Cari Berita berita lama

KoranTempo - Menengok Armada Tempur Udara Indonesia

Selasa, 9 April 2002.
Menengok Armada Tempur Udara Indonesia Semua orang tahu, usia 56 tahun bukan muda lagi. Bagi sebuah angkatan armada tempur udara seperti TNI AU, boleh dibilang sudah mandiri. Sebagai organisasi yang mandiri, TNI AU jelas dituntut kemampuan tercanggih di Indonesia. Sayangnya, saat ini, kondisi ini tak mudah dijalani.

Tengok saja, ke hangar pesawat tempur armada ini. Pesawat tempur tempur tercanggih yang dimiliki Indonesia hingga tahun 2002 adalah 1 skuadron pesawat jenis F-16. Sayangnya, dari segi tehnologi, pesawat-pesawat itu jauh ketinggalan karena saat ini, perkembangan pesawat tipe F jauh lebih cepat.

Sebut saja F-22 atau pesawat pembom siluman F-117 Stealth. Atau pesawat Rusia seperti Mig atau jenis Sukhoi. Jelas, dari spesifikasi dan kemampuan tempurnya jauh lebih baik dari pesawat F-16 yang dimiliki Indonesia.

Kenapa tidak membeli saja? pertanyaan sederhana ini tak mudah dijawab .

Bagaimana mungkin menciptakan satuan tempur udara dengan anggaran yang minim. Malah boleh dibilang terkecil. Tahun 2000 misalnya, TNI AU hanya mendapatkan Rp 657 miliar alias 6,7 persen dari jumlah anggaran pertahanan untuk April-Desember 2000 yang sebesar Rp 10,9 triliun.

Memang, besarnya anggaran sangat disesuaikan dengan jumlah personil. Namun dengan jumlah RP 657 miliar dengan 80 persen tersedot untuk kebutuhan pembiayaan dan belanja personil, jelas tidak akan memperhitungkan penambahan pesawat model terbaru.

Belum lagi, jumlah belanja pemeliharaan pesawat yang membengkak akibat pencabutan embargo oleh negara barat sejak tahun 1990. Jelas, kondisi ini membuat keinginan memiliki pesawat-pesawat canggih termodernpun tampaknya masih angan-angan.

Armada tempur udara Indonesia untuk yang pertama kalinya mendapat kan pesawat tempur dengan datangnya pesawat A-4 Skyhawk yang disusul pesawat F-5E Tiger II. Lalu satu skadron angkut berat ditambah lagi dengan pesawat C-130H Hercules untuk melengkapi Hercules seri B yang sudah beroperasi sejak tahun 1960.

Sedangkan untuk mengawal dirgantara Indonesia, TNI AU memiliki pesawat pemburu jenis F-16 Fighting Falcon dan A-4 Skyhawk. Masing-masing satu skuadron.

F-16 adalah pesawat canggih buatan General Dynamics, AS yang bisa membawa 4.500 kg bahan peledak dan 2 rudal sidewinder. Pesawat berawak tunggal/ganda dengan bobot 17 ton ini merupakan jenis pertama yang dilempar ke pasaran internasional setelah General Dynamics mampu mencetak prototipe yang lebih canggih, yakni F-16 versi c dan F-16 versi d. Indonesia sendiri cuma punya F-16 versi a yaitu jenis pesawat latih dan F-16 versi b untuk operasional.

Sedangkan pesawat jenis penyerang (attack) Hawk dibeli pemerintah dari Inggris tahun 1997 dengan harga kurang lebih dari 14 juta poundsterling.

Pesawat ini dinilai punya kehebatan dalam manuver udaranya, karena berbobot ringan (3,8 ton) ketimbang Falcon. Dan seperti umumnya pesawat-pesawat negara Barat, mereka dirancang untuk keselamatan pilotnya saat harus berduel di udara (dog fighting). Hawk sendiri punya kecepatan 1000 km/jam lebih.

Hingga tahun 2000, Indonesia memiliki 40 jenis pesawat jenis Skyhawk 100, 1 skuardron pesawat tempur jenis F-5, 1 skuardron A-4 jenis Sky Hawk, 2 skuardron pesawat tempur jenis skyhawk 200.

Namun gara-gara embargo onderdil dan peralatan militer diterapkan Amerika Serikat dan Inggris, serta krisis selama empat tahun terakhir ini jangankan penambahan pesawat, yang ada malah rugi akibat sejumlah pesawat itu rusak dan jatuh ke bumi.

Masalahnya kesulitan di suku cadang. Padahal pesawat tempur tanpa suku cadang, ibarat macan ompong.

November tahun lalu misalnya, pesawat tempur jenis Sky Hawk 200 mengalami celaka saat hendak mendarat di kawasan Pangkalan Udara TNI Angkatan Udara (Lanud TNI AU) Pekanbaru. Meski tak ada korban, namun pesawat itu jelas rusak parah.

Yang tragis adalah pesawat Boeng 707 milik TNI AU yang membawa Presiden Abdurrahman Wahid ke Australia mengalai kerusakan mesin. Pesawat Boeing 707 TNI AU dari Skadron Udara 17 (VVIP/VIP) Lanud Halim Perdanakusuma itu merupakan pesawat yang dirancang dan dipersiapkan untuk penerbangan jarak jauh.

Bulan lalu, kecelakaan itu masih terjadi. Dua pesawat tempur TNI AU jenis Hawk MK-53 buatan Inggris, jatuh di dekat Skuadron Teknik Pangkalan Udara (Lanud) TNI AU Iswahyudi, Maospati, Kabupaten Magetan, Jawa Timur. Tak hanya pesawat buatan Inggris itu yang rusak. Tapi tiga penerbang andalan, pun tewas seketika.

Tentu saja, kecelakaan itu sangat merugikan. Selain karena harganya jutaan dollar, kemampuan tangkal TNI AU pun jadi berkurang. Menurut Kadispen TNI AU Marsekal Pertama Imam Wahyudi pesawat TNI AU yang dapat dioperasikan menurun sampai 50 persen. Yaitu sekitar 113 dari 226 pesawat tempur TNI yang mampu beroperasi maksimal.

Masalah ini dikarenakan kebanyakan pesawat TNI AU itu buatan AS. Padahal pesawat itu punya kelemahan di sistem radar. Susahnya lagi, begitu rusak, spare partnya hanya bisa dibeli di negeri itu. Padahal sejak awal negeri ini telah mengembargo Indonesia.

Meski embargo itu dibuka, sampai saat ini, militer AS hanya mau menjual menjual suku cadang untuk pesawat angkut, seperti jenis Hercules. Itu pun dilakukan tidak secara menyeluruh hanya beberapa bagian saja.

Tapi KSAU Marsekal TNI Hanafie Asnan sendiri menangkis jika kondisi itu mempengaruhi daya tangkal armadanya. Dengan kondisi yang minimum ini, daya tempur armada udara Indonesia masih cukup untuk membantu kegiatan dalam negeri. Bagaimana prosentasenya, tergantung dari anggaran dan proses pemeliharaannya sendiri. "Pokoknya masih bisa membantu menjaga keamanan saat ini," jelasnya kepada Tempo News Room, Maret lalu.

TNI sendiri berusaha mengatasi soal pengadaan suku cadang dengan membangun konsorsium bersama pihak swasta. "Dengan memaksimalkan kemampuan yang ada, kita akan membuat suku cadang sendiri agar pesawat-pesawat tempur TNI AU bisa beroperasi. India juga berbuat hal yang sama dan hasilnya cukup lumayan. Itu yang akan kita lakukan,"kata Hanafie.

Jika sampai sekarang pesawat-pesawat TNI AU masih ada yang bisa bertahan dan dioperasikan, hal itu karena pihaknya sementara waktu memperpanjang usia pakai, terutama spare part mlalui sarana penelitian dan pengembangan TNI AU.

Urusan suku cadang memang harus pintar-pintar mengolahnya. Ia sendiri mengaku, selain pengiritan total, TNI AU terpaksa harus melakukan sistem kanibalisasi dengan menggunakan suku cadang dari pesawat-pesawat yang tidak beroperasi untuk digunakan pada armada yang masih bagus dioperasikan. Ini terpaksa dilakukan jika usaha memperpanjang usia pakai suku cadang tidak lagi bisa dimanfaatkan.

Cara ini menurut Kepala Bidang Penerangan Lanud Iswahyudi Kapten Bintang Yudianta kepada Koran Tempo, bukan berarti pesawat lainnya tak bisa dipakai. Artinya jika yang lainnya akan dipakai, spare parts yang telah diambil dikembalikan lagi. Begitu seterusnya, sehingga semua pesawat tetap bisa terbang. Namun secara bergiliran. " Semacam rotasi begitulah, habis mau bagaimana lagi, karena kita sendiri belum bisa membuat suku cadang pesawat-pesawat tempur. Jadi satu-satunya jalan ya, mengkanibal " ujarnya.

Saat ini, pesawat tempur andalan TNI AU yang ada di Lanud Iswahyudi semuanya buatan AS dan Inggris. Yaitu, 12 buah F-16 buatan AS yang masuk tahun 1990-an. Namun jumlah itu berkurang akibat tragedi kecelakaan di Lanud Halim Perdana Kusumah. Dua buah F-16 hancur, dan bersisa 10 buah. Dari 10 buah tersebut, jika dimaksimalkan hanya bisa dipakai 6 buah. Padahal sampai saat ini, pesawat tempur paling canggih yang dimiliki Indonesia adalah F16 yang memakai teknologi block 15. "Jumlah ini jauh ketinggalan karena Amerika Serikat sendiri saat ini telah memproduksi F16 block 60," jelas Kapten Bintang.

Sedangkan untuk jenis Hawk MK-53 buatan Inggris terdapat sekitar 10 buah. Lainnya, jenis F 5 (buatan AS) keluaran tahun 1970 dan masuk ke Indonesia pada tahun 1980-an sebanyak 12 buah, Casa buatan IPTN dan sejumlah pesawat lama.

Tak hanya itu. Guna memperpanjang usia pesawat tempur, Lanud Iswahyudi misalnya terpaksa bekerjasama dengan perusahaan pesawat dari Belanda Kool Haas Afelthen BVP. Program itu sudah berjalan sepekan untuk memperbaiki 10 pesawat tempur F16 yang ada di Lanud Iswahyudi.

"Harapan kami, program kerja sama perbaikan pesawat F 16 ini bisa memperpanjang usia dan jam terbang. Apalah artinya TNI AU tanpa adanya pesawat tempur yang memadai," tandas Kapten Bintang.

Sedangkan untuk menjaga keawetan semua jenis pesawat, sejumlah cara taktis terpaksa diterapkan. Yaitu dengan mengurangi frekwensi pemakaian (jam terbang), mengurangi power mesin serta memeriksa kondisi pesawat secara berkala, setiap 150 jam terbang. "Intinya pilot diminta tidak menggeber mesin pesawat sampai pada kekuatan maksimal," jelas Satriyo.

Sistem rotasi dan kanibalisasi memang mengirit dan setidaknya bisa mempertahankan kondisi pesawat andalan armada. Namun sampai ini dilakukan? Ingat, sudah banyak yang jatuh. Banyak pula faktor ancaman yang harus ditangkal.wda/cahyo/dwijo u maksum

1 comment:

  1. sebaiknya kerjasama dengan negara-negara barat seperti USA dan sekutu dipertimbangkan lagi sebab negara2 tsb tidak bersahabat dengan RI, langsung saja berkiblat ke RUSIA sekalian belajar teknologi di sana.

    ReplyDelete