Senin, 31 Maret 2003.
Dampak Agresi Amerika ke IrakM. Sadli
Ekonom Senior, Mantan Menteri Pertambangan
Perang di Irak sedang mengubah peta bumi politik, baik yang internasional maupun nasional. Pengaruhnya bisa sangat besar untuk seluruh dunia, juga untuk negara berkembang seperti Indonesia.
Pengaruh paling penting adalah terhadap tatanan dunia. Sudah cukup lama dunia yang bipolar, dikuasai oleh dua kubu adikuasa dalam kemampuan militer, yakni blok Barat dan blok Timur, tidak ada lagi. Blok Baratlah yang survive sehingga kubunya menjadi dominan. Di bidang ekonomi, sistem ini adalah kapitalisme, yang masih mempunyai berbagai variasi. Kapitalisme di Amerika dan Eropa tidak identik. Sistem sosialisme seperti dipraktekkan di Uni Soviet dan blok Timur gulung tikar. Maka, seluruh dunia sekarang menganut sesuatu versi kapitalisme.
Kalau istilah ini tidak disukai, pakai saja istilah ekonomi pasar, yang memang tidak identik dengan kapitalisme tapi mekanisme pasar merupakan intinya. Batu landasannya adalah private property (terjemahannya "hak milik partikulir" kurang menangkap inti artinya), yang dipertaruhkan di pasar yang (cukup) bebas, dan aturan mainan di pasar itu dijamin oleh sistem hukum yang bisa diandalkan.
Sistem politiknya adalah demokrasi politik, yang juga punya berbagai varian. Demokrasi politik di Amerika, Eropa, dan Jepang masing-masing ada perbedaannya, tetapi kesamaannya lebih penting. Ada sejumlah partai politik yang pada pemilihan umum bersaing untuk merebut suara dari pemilih di masyarakat. Preferensi di masyarakat ini menghasilkan representasi "rakyat yang berdaulat" di dewan perwakilan rakyat.
Dalam masa transisi sekarang masih ada beberapa pengecualian, dan yang paling menonjol adalah Cina, yang bisa menggabungkan ekonomi pasar, unsur-unsur sosialisme, dan sistem politik yang dikuasai oleh satu partai. Uni Soviet tidak mengikuti transformasi demikian dan pada 1991, di bawah Boris Yeltsin, langsung membuang sistem komunisme.
Dengan tidak adanya blok Timur (sosialis gaya lama), yang tinggal adalah blok Barat yang terdiri dari G-3, G-5 atau G-7, negara-negara yang ekonominya besar, yakni Amerika Serikat, Jepang, Jerman, Inggris, Prancis, Rusia, dan Italia. Kalau mau, Italia bisa diganti dengan Cina karena produk domestik brutonya lebih besar, walaupun Cina masih negara berkembang. Di bidang ekonomi, yang paling penting adalah G-3 atau G-5, tetapi yang paling berkuasa adalah G-1, yakni Amerika Serikat.
Sejak Roosevelt seusai Perang Dunia II sampai Clinton, Amerika Serikat membentuk dan mempertahankan sistem "multilateral", khususnya sistem Perserikatan Bangsa-Bangsa dan Dewan Keamanannya, di mana negara besar pemenang Perang Dunia II punya hak veto. Ketika Amerika memimpin serangannya untuk mengusir Irak dari Kuwait pada 1991, operasi itu di bawah PBB. Demikian pula operasinya yang lebih mutakhir di Kosovo dan Afganistan. Presiden Bush sekarang meninggalkan sistem multilateral PPB dan Dewan Keamanannya. Maka, Bush melanggar kode etik politik.
Yang menjadi pertanyaan adalah, apakah ini penyimpangan permanen atau hanya untuk perang di Irak saja? Mungkin ada kecenderungan baru: "The US can go it alone", walaupun dengan PBB lebih baik. Sekarang masih ada usaha-usaha untuk menyelamatkan aliansi Barat Trans-Atlantik ini, dan pendekar utamanya adalah Tony Blair dari Inggris, yang di satu pihak mematuhi ikatan sejarahnya dengan Amerika, di lain pihak sadar Inggris bagian dari Eropa.
Penolakan Prancis, Jerman, dan Rusia terhadap unilateralisme Presiden Bush juga mencerminkan sentimen di Eropa bahwa Eropa harus ada perannya sendiri dan tidak selalu mengekor Amerika sebagai ungkapan terima kasih karena Amerika liberatornya di Perang Dunia II.
Di lain pihak, sentimen politik asli di Amerika lebih sering "isolasionis" ketimbang selalu mau melibatkan diri di dunia. Bush mulai sebagai isolasionis tradisional dan buta huruf mengenai masalah-masalah internasional. Lalu, bangsa Amerika digugahkan oleh serangan 11 September, seperti dulu oleh serangan Pearl Harbor. Bush lalu mau mengejar musuh bangsa yang baru, yakni terorisme internasional, ke segala penjuru dunia. Timbul suatu imperialisme baru, yang lalu bentrok dengan sentimen baru di Eropa, yakni dari Prancis dan Rusia. Pemerintah Jerman mungkin "ikut-ikutan" saja tapi rakyat Jerman sangat menentang perang yang tidak membawa bendera PBB.
Dua negara besar di Asia, yakni Cina dan Jepang, mempunyai reaksi yang berlainan. Cina bersikap lebih independen dan menentang Amerika, walaupun sangat memerlukan Amerika untuk kepentingan ekonominya. Jepang, khususnya pemerintahnya, tidak berani menentang Amerika dan memilih mendukung Amerika di Perang Irak. Dasarnya adalah pertimbangan geopolitik dan keamanan yang historis. Jepang memandang Amerika Serikat sebagai kawan strategis jangka panjang. Juga, untuk mengimbangi Korea Utara dan RRC, yang punya bom nuklir.
Masih ada kemungkinan unilateralisme Amerika (baca Presiden Bush) dikoreksi lagi oleh perjalanan dan kesudahan perang di Irak. Amerika dan Inggris bisa memenangkan perangnya, tapi biaya yang paling besar adalah rekonstruksi Irak yang bisa memakan biaya ratusan miliar dolar. Pembayar pajak Amerika akan menolak membayarnya.
Cepat atau lambat, Amerika akan kembali berpaling ke PBB dan Dewan Keamanannya. Sangat mungkin Prancis, Jerman, dan Rusia akan menyambut baik karena sistem multilateral PBB selalu masih lebih baik daripada yang terjadi sekarang. Kiranya Cina pun akan berakomodasi untuk mengamankan jatah minyak bumi dari Timur tengah.
Bagaimana dampak pergeseran internasional ini kepada negara-negara berkembang seperti Indonesia? Sangat sulit untuk mencari jalan tengah untuk mengamankan kepentingan nasionalnya.
Dalam jangka menengah dan panjang, Indonesia tetap memerlukan goodwill Amerika Serikat, yang merupakan negara tujuan ekspornya, yang terutama dan yang memegang kunci di pasar modal dunia dan lembaga-lembaga keuangan internasional seperti Dana Moneter Internasional dan Bank Dunia. Jepang bukan pengganti untuk berpaling muka, karena Jepang akhirnya akan menurut pada Washington.
Dengan begitu, walaupun kita menolak keras agresi unilateral Amerika di Irak, tanggapan pemerintah harus proporsional (measured). Tanggapan pemerintah sebagai hasil sidang kabinet, Kamis, 20 Maret 2003, itu dan pernyataan Presiden Megawati Soekarnoputri sendiri--termasuk seruannya kepada masyarakat--sudah yang optimal. Presiden menyatakan: "Ungkapan simpati itu hendaknya dilakukan dengan cara damai dan demokratis, serta tidak mengganggu ketertiban umum dan stabilitas nasional."
Sebagai negara besar yang bagian terbesar penduduknya beragama Islam, perang di Irak sangat menyulitkan pemerintah Megawati Soekarnoputri. Menteri Jusuf Kalla pernah mengatakan bahwa perang di Irak bukan perang Amerika melawan Islam, karena banyak negara berpenduduk Islam sekitar Irak membantu Amerika Serikat, secara all out atau setengah-setengah. Lebih mutakhir, Mega menyatakan yang sama. Namun, sebagian besar rakyat negara-negara itu juga bersimpati dengan rakyat Irak yang menjadi korban perang. Memang, harus dibedakan sikap anti-Bush (dan pro-Saddam Hussein) dan sikap antiperang (tanpa dukungan PBB) yang lebih relevan.
Masalahnya, bagi sebagian rakyat, baik di Timur Tengah maupun Indonesia, perbedaan itu tidak kena. Sentimen solidaritas Islam cukup kuat di kalangan Islam yang melek politik. Mereka juga mudah melihat perang Amerika sebagai perang mengamankan Israel dan merupakan konspirasi Yahudi. Paul Wolfowitz yang populer di Indonesia ketika menjadi Duta Besar AS merupakan tokoh garis keras yang paling utama sejak 1991, tapi kebetulan ia Yahudi.
Perang di Irak juga mudah dimanfaatkan oleh kalangan-kalangan yang mau menumbangkan Megawati, kalau bisa sebelum 2004. Paling tidak untuk mencegah ia dipilih kembali pada 2004.
Apa salahnya? Setiap partai politik di luar Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan punya hak mengalahkan Mega pada 2004. Risikonya adalah kebijakan-kebijakan yang sudah baik nanti juga ikut dibuang bersama dengan Megawatinya. Di bidang ekonomi, kebijakan-kebijakan fiskal dan moneter sudah baik dan mampu menghasilkan stabilitas makroekonomi, walaupun tidak mampu memancing investasi. Kebijakan kerja sama dengan lembaga-lembaga internasional, IMF, Bank Dunia, Bank Pembangunan Asia, Consultative Group on Indonesia, hendaknya juga tidak dibuang (walau pemerintah yang lebih pintar bisa bargaining lebih baik).
Di bidang politik, pertumbuhan Islam liberal atau Islam moderat juga bisa tersaingi kembali oleh kalangan yang militan. Perang di Irak mudah menyuburkan sentimen-sentimen radikal di masyarakat. Lagi pula, kalau rakyat terlalu dibakar untuk menumbangkan Mega sebelum 2004, ini juga memberi kesempatan kepada tentara untuk kembali mengambil kendali.
No comments:
Post a Comment