Rabu, 23 Januari 2002.
Prospek Pengadilan HAMKomisi Hak Asasi Manusia (HAM) Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) mengharapkan peradilan HAM ad hoc kasus pelanggaran HAM berat di Timor Timur 1999 diproses secara adil. Di samping itu, Komisi HAM PBB, menurut ketuanya, Leandro Despouy, setelah diterima Presiden Megawati Soekarnoputri di Istana Negara, juga berharap pengadilan itu segera digelar (Koran Tempo, 22 Januari 2002). Pernyataan Ketua Komisi HAM PBB tersebut menunjukkan bahwa masyarakat internasional memberikan perhatian besar pada perkembangan kasus pelanggaran HAM berat di Timtim.
Sebagaimana dikutip Koran Tempo, dalam kesempatan itu Despouy juga menyatakan bahwa PBB memiliki komitmen untuk menyeret para pelaku pelanggaran HAM ke pengadilan. Ia berjanji akan menyampaikan keprihatinan masyarakat Timtim itu kepada Sekjen PBB Kofi Annan dan pemerintah Indonesia. Namun demikian, Despouy menyatakan, masyarakat internasional sebaiknya lebih dulu memberikan kesempatan kepada pemerintah Indonesia untuk menggelar pengadilan HAM. Bila pengadilan HAM tingkat nasional gagal menjalankan tugasnya, menurut Despouy, PBB tidak akan segan membentuk pengadilan internasional.
Setelah sempat tertunda-tunda, Presiden Megawati Soekarnoputri beberapa waktu lalu akhirnya mengeluarkan keputusan presiden (keppres) tentang pengangkatan para hakim ad hoc pengadilan HAM. Berdasarkan keppres yang dikeluarkan pada masa Presiden Abdurrahman Wahid, tampak bahwa kasus-kasus yang akan digelar di pengadilan HAM ad hoc adalah kasus Tanjung Priok dan kasus Timtim. Kedua kasus tersebut diproses di pengadilan HAM ad hoc karena keduanya terjadi sebelum berlakunya Undang-Undang (UU) Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM.
Keluarnya keppres tentang pengangkatan hakim pengadilan HAM ad hoc ini seharusnya diikuti dengan keluarnya peraturan pemerintah (PP) tentang perlindungan korban dan saksi dan PP tentang kompensasi, restitusi, dan rehabilitasi. Hal ini telah diatur dalam Bab V Pasal 34 tentang Perlindungan Korban dan Saksi dan Bab VI Pasal 35 tentang Kompensasi, Restitusi, dan Rehabilitasi UU Nomor 26 Tahun 2000.
Masalah perlindungan korban dan saksi merupakan suatu masalah pelik dalam penegakan hukum secara keseluruhannya, termasuk dalam hal penegakan HAM. Dalam UU Pengadilan HAM dinyatakan bahwa setiap korban dan saksi dalam pelanggaran HAM yang berat berhak atas perlindungan fisik dan mental dari ancaman, gangguan, teror, dan kekerasan dari pihak mana pun.
Perlindungan itu wajib dilaksanakan oleh aparat penegak hukum dan aparat keamanan secara cuma-cuma. Menurut saya, selama ini sudah ada beberapa pihak yang membuat draf UU Perlindungan Saksi. Dengan demikian, seharusnya pada saat ini pemerintah tinggal menyempurnakan saja draf itu dan menggantinya dalam bentuk PP.
Sedangkan PP tentang kompensasi, restitusi, dan rehabilitasi harus dikeluarkan sebelum pengadilan HAM ad hoc digelar. Sebab, dalam UU Nomor 26 Tahun 2000 ditegaskan bahwa setiap korban pelanggaran HAM yang berat dan atau ahli warisnya dapat memperoleh kompensasi, restitusi, dan rehabilitasi. Kompensasi, restitusi, dan rehabilitasi itu harus dicantumkan dalam amar putusan pengadilan HAM. Dengan demikian, sebelum para hakim pengadilan HAM menetapkan putusannya, mereka harus lebih dulu mempelajari ketentuan tentang penetapan kompensasi, restitusi, dan rehabilitasi yang baru akan ditetapkan itu.
Terhadap rencana digelarnya pengadilan HAM tersebut, khususnya pengadilan HAM ad hoc, selama ini telah banyak timbul pro dan kontra. Hal ini dikarenakan banyak pihak yang merasa pesimis terhadap efektivitas pelaksanaannya. Berbagai kalangan mempertanyakan, benarkah sang tersangka utama benar-benar akan dihadapkan ke pengadilan HAM itu.
Pertanyaan ini, misalnya, telah muncul ketika membaca daftar para tersangka kasus Timtim. Dalam daftar tersebut tampak bahwa tokoh-tokoh yang selama ini dianggap paling bertanggung jawab terhadap kasus tersebut tidak muncul namanya dalam daftar tersangka.
Pernyataan Ketua Komisi HAM PBB bahwa jika pengadilan HAM tingkat nasional gagal menjalankan tugasnya, PBB tidak akan segan membentuk pengadilan internasional sebaiknya ditanggapi secara serius. Hal ini tidak hanya berkaitan dengan kredibilitas bangsa, tapi juga menyangkut nasib para tersangka. Menurut pengamatan sebagian kalangan, para jaksa yang bertugas dalam pengadilan HAM internasional tersebut akan lebih strict daripada para jaksa kita. Dalam kasus pengadilan HAM ad hoc di Yugoslavia, misalnya, hanya dengan dakwaan sebanyak 4 (empat) lembar, seorang tersangka bisa dibawa ke pengadilan dan dihukum dengan berat.
Karena itulah pengadilan HAM harus segera digelar di Indonesia. Berbagai kebutuhan akan peraturan-peraturan pelaksanaan tersebut harus segera diisi dalam bulan ini juga, jika pengadilan tersebut akan digelar pada Februari 2002 yang akan datang. Gelar pengadilan ini akan menjadi pertaruhan sukses tidaknya pemerintahan Megawati Soekarnoputri. Hal ini sesuai dengan politik hukum yang telah ditegaskan dalam berbagai Ketetapan MPR.
No comments:
Post a Comment