Selasa, 25 Juni 2002.
Air Mancur SutiyosoJAKARTA bersolek. Bundaran Hotel Indonesia yang belakangan terlihat kotor dan kumuh, sekarang asri dan indah. Air mancur yang lama sekali macet didandani. Dari 400 lebih titik air itu sekarang sudah muncrat air dalam konfigurasi dua warna: merah-putih. Ada yang menyemprot lurus, lalu ada yang berputar, ada yang menyembul dari tengah lingkaran, ada yang memantulkan semburat warna merah. Menarik, menawan. Pemandangan yang menambah kesemringahan kota metropolitan itu.
Inilah kado Gubernur Sutiyoso untuk ulang tahun ke-475 kota yang dipimpinnya itu. Lebih jelasnya: sebuah kado yang cukup mahal. Tak kurang dari Rp 14 miliar dihabiskan untuk proyek air mancur itu. Gubernur pun rupanya cukup cerdik dengan membarter proyek ini dengan pemberian hak beriklan di seputar bundaran yang terkenal sebagai ajang demonstrasi memprotes apa saja itu.
Ada dua hal yang layak dipertanyakan di sini. Yang pertama, apakah perlu untuk sebuah proyek mercu suar begini sampai menghabiskan Rp 14 miliar? Kalau tak ada yang "aneh-aneh" dalam proyek itu--baiknya kita berbaik sangka bahwa tak ada yang "aneh" di Bundaran HI--pertanyaan berikutnya bisa diajukan. Apakah tak ada teknologi dan bahan yang lebih murah sehingga biaya tak perlu sampai Rp 14 miliar?
Mendengar angka Rp 14 miliar saja sudah "mengerikan". Jika sebuah pusat kesehatan masyarakat bisa dibangun megah dengan biaya Rp 500 juta, berarti ada 28 puskesmas yang bisa dibangun dengan dana air mancur sebesar itu. Jangan-jangan biaya segitu bisa dipakai membangun sebuah rumah sakit kelas menengah di pinggiran kota. Rasanya uang sebegitu besar bisa dipakai membangun lebih dari sepuluh poliklinik untuk rakyat kebanyakan. Bisa dipakai untuk membangun lebih dari sepuluh lapangan bola kelas desa, supaya Persija Jakarta bisa mendapatkan bibit-bibit pemain sepak bola yang andal.
Yang kedua, apakah renovasi air mancur itu merupakan prioritas yang penting untuk Jakarta, bila diingat Ibu Kota itu Februari lalu nyaris direndam air di seluruh bagian wilayahnya. Bukankah biaya sebesar itu bisa dipakai untuk memperbaiki gorong-gorong, merapikan lagi saluran air yang hancur, membuat lebih banyak sumur resapan air, menggali danau-danau tangkapan air yang dangkal, membuat penyuluhan untuk rakyat di daerah yang selalu saja jadi sasaran banjir.
Merenovasi air mancur Bundaran HI bagus, tapi mempersiapkan rakyat menyambut banjir--yang kabarnya belum akan selesai diatasi sampai 15 tahun mendatang--juga penting dan sekaligus genting. Sutiyoso akan dikenang bukan sebagai orang yang menghadiahi Jakarta air mancur yang pandai melenggang lenggok itu, tapi sebagai orang yang menyelamatkan--setidaknya mengurangi derita--rakyatnya dari serangan banjir.
Persoalan Jakarta memang tidak berkurang kalaupun Sutiyoso tidak merenovasi air mancur Bundaran HI, tidak memagari Monas, atau tidak memikirkan membangun patung para pahlawan di beberapa bagian kota. Tapi, persoalan Jakarta jelas berkurang jika seorang gubernur pandai menyusun prioritas kerja dan piawai mengarahkan dana yang terbatas. Itulah modal penting untuk Gubernur Jakarta yang terpilih September mendatang ini.
Siapa pun yang terpilih, sebaiknya dia bukan orang yang mendahulukan air mancur ketimbang mempersiapkan rakyatnya dari serangan banjir.
No comments:
Post a Comment