Cari Berita berita lama

KoranTempo - 'No Black... No Drug'

Kamis, 27 Juni 2002.
'No Black... No Drug'Sapni, Masitoh, Khaerunisa, Ningrum; Carolina, Andira, Vega, Chairita, Christina.

Mereka mungkin berasal dari desa--namanya menyiratkan itu. Carolina dan empat yang disebut terakhir mungkin orang kota, meski bisa saja itu nama kedua.

Darimana pun, kini mereka tinggal di tempat yang sama, penjara, karena sebab yang sama, narkotika dan obat bius, dan divonis nyaris sama, hukuman mati. Mereka tersebar di berbagai penjara di seluruh dunia--dari Eropa, Asia, Asia Tengah, Australia, hingga Amerika Latin.

Andai tak terkait narkotika dan obat bius, mereka punya daya jelajah yang mengagumkan. Sayangnya tidak.

Sayangnya, itu juga baru sebagian nama. Badan Narkotika Nasional mengungkapkan dalam peringatan 'Hari Antimadat Sedunia' kemarin (26/6), antara 1999 hingga 2001 ada 21 wanita--dari total 28 warga negara Indonesia--yang tertangkap basah membawa narkoba di bandar udara luar negeri. Pada 2002, kali ini menurut Wakil Ketua Pelaksana Harian badan itu, Inspektur Jenderal (Pol) Togar Sianipar, jumlahnya menjadi 27 orang. "Kebanyakan sudah dinyatakan bersalah oleh pengadilan," Togar mengatakan.

Jelas, mereka tak menginginkannya. Hidup seperti itu terlalu sederhana, bahkan untuk dibayangkan.

Sesungguhnya, seperti dikatakan Togar, mereka terekrut begitu saja menjadi kurir untuk sindikat internasional narkotika dan obat bius. Artinya, "Sempat ada faktor ketidaksengajaan dalam keterlibatan mereka," kata Togar.

Kebanyakan, semuanya berawal dari pertemuan wanita itu dengan orang-orang asing di diskotik, kafe, dan tempat-tempat hiburan. "Inilah mengapa," kata Togar, "Banyak wanita dalam dunia hiburan dan pelacuran yang terlibat."

Orang-orang asing itu datang ke Indonesia sebagai drug traffickers, istilah untuk pengatur lalu-lintas narkotika seperti heroin dan kokain. Tentu saja, mereka tak terang-terangan mengatakan berbisnis narkotika. Ada, misalnya, yang menyamarkan diri sebagai pengusaha ekpor/impor garmen yang berpusat di Tanah Abang, Jakarta Pusat. "Ini taktik untuk memudahkan aktivitas mereka di Indonesia atau hubungan mereka ke luar negeri," kata Togar.

Mereka berasal dari berbagai negara, tapi kebanyakan dari Afrika--mulai dari Nigeria, Sudan, Sierra Leon, Gabon, hingga Pantai Gading. Kebanyakan berkulit hitam, hingga mereka sering disebut �black african�.

Cara orang-orang itu berbisnis profesional, sebaliknya dengan calon kurirnya. Jika mereka tahu pasti sedang menjerat teman wanitanya untuk menjadi kurir, para calon korban hanya melihat mereka sebagai orang berkantong tebal yang royal. Mereka berbelanja main borong, tak pelit mentaktir, membayari kamar hotel, dan mengajak kesana-kemari sampai ke luar negeri.

Mungkin juga, calon korban tak tahu sedang masuk perangkap karena "kebanyakan yang didekati perempuan lugu dan tidak mengenyam pendidikan tinggi," kata staf ahli bidang medis di badan itu, Dr. Dadang Hawari. Lebih dari itu, Dadang melanjutkan, kebanyakan mereka mengaku muslim--sebuah daya tarik penting bagi masyarakat Indonesia yang mayoritas beragama Islam.

Mereka pun pacaran, atau menikah, atau apapun bentuk hubungan lainnya. Kemana pun hubungan mereka berujung, pada suatu ketika calon kurir itu siap menjalankan tugasnya, dan berfikir hidup memang selalu berisiko--"Saya tahu risiko yang harus ditanggung, jika sekali waktu tertangkap," Ola (Meirika Franola, 32 tahun), yang divonis mati PN Tangerang pada tahun 2000, karena membawa 4 kilogram kokain, mengatakan.

Uang, jelas, alasan utama mereka--jika tak bisa disebut sebagai satu-satunya alasan. Mari menghitungnya berdasarkan pengakuan Ola.

Ola mengatakan, untuk sekali antar, setiap kurir bisa mendapatkan sekitar US$3000. Dengan kurs US$1 = Rp 9000, itu berarti Rp 27 juta.

Maka pantas, seperti dikatakan Togar, sukar menjauhkan para wanita itu dari narkotika dan obat bius. "Alasan mereka logis saja: 'Saya ingin hidup, saya tidak mau melarat .. ada yang memberi jaminan pada saya. Kalau kemudian saya begini (tertangkap), itu resiko yang harus saya terima'," kata Togar.

Atau dengar kata Ola, yang sedang menunggu eksekusi di LP Tangerang. Dia, katanya, tak mau munafik dan pura-pura menyesal atas perbuatannya. "Sejak awal semua saya lakukan dengan sadar. Karena berani berbuat, saya juga harus berani menanggung akibatnya," kata Ola. Begitukah?

Seharusnya tidak. Negara seharusnya mengambil tindakan. Tapi, "Negara tak bisa mengadvokasi apa-apa, kecuali kalau bisa menjamin kesejahteraan yang cukup bagi seluruh lapisan masyarakat," Togar mengungkapkan.

Atau yang lebih sederhana, seperti dikatakan Dadang. Dia meminta Kantor Urusan Agama tak terlalu mudah menikahkan wanita Indonesia dengan orang asing, terutama 'black african'. "Mereka itu harus diawasi. Kalau perlu diikuti terus," ujarnya.

No Black..., No Drug? kurie suditomo

No comments:

Post a Comment