bertolak belakang dengan wakil rakyat, yang bisa memperoleh bonus hanya melalui lobi dari hotel ke hotel. Itulah potret bangsa Indonesia saat ini!
[Fritz E. Simandjuntak, Sosiolog]
[Kolom, GATRA, Nomor 47 Beredar Senin 7 Oktober 2002]
No comments:
Post a Comment