Sabtu, 11 Mei 2002.
"Rakyat Tak Bisa Asal Mengklaim" Toton Suprapto Ketua Muda MA bidang Hukum Perdata Adat
Kisah sengketa tanah ulayat versus klaim penguasa hingga kini belum juga menemui titik temu. Selain kepastian hukum soal status tanah ulayat yang lemah, kerap kali para petani penggarap yang tidak memiliki alat produksi dan tidak punya posisi bargaining ini bisa bekerja dengan aman dan nyaman. Bagaimana sebenarnya penegakkan hukum soal ini? Berikut petikan wawancara Koran Tempo di kantornya, pekan lalu:
Bisa dijelaskan soal hak ulayat?
Hak ulayat dikenal dulu di mana kepala-kepala adat memegang peranan penting. Saat itu, kepala adat berwenang memberikan kepada warganya tanah-tanah untuk digarap. Jadi prinsipnya, dalam sistem hukum dulu itu, semua hak tanah yang ada dalam hukum adat itu adalah tanah ulayat.
Nah, semakin kuat pengusahaan orang yang diberi hak itu, semakin berkurang hak ulayat Kepala Suku atau kepala adat. Orang bilang sih itu mulur mungkeret, seperti karet. Semakin panjang kewenangan orang yang menguasai, semakin besar haknya dan makin berkurang hak ulayat ini. Begitu seterusnya. Hak ulayat itu dulu kan batasnya di gunung sana di pantai. Tapi dengan berlakunya UU Pokok Agraria sekarang ini hak ulayat itu jadi tanah negara.
Apakah ada batas tersendiri antara hak ulayat dengan tanah yang dikuasai negara?
Kalau diangkat ke lebih tinggi, hak ulayat sekarang berada pada negara ini. Karena itu, negara bisa memberikan hak pengusahaan hutan. Itu pun atas pemikiran dari hak ulayat negara ini juga. Lalu jika ternyata ada penggarap-penggarapnya yang memang diberikan kepada kepala adat yang dulu-dulu itu, maka itu harus dibebaskan dulu.
Jadi sekarang, jika perhutani menguasai tanah itu, tentu dengan izin. Atas dasar hak tanah negara. Sekarang ini dikatakan hak ulayat ini tanah negara. Dulu nggak ada istilah tanah negara.
Lalu sekarang jika masyarakat mengaku sebagai hak tanah ulayat, artinya seluruh rakyat yang punya. Artinya, negara yang punya lah. Kalau rakyat memilih itu dalam persil tertentu, rakyat tak bisa beramai-ramai mengklaim tanpa jelas ada batas dan haknya masing-masing. Apalagi kalau dia bilang tanah nenek moyang dia. Hak ulayat itulah dasarnya.
Jika sudah seperti ini, adanya kasus tanah seperti di Banten, apa yang akan dilakukan MA?
Sudah jadi perkara?
Ya dan tengah disidangkan di PN Pandeglang ?
Kalau sudah jadi perkara, ajukan saja gugatan ke pengadilan. Toh akhirnya nanti ke MA juga.
Ada usulan untuk membentuk suatu lembaga nasional. Apa pendapat anda?
Kami justru sedang memikirkan pembentukan lembaga nasional untuk mengkaji hak-hak. Itu bagus. MA dalam putusannya sebelum perkara ini diperiksa, punya kewajiban dari pengadilan untuk mendamaikan. Itu bagus dengan lembaga itu untuk mengkaji sehingga tidak perlu ke pengadilan.
Seringkali kan sosialiasasinya sulit?
Dulu kan kami ini punya jaksa masuk desa, hakim masuk desa. Itu kan bidang hukum apapun tidak hanya khusus untuk kepentingan rakyat. Tapi sekarang kan biaya tidak ada, ya nggak jalan lagi.
Artinya mandeg?
Betul.
Apa yang harus dilakukan?
Ya itu tadi. Lembaga pengkajian itu bagus untuk meneliti.
Apakah memang sudah terbentuk?
Saya nggak tahu. Tapi, kalau ada, itu bagus sehingga orang tak perlu ke pengadilan. Tapi kalau nggak bisa juga ya jalan satu-satunya ke pengadilan. Nanti di sana, pengadilan akan memutus sampai seberapa jauh hak-hak mereka itu. Mereka tentu nggak bisa mendahulukan hak ulayat. Yang bisa dituntut ke pengadilan itu kan hak perseorangan. Ada batasnya, ada asal-usulnya. Hak ulayat sudah sejak bumi berdiri yang menempati sejak dulu. Berkembang sekarang ini, hak ulayat itu menjadi tanah negara itu. Kalau tidak ada yang menguasai tertentu itu dinyatakan sebagai tanah negara.
Ada usulan digunakan asas yang harus diakui yakni prima faxi?
Apa itu prima faxi?
Prima faxi adalah hak atas tanah sudah ada sebelum suatu pemerintahan atau negara lahir....
Iya memang. Pemerintahan ini kan terbentuk dari kelompok-kelompok. Tanah itu sudah punya rakyat dalam wilayah tertentu itu. Jadi hak bawaan. Hak asasi untuk memiliki tanah. Itu yang dibilang sebagai prima faxi. Itu sebelum ada pemerintahan. Dengan adanya pemerintahan yang diakui oleh kelompok-kelompok tadi. Jadi kedaulatannya sudah diserahkan kepada pemerintahan ini. Itulah memegang kedaulatan. Begitu kan perkembanganya.
Saran MA untuk menengahi pandangan yang berbeda antara hak ulayat dengan Perum Perhutani?
MA kan memeriksa dan memutus perkara. Jadi, MA tidak sampai sejauh itu karena untuk mengadakan pengkajian dan sebagainya, itu adalah tugas pemerintah. MA hanya memutus perkara yang diajukan.
Tapi kan dengan adanya klaim ini apakah karena sosialisasinya?
Ya memang bisa juga sosialasinya tidak tuntas, biaya tidak ada, mungkin juga jangkauan sosialisasi. Meski dulu ada jaksa, ada pengadilan juga ada yang menyangkut kepentingan rakyat.
Sebenarnya di MA sendiri sudah berapa banyak perkara dengan model adat tak tertulis ini?
Tuntutan hak ulayat umumnya timbul di Irian, NTT. Di sana ada istilah Lingko. Hak dia sebagai Lingko diakui bahkan ada yang disertifikatkan. Hak penuh. Jadi umpamanya, tanah ulayat yang dikerjakan terus-menerus oleh seseorang itu kan menjadi hak garapan. Hak garapan kemudian dimintakan permohonan namanya kepada negara atas tanah negara. Permohonan perorangan kepada agraria ke BPN. Tapi, orang-orang itu mesti betul-betul menguasai. Jadi tidak hanya ngaku-ngaku. Kalau begitu ajukan ke agraria untuk mendapatkan tanah negara. Banyak rakyat yang menguasai tapi tidak ada suratnya. Maka ajukan. sukma n loppies
No comments:
Post a Comment