Cari Berita berita lama

KoranTempo - Pengemis Berdasi, Pengemis Berdaki

Sabtu, 30 November 2002.
Pengemis Berdasi, Pengemis BerdakiArswendo Atmowiloto BUDAYAWAN, SUTRADARA

Bisa dipastikan, menjelang dan sekitar hari raya Lebaran, Jakarta dan umumnya kota-kota diserbu dengan pemunculan para pengemis. Seperti halnya gerimis, para pengemis bisa ditepis, diabaikan, atau malah digubris. Padahal, kehadiran mereka bisa memberi kenyamanan pada kita yang bernasib lebih baik. Kalaupun "agak-agak" mengganggu, pengemis bukanlah teroris yang memaksakan kehendak.

Juga bukan pencopet yang memanfaatkan kealpaan kita. Juga bukan penodong yang bisa berorganisasi rapi untuk menakut-nakuti. Juga tidak seperti "Pak Ogah" jalanan yang jika tidak diberi receh, pasang muka seram mengancam. Bahkan, meskipun sama-sama di jalanan, tidak mirip polisi yang mencari dan menunjukkan kesalahan.

Pengemis memang tidak berdaya. Kekuatan mereka hanyalah adanya rasa belas kasihan kepada sesama--terutama untuk yang berkekurangan. Ini diajarkan semua agama, semua nasihat orangtua, juga pelajaran di sekolah. Bela rasa pada sesama, itu perbuatan baik. Kalau tak ada pengemis, agak terbatas kesempatan untuk "melakukan amal baik".

Para pengemis sebenarnya juga bukan kelompok yang pemalas. Untuk sampai di jalanan, untuk sampai di kompleks perumahan, diperlukan upaya--karena rumah kediaman mereka bukan di kompleks perumahan, juga bukan di pinggir jalan. Wajah memelas yang dipasang, sudah dengan sendirinya, karena memang "wajah penderitaan" itu dihayati: menengadah, di bawah sinar matahari, mendapat pandangan hina. Itu semua dihadapi, tetap berharap, kadang dengan mendoakan.

Mereka mungkin memang berdaki, dan hanya muncul sebagai inspirasi dalam puisi anak-anak. Kalaupun menjadi jagoan hanya di sekitar film silat. Sebagai anggota partai pengemis, yang tingkat keahliannya ditandai dengan jumlah tambalan pada pakaiannya. Selebihnya dihinakan, dianggap sampah masyarakat. Bahkan salah satu tradisi Yahudi menceritakan bahwa remah-remah yang jatuh dari meja makan, lebih baik diberikan pada anjing daripada mereka ini.

Padahal, mereka ini menempuh jalan damai dalam kekurangannya. Seperti para biksu yang berkeliling membawa batok kepala. Meminta, serelanya. Diberi akan mengucapkan terima kasih, tidak diberi pun ucapan itu sudah dihafal dengan mudah. Jalan damai, tanpa kekerasan, juga tanpa keserakahan. Bahkan kepada mereka yang menguasai alam, atau bisa menjualbelikan isi alam yang sebenarnya miliknya juga, mereka tidak menetapkan target minta bagian 10 persen, atau sepermil persen sekalipun. Serelanya. Menerima receh terkecil yang dilemparkan jijik pun, tak ditampik.

Pengemis jalanan tak punya kemampuan mematut diri, misalnya saja memakai dasi. Misalnya saja, membuat proposal yang mahal. Membuat proyek dengan pembenaran-pembenaran, menyelenggarakan seminar, atau bahkan lebih jauh lagi: mewakili negara, bangsa, pemerintah. Yang wilayah emisannya sampai ke luar negeri. Para pengemis berdasi ini bisa mengatasnamakan apa saja yang bukan kuasanya, dan merasa terhormat sebagai penyelamat.

Para pengemis berdasi bisa melakukan pekerjaan lain, tapi mereka memilih menjadi pengemis. Pengemis jalanan tak memiliki kemungkinan lain. Menjadi pengemis bukan pilihan, juga bukan panggilan. Barangkali karena nasib--nasibnya ditentukan orang lain.

Dibandingkan pengemis berdasi, pengemis berdaki ini mungkin sekali "tidak banyak dosa, tidak banyak goda". Ia tak pura-pura lupa harta kekayaannya untuk dicatat. Ia tak perlu menggelapkan bantuan, tak perlu korupsi atas pemberian para dermawan, tidak juga mengatasnamakan anak, istri, cucu, menantu, teman, sahabat, untuk menyembunyikan sesuatu. Dalam banyak hal pengemis berdaki lebih tulus, tidak terlalu memainkan akal bulus.

Kalau mereka berbondong-bondong turun ke jalanan menjelang Lebaran, juga karena ada ajaran-ajaran untuk berbelas kasih saat istimewa itu. Dengan pendekatan yang sangat sopan menyapa "pak, bu, tante, tuan, bos", bukan menghardik atau memanggil adik.

Barangkali merekalah yang lebih duluan sampai di "kerajaan surga", karena memilih cara-cara damai untuk mengurangi kekurangannya, mempunyai harapan bahwa di dunia ini masih ada kebajikan yang baik.

No comments:

Post a Comment