Rabu, 3 April 2002.
Mewaspadai Ancaman IncestBagong Suyanto Peneliti Divisi Litbang Lembaga Perlindungan Anak (LPA) Jatim
Tindak kekerasan seksual yang mungkin paling sulit dinalar adalah incest. Bayangkan, seorang ayah yang semestinya melindungi dan menyayangi anak-anaknya, ternyata bisa berubah menjadi setan yang menakutkan: tega memerkosa darah dagingnya sendiri, baik lewat cara bujuk rayu maupun ancaman kekerasan. Seperti diberitakan Koran Tempo, 28 Maret 2002, seorang mantan anggota Brimob, 47 tahun, dilaporkan istrinya sendiri ke Polres Jakarta Timur dengan tuduhan memerkosa dua anak kandungnya sendiri, AC, 14 tahun dan YE, 12 tahun.
Kasus incest di atas sudah tentu bukan merupakan kasus yang pertama atau yang terakhir. Studi yang dilakukan Lembaga Perlindungan Anak (LPA) Jawa Timur (2000), misalnya, berhasil mengungkap bahwa pelaku tindak perkosaan ternyata tidak selalu penjahat atau preman kambuhan atau orang yang tidak dikenal korban, tapi acap kali pelakunya adalah orang yang sudah dikenal baik oleh korban, entah itu tetangga, saudara, kerabat, guru, atau bahkan kakek atau ayah kandung korban sendiri. Dari 312 kasus perkosaan yang berhasil diidentifikasi dari berita media massa selama 1996-1999 di Jawa Timur, sekitar 10,4 persen pelakunya ternyata adalah ayah kandung. Tidak mustahil jumlah kasus incest yang sebenarnya jauh lebih besar daripada yang diekspos media massa.
Incest pada dasarnya adalah hubungan seksual yang terjadi di antara anggota kerabat dekat, dan biasanya antaranggota dalam satu keluarga inti (M. McGuire dan L. Getz, 1981). Di komunitas mana pun, incest biasanya dikategorikan sebagai tindak asusila yang ditabukan dan dikutuk keras karena dinilai merupakan pelanggaran moral yang paling buruk.
Namun, yang mencemaskan, dari waktu ke waktu kasus incest sepertinya tetap saja terjadi, dan bahkan anak-anak yang menjadi korban cenderung meluas. Anak-anak dari keluarga miskin, anak yang memiliki orangtua pemabuk atau pengguna narkotik, atau anak yang memiliki orangtua yang tidak harmonis, biasanya cenderung rawan untuk diperlakukan salah--termasuk menjadi korban incest.
Di Amerika Serikat, karena mekanisme pelaporan yang sudah lebih tertata dan sistem penanganan yang lebih baik, jumlah kasus incest yang terungkap boleh dikata lebih akurat. Di Amerika, sekitar 25 persen perempuan dewasa ditengarai pernah menjadi korban pelecehan dan kekerasan seksual semasa kecilnya. Dari jumlah ini, 40 persen pelaku kekerasan seksual terhadap anak di bawah umur ternyata adalah orangtuanya sendiri, entah itu ayah kandung, ayah tiri, atau ayah angkat korban (Billah dkk., 1997:34).
Berbeda dengan kasus perkosaan lain yang acap kali terjadi secara aksidentil dan tidak berulang-ulang, kasus incest biasanya sulit diketahui seketika karena berbagai alasan. Seperti kasus incest yang terjadi di Jakarta Timur di atas, peristiwa ini baru terbongkar selang tujuh tahun kemudian tatkala korban sudah benar-benar tidak bisa menolerir penderitaannya. Dalam kasus incest, perlakuan tidak senonoh umumnya dilakukan terus-menerus hingga bertahun-tahun, dan baru terhenti ketika korban telah berhasil mengalahkan rasa ketakutannya atau pada saat peristiwa terkutuk itu diketahui orang lain.
Sering terjadi, kasus incest dibiarkan terpendam dan menjadi aib yang tersembunyi karena korban terus dibayang-bayangi ancaman pelaku atau karena ibu kandung korban sendiri enggan membuka kasus yang dialami putrinya ke publik dengan dalih demi nama baik keluarga. Di sisi lain, tingkat ketergantungan korban dan ibunya yang tinggi pada pelaku, baik secara sosial maupun ekonomi, sering kali membuat mereka harus berpikir puluhan kali sebelum melaporkan orang yang menghidupinya ke aparat kepolisian.
Tidak jarang terjadi, seorang ibu sudah lama mengetahui putrinya diperkosa oleh ayah kandungnya sendiri memilih bungkam, karena ketakutan terhadap ancaman dan kepastian kelangsungan hidupnya. Di kalangan keluarga dengan posisi laki-laki merupakan pencari nafkah tunggal, biasanya jika terjadi incest, akan membutuhkan waktu yang lama sebelum muncul keberanian untuk melaporkan perlakuan laknat si kepala keluarga itu.
Alternatif yang acap kali dipilih korban incest, selain pasrah menerima nasib buruknya, sebagian yang benar-benar sudah tidak tahan biasanya memilih lari keluar dari rumah ikut kerabatnya yang lain atau menjadi anak jalanan di berbagai kota besar. Yang mencemaskan, tidak mustahil terjadi, anak korban incest kemudian terlunta-lunta, terperosok pada kehidupan jalanan, atau bahkan terjerumus menjadi korban baru eksploitasi seksual komersial. Bisa dibayangkan, apa yang dapat dilakukan oleh seorang anak belia yang merasa kesuciannya telah hilang dan masa depannya telah hancur karena kelakukan bejat ayah kandungnya sendiri?
Dalam banyak kasus, anak-anak yang menjadi korban incest memang sulit memperoleh pelayanan dan penanganan yang baik, karena adanya cara pandang yang keliru terhadap masalah ini. Sebagai bagian dari bentuk kekerasan yang terjadi di wilayah privat (domestic violence), anak-anak perempuan korban incest alih-alih dilindungi dan dibelaskasihani. Sering terjadi, upaya untuk memberikan perlindungan yang memadai kepada mereka justru terhambat karena hukum dipersepsi masih belum mampu masuk pada ruang-ruang privat.
Di samping itu, tidak jarang terjadi, anak-anak yang menjadi korban incest justru diperlakukan sebagai terdakwa yang ikut disalah-salahkan karena dinilai terlalu "berjarak" pada orangtuanya. Atau, bahkan incest itu sendiri dipandang sebagai hukuman atas kelakuan anak yang kelewat nakal atau dewasa dini.
Ibarat pepatah, anak-anak korban incest sesungguhnya adalah seperti orang yang sudah jatuh masih tertimpa tangga. Penderitaan anak-anak korban incest bukan saja berlipat-lipat ganda karena ketidakberdayaan mereka, tapi juga bakal mereka bawa seumur hidup: menjadi mimpi buruk yang selalu hadir setiap malam, menjadi bayangan ingatan dan pengalaman traumatik yang tidak akan pernah dapat terhapuskan. Oleh karena itu, alangkah bijak jika seluruh warga masyarakat berusaha mencegah sekuat tenaga agar incest tidak terjadi daripada melakukan langkah-langkah kuratif yang tidak jelas, sementara korban sudah telanjur teraniaya.
Mitos bahwa ayah kandung pasti menyayangi anak-anaknya seyogianya tidak diperlakukan sebagai sebuah keniscayaan yang dapat melenakan dan mengurangi kewaspadaan masyarakat untuk memberikan perlindungan yang maksimal kepada anak-anak mereka.
No comments:
Post a Comment