Cari Berita berita lama

KoranTempo - Resistensi Privatisasi PT Indosat

Jumat, 3 Januari 2003.
Resistensi Privatisasi PT IndosatAndi Irawan Kandidat Doktor Ekonomi-pertanian IPB

Privatisasi pemerintah terhadap PT Indosat tampaknya mulai mendapat penolakan (resistensi) yang kuat dari publik. Spektrum penolakan itu amat luas: dari sejumlah pengamat ekonomi, unjuk rasa masyarakat, termasuk mogok kerja para karyawan Indosat, kritik keras gaya individual Amien Rais maupun yang kolektif seperti pengaduan Menteri Negara BUMN oleh Fraksi Reformasi ke polisi, sampai rencana sejumlah anggota DPR mengajukan interpelasi terhadap pemerintah.

Mengapa penolakan itu terjadi? Ada dua sumber penyebabnya: berkaitan dengan distorsi misi dari program privatisasi dan aspek dukungan, serta akseptabilitas dari sebuah kebijakan publik yang tidak tuntas.

Distorsi misi

Kehadiran program privatisasi terhadap perusahaan-perusahaan negara (BUMN) bisa dibenarkan jika mampu mengeksiskan dua misi (Joseph E. Stiglitz, 2002). Pertama, menciptakan perusahaan-perusahaan yang lebih efisien. Kedua, memberikan harga yang murah kepada konsumen.

Misi untuk meningkatkan efisiensi dari BUMN-BUMN tersebut karena ditengarai pemerintah sering melakukan intervensi dan kontrol secara berlebihan terhadap BUMN. Jika ditinjau dari pendekatan manajemen, hal tersebut dapat menimbulkan tiga dampak negatif. Pertama, asimetri informasi antara pemerintah dan manajemen BUMN yang dapat mendorong timbulnya moral hazard, sikap mental oportunistik yang mengutamakan kepentingan pribadi di atas kepentingan organisasi.

Kedua, kerancuan manajerial yang memberikan peluang kepada BUMN untuk menutup kegagalan manajemennya dengan mengkambinghitamkan kontrol dan intervensi pemerintah. Ketiga, tingkat ketergantungan BUMN, baik dalam bentuk subsidi maupun fasilitas lainnya, kepada pemerintah.

Akibatnya, BUMN bukannya memberi keuntungan terhadap negara, tapi memberi beban yang berdampak semakin memperbesar defisit anggaran. Dengan demikian, pertanyaan yang layak diajukan kepada pemerintah dalam konteks privatisasi PT Indosat adalah apakah memang PT Indosat itu tidak mampu berkontribusi secara memadai dalam memenuhi pundi-pundi dana keuangan negara dalam wujud pajak dan memberikan dividen terhadap pemerintah sebagai pemegang sahamnya yang terbesar. Atau apakah dalam operasinya harus di-back-up oleh subsidi pemerintah yang merepotkan keuangan negara?

Seperti diketahui, Indosat adalah perusahaan yang sehat. Ia merupakan perusahaan pembayar pajak terbesar dan pembayar dividen yang sangat besar secara rutin tiap tahun. Tahun 1999 Indosat membayar pajak Rp 80 miliar dan membayar dividen Rp 120 miliar. Tahun 2000 ia membayar pajak Rp 480 miliar dan membayar dividen Rp 610 miliar dan tahun 2001 membayar pajak Rp 700 miliar dan membayar dividen Rp 705 miliar. Total pembayaran pajak dan dividen dari 1999-2001 2,695 triliun, suatu jumlah yang cukup signifikan.

Kalau kontribusinya terhadap keuangan negara cukup signifikan, lalu mengapa harus tergesa-gesa dijual sekarang. Bukankah kondisi perekonomian dengan pertumbuhan ekonomi rendah dan psikologi investasi yang suram menyebabkan nilai jualnya menjadi rendah?

Kalau kita mau belajar dengan program privatisasi di negara-negara Eropa Barat, misalnya, privatisasi hampir selalu dilakukan di tengah-tengah situasi perekonomian yang sedang tinggi pertumbuhannya. Logikanya sederhana karena hanya dalam kondisi perekonomian seperti itulah penjualan BUMN dapat dilakukan dengan harga menguntungkan.

Misi kedua privatisasi adalah untuk memberikan harga produk yang lebih murah kepada publik dengan jalan menciptakan terjadinya persaingan sehat. Artinya, privatisasi tidak memperkenankan beralihnya monopoli yang semula dilakukan oleh negara menjadi monopoli swasta. Kemenangan Singapore Technologies Telemedia (STT) atas divestasi 41,94 persen saham pemerintah di Indosat membuat Temasek, perusahaan induk STT, menguasai 70 sampai 80 persen pangsa telepon seluler di Indonesia.

Hal itu terjadi karena Indosat merupakan pemilik perusahaan ponsel IM3 dan Satelindo yang menguasai 20-30 persen. Sementara itu, 50 persen pangsa pasar lainnya diperoleh dari Telkomsel milik PT Telekomunikasi Indonesia Tbk. (Telkom) yang 35 persen sahamnya juga dimiliki oleh Temasek lewat anak perusahaannya, Singapore Telecom (SingTel). Penguasaan dominan Temasek beberapa tahun mendatang akan mendorong terjadinya persaingan tidak sehat yang bertentangan dengan misi dilakukannya privatisasi.

Dukungan dan akseptabilitas

Sebagai satu kebijakan publik, mau tidak mau, program privatisasi harus memperhatikan aspek dukungan politik dan akseptabilitas publik. Dalam konteks ini ada beberapa hal yang diabaikan pemerintah. Pertama, menyeimbangkan kepentingan politik privatisasi berupa dukungan politik dengan kepentingan ekonomi privatisasi (menutup defisit anggaran). Pemerintah selayaknya dapat belajar dari negara-negara yang berhasil mengsinkronkan kepentingan politik dan kepentingan ekonomi dalam program privatisasi.

Ambil contoh program privatisasi Malaysia. Pemerintah Malaysia mampu menyesuaikan kepentingan ekonomi privatisasi dalam wujud mengurangi defisit anggaran dengan kepentingan politik nasional (eksis kewirausahaan di kalangan bumi putra). Yang dilakukan pemerintah Malaysia adalah memprioritaskan penjualan saham perusahaan yang diprivatisasi kepada kalangan bumi putra. Melalui cara penjualan saham seperti ini tidak saja menyebarkan pemilikannya kepada bangsa sendiri, tapi juga akan merangsang tumbuhnya jiwa kewirausahaan di kalangan bumiputra. Ini sekaligus menunjukkan bahwa program privatisasi tidak mengabaikan nilai-nilai nasionalisme sehingga mendapat dukungan publik yang memadai.

Kedua, memperhatikan kepentingan strategis negara. Sektor telekomunikasi adalah sektor yang vital. Australia, misalnya, tidak mau melakukan privatisasi total terhadap sektor ini. Pemerintah Australia masih tetap memegang saham mayoritas, bahkan pemilikan saham di luar pemerintah dilakukan retriksi, yakni kepemilikan asing dibatasi hanya 35 persen serta kepemilikan individu dibatasi 5 persen.

Nilai strategis BUMN telekomunikasi ini tampaknya juga diabaikan oleh pemerintah. Karena dengan penguasaan pangsa telepon seluler 80 persen di Indonesia dikhawatirkan Temasek akan menguasai jaringan komunikasi intelijen bisnis dan intelijen strategis (keamanan-militer) di Indonesia. Hal itu bisa dilakukan, karena dengan kemampuannya kini, Temasek bisa menguasai satelit Palapa, jaringan digital, dan stasiun TV. Kekuatannya semakin bertambah karena kerja sama operasional (KSO) Telkom di Kawasan Timur Indonesia juga dikuasai olehnya.

Ketiga, memperhatikan aspek transparansi dan fairness dalam program privatisasi. Penolakan dapat lahir dari ketiadaan transparansi. Dari sisi transparansi, misalnya, pelaksanaan divestasi Indosat disinyalir tidak transparan mengingat pemenang divestasi, yang semula diumumkan adalah STT, ternyata kemudian yang membeli adalah Indonesian Communication Ltd. (ICL), yang menurut sejumlah anggota DPR cara divestasi BUMN strategis dengan jalan seperti itu tak bisa diperkenankan.

Fenomena distorsi misi privatisasi dan abainya pemerintah akan pentingnya dukungan dan akseptabilitas publik di atas semakin melegitimasi pendapat sejumlah pengamat ekonomi bahwa privatisasi yang kita lakukan tidak lebih atas tekanan pihak luar, khususnya Dana Moneter Internasional (IMF), atau sekadar untuk membantu menutup defisit anggaran.

No comments:

Post a Comment