Rabu, 23 April 2003.
Kalau Ada, Jelas NCD PalsuJakarta, 23 April 2003 00:02KENDATI menjadi sorotan di kalangan petinggi Muhammadiyah, Lulu Lufti Harsono, 45 tahun, tetap ''pede'' alias percaya diri. Ia meyakinkan, dirinya tidak terlibat dalam pembobolan Bank BNI, apalagi sampai menyeret institusi Muhammadiyah. Tanggung jawab kasus itu, Lulu menegaskan, sepenuhnya di tangan Dedy Suryawan dan sejumlah oknum Bank BNI.
Kehadirannya di Muhammadiyah yang menimbulkan heboh ini membuat ayah empat anak itu merasa tidak enak. Tapi, pria berkacamata yang pernah berkarier di Bank Panin, Bank Pikko, dan Bank Putra ini meyakinkan bahwa ia ingin membesarkan Muhammadiyah. Untuk mendapatkan kejelasan posisinya, wartawan GATRA Kholis Bahtiar Bakri, Saiful Anam, dan Satrio Adhi Nugroho menemui Lulu, Rabu malam pekan lalu. Petikannya:
Kasus pembobolan Bank BNI ini menyeret nama Anda, bagaimana ceritanya?
Saya kejeblos. Dedy itu keponakan saya, dulu pekerjaannya kan tidak jelas. Sering nongkrong di hotel, ngaku bisnis ini-itu. Dia tipe anak muda yang tak pernah susah. Ngomong-nya milyaran. Mertuanya memang kaya, Pak Daddy Soemadipradja, mantan Direktur Bank BNI.
Dia mengajak saya bisnis buah-buahan, butuh uang banyak. Saya bilang, nggak mungkinlah. Tapi, dia bilang bisa. Saya penasaran, kan saya orang bank. Lalu saya dipertemukan dengan Gunawan di Hotel Atrium. Saya tanya dia, ''Uangnya dari mana?'' Katanya, ''Biasalah, dari deposan.''
Saya heran, kok tak pakai jaminan? Dia jawab, ''Saya percaya pada Pak Daddy. Dia dulu mentor saya,'' katanya. Tiba-tiba, saya ditelepon orang dalam BNI yang kebetulan teman saya dulu ketika sekolah di Amerika. Dia bilang, ''Ada transaksi milyaran yang mencurigakan dari Cabang Halim. Katanya ini orang kamu.'' Gila!
Saya panggil Dedy ke rumah, malam-malam. Saya punya insting yang tidak bagus. Saya tanya ada apa kok jadi begini. Dia mengaku, uang yang dipakai sekian ratus milyar. ''Gila! Gimana ngembaliinnya? Kamu kemanain duit itu?'' Ia tak bisa jawab.
Kapan Anda memanggil Dedy itu?
November lalu. Pokoknya, saya ngamuk. Memang, antara saya dan dia terjadi pinjam-meminjam. Saya pinjam dia Rp 50 milyar.
Transaksi itu terjadi sebelum atau sesudah pemanggilan tadi?
Sebelum. Waktu ketemu Gunawan, dia bilang pinjaman itu untuk tiga bulan. Saya tidak mau. Setelah pertemuan itu, Dedy telepon saya. ''Mas, bisa untuk setahun, kok.'' Oke. Totalnya Rp 50 milyar. Duit itu untuk bisnis buah tadi.
Apa kepentingan Anda di bisnis buah itu?
Saya ingin mendedikasikan diri ke sana. Awalnya perusahaan itu didirikan Khalid Al Salameh. Saya pikir, dia ahli dalam bisnis ini.
Anda lalu menyuntikkan dana pengembangan?
Kurang lebih begitu.
Berapa persen pembagian sahamnya?
Saya 40%, Khalid 60%. Dawam Rahardjo termasuk yang 40% itu. Saya setor Rp 6,5 milyar, setelah itu kami injeksi lagi sesuai dengan kebutuhan. Tapi, kami nggak tahu bahwa uangnya haram. Saya marah karena dijebak Dedy.
Dengan tidak ada jaminan, kan sebenarnya mencurigakan?
Memang. Makanya saya datang ke sana. Tahunya Dedy sudah deal sama Gunawan. Ya, sudah. Toh, tidak keluar jaminan atau apa-apa dari saya.
Bagaimana dengan rumor bahwa Anda memberi jaminan NCD yang dikeluarkan Bank Persyarikatan?
Cairkan saja kalau memang ada. Tangkap orang yang membawanya. Bank Persyarikatan tidak pernah menerbitkan NCD untuk jaminan itu. Di bank saja tidak ada pembukuannya. Mestinya Gunawan juga tahu, kalau memang ada, jelas itu palsu. Pernah ditanya nggak NCD-nya ada di mana? Gunawan juga tidak tahu.
Masak Gunawan bisa begitu ceroboh mencairkan duit tanpa jaminan NCD?
Itulah pertanyaannya.
Anda diberi batas waktu agar mengembalikan duit Rp 50 milyar itu paling lambat 23 April ini?
Sudah kami kembalikan langsung ke BNI. Mestinya tenggat waktunya setahun. Karena kasus ini, ya, kami kembalikan. Sekarang tinggal urusan Dedy dan BNI.
Dedy harus mengembalikan berapa?
Rp 245 milyar. Saya Rp 50 milyar, lewat Dedy.
Anda ada di lingkaran Muhammadiyah, maka ada yang mengaitkan kasus ini dengan organisasi itu. Komentar Anda?
Tidak ada hubungannya. Ini antara saya dan Dedy pribadi.
Dua pekan lalu, Anda ketemu Syafi'i Ma'arif?
Saya cukup sering ketemu beliau. Saya bilang, ''Pak, kalau saya bicara Muhammadiyah, saya tidak hitung-hitungan.'' Entah kenapa, saya tidak tahu. Itu sesuai dengan hati saja. Saya tidak mau beliau jadi kambing hitam. Masak orang seperti Pak Syafi'i jadi bulan-bulanan. Saya sedih melihatnya.
[Ekonomi, GATRA, Nomor 23 Beredar Senin 21 April 2003]
No comments:
Post a Comment