Cari Berita berita lama

KoranTempo - Kejarlah Aset Sampai ke Timor

Sabtu, 9 April 2005.
Kejarlah Aset Sampai ke TimorSenyum Presiden Timor Leste Xanana Gusmao terus mengembang ketika pesawat kepresidenan Indonesia mulai mendarat di Bandar Udara Internasional Nicolau Lobato, Dili, Timor Leste, Jumat siang kemarin. Tamu kenegaraan yang sudah lama ditunggu akhirnya tiba juga. Hari itu Presiden Susilo Bambang Yudhoyono mengawali kunjungan resmi selama dua hari di bekas provinsi termuda Indonesia ini. Begitu Yudhoyono menuruni tangga pesawat, dua kepala negara itu berpelukan.

Kedatangan Presiden Yudhoyono juga disambut dentuman meriam sebanyak 21 kali. Seusai penyambutan di bandara, rombongan ini menyusuri jalan yang penuh dengan umbul-umbul selamat datang. Perjalanan antara bandara dan Palacio das Cinzas (Istana Kepresidenan) dilalui dengan penuh keceriaan. Jalur sepanjang tujuh kilometer itu disesaki warga Dili yang riuh melambaikan tangan. "Ini memang kedatangan bersejarah," kata Xanana Gusmao.

Selama kunjungan kenegaraan ini, Presiden Yudhoyono akan bertemu dengan masyarakat Indonesia di Timor Leste. Rencananya pertemuan akan berlangsung di Kedutaan Besar RI di Dili. "Kami telah mengundang perwakilan masyarakat seperti wakil pedagang, pengusaha, gereja, dan masjid," kata Ahmed Bey Sofwan, Duta Besar RI di Timor Leste.

Selain bertemu dengan masyarakat Indonesia, Presiden Yudhoyono akan bertemu secara resmi dengan Presiden Xanana Gusmao, Perdana Menteri Mari Alkatiri, dan Presiden Parlemen Nasional Timor Francisco Guterres. Pertemuan dengan para pejabat tinggi negara itu akan membicarakan hubungan dan kerja sama di antara dua negara. Tema lain yang bakal disinggung adalah soal pengungsi dan aset Indonesia yang tersisa di Timor Leste.

Urusan aset Indonesia di bekas provinsi termuda ini memang cukup pelik. Tarik-ulur kepemilikan aset sudah muncul sejak warga Timor memilih opsi merdeka dalam jajak pendapat 30 Agustus 1999. Di awal kemerdekaan Timor Leste, Menteri Luar Negeri Ramos Horta langsung berkoar bahwa warisan itu menjadi hak negaranya. Pendapat ini didukung Perdana Menteri Mari Alkatiri. Namun, Indonesia tak begitu saja menyerah. Perundingan berulang kali terjadi.

Dalam kunjungan ke Jakarta, Juni 2003, Perdana Menteri Mari Alkatiri sudah membicarakan urusan aset ini dengan Presiden Megawati. Sayang, pembicaraan itu belum membuahkan hasil positif. Persoalan ini pun mengambang untuk kesekian kalinya. Mari Alkatiri rupanya kukuh tak ingin mengubah pendapatnya bahwa aset itu sah milik Timor. "Posisi Timor sudah jelas. Kalau ada yang mau dipertahankan, ya, kami pertahankan," kata Mari. Pertemuan berikutnya pun digelar kembali.

Dalam pertemuan "Second Joint Ministerial Commission" di Dili, September 2003, Indonesia meminta agar Timor Leste mengakui bahwa aset itu milik Indonesia. Caranya, aset yang tertinggal itu dijadikan penyertaan modal dalam investasi. Pertemuan ini sebenarnya untuk menindaklanjuti lahirnya UU Nomor 1 Tahun 2003 tentang kepemilikan asing di Timor Leste. Undang-undang yang disahkan pada Maret 2003 ini cukup merugikan Indonesia.

Pasal 4 undang-undang tersebut menegaskan bahwa semua aset peninggalan Portugis dan Indonesia resmi menjadi milik Timor Leste. Kepemilikan ini mencakup aset bergerak dan aset tak bergerak. Bahkan pemerintah Timor telah mengapling aset-aset tadi dalam tiga kelompok, yakni aset pemerintah atau badan usaha milik negara, aset nonpemerintah atau badan usaha milik swasta, dan aset perorangan.

Berdasarkan undang-undang tadi, tak aneh jika pemerintah Timor Leste sibuk membangun kembali gedung peninggalan Indonesia. Bekas gedung PT Taspen, misalnya, kini disewakan menjadi rumah Duta Besar Australia di Dili. Bekas gedung BRI malah disewakan pemerintah Timor Leste ke Bank Mandiri Cabang Timor Leste. Dalam catatan Land & Property Timor Leste, jumlah aset bergerak dan tidak bergerak milik Indonesia mencapai 12 ribu unit. Aset itu setidaknya dimiliki 8.000 pihak, baik lembaga maupun perorangan. "Jika ditaksir, harganya mencapai ratusan miliar rupiah," kata Pedro de Sousa Xavier, Direktur Land & Property Timor Leste.

Menurut Xavier, di antara sekian aset Indonesia, mungkin depot Pertamina bernasib lebih mujur. Jika mengacu pada UU Nomor 1 Tahun 2003, otomatis depot itu milik Timor Leste. Namun, jika Pertamina mengajukan klaim adanya saham swasta di dalamnya, pemerintah Timor Leste akan mempertimbangkan penggunaan pasal 13 tentang aset swasta. Di situ ada ketentuan bahwa warga negara asing di Timor Leste wajib mendaftarkan harta kekayaannya kepada Direktorat Land & Property Timor Leste. "Jadi ini tergantung Pertamina sendiri," katanya.

Selama ini, pemerintah Timor Leste selalu berdalih dengan UU Nomor 1 Tahun 2003 itu. Undang-undang ini tak ubahnya benteng pertahanan yang kukuh. Dalam undang-undang inilah disebutkan larangan kepemilikan hak atas tanah oleh orang asing di Timor Leste. Orang asing yang memiliki aset diberi waktu selama satu tahun sejak undang-undang itu dikeluarkan untuk mendaftarkan asetnya kepada pemerintah Timor Leste. Jika hal ini tidak dilakukan, aset itu akan menjadi milik Timor Leste.

Meski menghadapi tembok undang-undang, pemerintah Indonesia tetap optimistis aset itu akan kembali. Apalagi dengan terbentuknya Komisi Kebenaran dan Persahabatan antara dua negara. Namun, Indonesia juga menyadari, ekonomi Timor belum stabil. Akibatnya, mereka kesulitan membayar aset. "Mereka mau mendapatkan uang dari mana untuk mengganti aset Indonesia?" kata Ahmed Bey Sofwan.

Menurut Duta Besar RI di Dili ini, pemerintah Timor Leste belum memiliki aturan untuk masalah aset, sehingga untuk sementara seluruh aset yang ditinggalkan masih dalam status quo. "WNI yang pernah menetap di sana sudah mendesak pemerintah RI memberikan ganti rugi terhadap seluruh aset mereka," katanya.

Pemerintah Timor Leste belum memiliki dana cukup untuk memberikan ganti rugi atas aset pemerintah Indonesia, BUMN, dan swasta ataupun aset WNI yang ditinggalkan. Namun, pemerintah Indonesia akan terus berupaya agar seluruh aset dapat diganti apabila ekonomi negara bentukan PBB itu sudah normal. Salah satu solusi yang ditawarkan, aset BUMN dan swasta dikompensasikan menjadi penanaman modal asing (Indonesia) di Timor Leste.

Cara ini dinilai paling mungkin agar aset tak hilang. "Prinsip yang kami kembangkan adalah win-win solution karena memang sukar memberikan kategorisasi aset untuk ganti rugi," kata juru bicara Departemen Luar Negeri Indonesia, Marty Natalegawa.

Menurut Marty, Indonesia memahami kondisi ekonomi Timor Leste, sehingga kedua negara telah bersepakat sejak awal, penyelesaian masalah aset Indonesia melalui perundingan. "Karena masalah aset ini merupakan residual issues akibat pemisahan Timor dari Indonesia," katanya. Registrasi aset-aset tersebut sampai saat ini masih terus dilakukan oleh Departemen Dalam Negeri. Sedangkan aset-aset BUMN didaftarkan Badan Perencanaan Pembangunan Nasional. Semoga keseriusan pemerintah membuahkan hasil positif. alexander assis/jems de fortuna/agus supriyanto

No comments:

Post a Comment