Cari Berita berita lama

Republika - Penguatan Kelembagaan Desa

Kamis, 28 Pebruari 2008.

Penguatan Kelembagaan Desa












HM Lukman Edy (Menteri Negara Pembangunan Daerah Tertinggal RI) Komitmen untuk melakukan pembangunan tentunya bukan hanya milik pemerintah semata, tetapi juga menjadi tanggung jawab dari semua komponen bangsa. Masa lalu sentralisasi pembangunan era Orde Baru harus mampu dijadikan motivasi untuk melakukan pembangunan secara menyeluruh, baik lintas sektoral, lintas wilayah maupun lintas bidang. Salah satu komitmen yang dilakukan pemerintah sekarang adalah mendorong percepatan pembangunan khususnya di daerah-daerah tertinggal, di mana di dalamnya terdapat desa tertinggal. Data Kementerian Negara Pembangunan Daerah Tertinggal (KPDT) menyebutkan, terdapat 38.232 (54,14 persen) kategori desa maju, yang terdiri dari 36.793 (52,03 persen) kategori maju dan 1.493 (2,11 persen) kategori sangat maju. Sementara itu, desa tertinggal berjumlah 32.379 (45,86 persen) yang terdiri dari 29.634 (41,97 persen) kategori tertinggal dan 2.745 (3,89 persen) kategori sangat tertinggal. Ketimp!
angan inilah yang menjadi komitmen dari PDT untuk melakukan percepatan pembangunan desa tertinggal. Semantara itu, fakta tentang desa tertinggal menyebutkan bahwa desa belum dapat dilalui mobil sebanyak 9.425 desa, desa belum ada sarana kesehatan sejumlah 20.435 desa, desa belum ada pasar permamen sebanyak 29.421 desa, desa belum ada listrik sebanyak 6.240 desa. Sementara, rata-rata keluarga miskin di desar tertinggal adalah 46,44 persen dan IPN desa tertinggal sebesar 66,46 persen. Besarnya disparitas antara desa maju dan desa tertinggal sebagaimana yang tersebut di atas banyak disebabkan oleh pendekatan sektoral terlalu dominan di mana masing-masing sektor berjalan sendiri-sendiri. Faktor lain adalah pendekatan top down dan button up yang belum berjalan seimbang, pembangunan belum sepenuhnya partisipatif, kebijakan yang sentralistik sementara kondisi pedesaan amat plural dan beragam. Penyebab lainnya adalah pembangunan pedesaan belum terintegrasi dan belum komprehensif. B!
elum adanya fokus kegiatan pembangunan pedesaan, lokus kegiata!
n belum
tepat sasaran, kebijakan pembangunan desa belum sepenuhnya menekankan pro poor, pro job, dan pro growth. Peranan pemerintah melalui KPDT Pengalaman inilah yang menjadi dorongan bagi KPDT untuk menekankan percepatan pembangunan desa dengan pendekatan yang holistik (menyeluruh). Konsep yang ingin dikembangkan oleh KPDT adalah dengan menerapkan desa model, yakni konsep pembangunan desa dengan penetapan desa sebagai lokus dan fokus dari berbagai bentuk intervensi dari pemerintah yang dalam hal ini adalah KPDT. Berdasarkan pengalaman di atas, kebijakan desa model dipisahkan berdasarkan beberapa karakteristik desa. Desa pulau-pulau kecil, desa pesisir, desa perbatasan, desa pedalaman. Kodifikasi ini dijadikan sebagai media untuk mempermudah berbagai instrumen dan pendekatan pembangunan pada desa tersebut. Sesuai dengan tupoksi KPDT, yakni sebagai koordinasi dan fasilitasi, kebijakan desa model diharapkan mampu menjadi perekat bagi sistematisasi pembangunan desa yang melibatkan s!
emua sektor atau departemen teknis. Karena bagaimana pun kebutuhan bagi percepatan pembangunan desa mencakup semua bidang, yakni infrastruktur, ekonomi, pemerintahan, teknologi, sosial dan budaya, pendidikan, lingkungan, aksesibilitas/informasi, kesehatan, dan berbagai layanan dasar lainnya. Hal lain yang amat penting untuk ditekankan adalah peranan organisasi lokal yang dalam hal ini adalah organisasi pemuda untuk mendorong peningkatan kapasitas pembangunan pedesaan. Masyarakat Indonesia betapapun mereka hidup sederhana, telah mengembangkan mekanisme dalam upaya memenuhi kebutuhan, menjangkau sumber dan pelayanan, serta berpartisipasi dalam kegiatan kemasyarakatan. Mekanisme tersebut dilembagakan dalam sebuah wahana yang berupa organisasi, baik yang dilandasi oleh keagamaan, kesukuan maupun etnis. Di berbagai wilayah di Indonesia, selama ini ditelah istilah 'Mapalus' di Sulawesi Utara, 'Banjar' di Bali, 'Todung Natolu' di Sumatra Utara, dan 'Rereyongan Sarupi' di Jawa Bar!
at. Nilai sosial budaya lokal atau kearifan lokal tersebut tel!
ah terle
mbaga dengan baik dalam masyarakat lokal dan menjiwai semua aktivitas masyarakat lokal tersebut. Dengan demikian, menjadi jelas bahwa keberadaan organisasi yang telah tumbuh dan berkembang pada masyarakat lokal telah menjadi alternatif mekanisme pemecahan masalah. Organisasi yang ada di masyarakat memperlihatkan ciri-ciri, seperti egalitarianisme, penghargaan kepada orang berdasarkan prestasi, keterbukaan partisipasi bagi seluruh anggota, penegakan hukum dan keadilan, toleransi dan pluralisme, serta mengembangkan musyawarah. Ciri-ciri organisasi lokal ini telah mengakomodasi unsur hak asasi manusia dan demokratisiasi pada tingkat lokal. Karena itu, apabila berbagai ciri yang melekat pada organisasi lokal ini dapat dipertahankan, akan semakin memperkuat ketahanan sosial masyarakat dalam nuansa pluralisme. Sehubungan dengan itu, organisasi dan kearifan lokal yang tumbuh dan berkembang di masyarakat lokal, perlu diberikan ruang gerak yang luas agar dapat mengekspresikan dan !
mengartikulasikan berbagai kebutuhan masyarakat lokal khususnya untuk meningkatkan pembangunan di desanya. Lebih jauh dari itu, berkembangnya keswadayaan masyarakat dan peran aktifnya dalam pembangunan, khususnya pembangunan kesejahteraan sosial. Sebagaimana dikemukakan oleh Korten (1982), bahwa pembangunan akan mampu mengembangkan keswadayaan masyarakat apabila pembangunan itu berorientasi pada kebutuhan masyarakat (people centered development). Pembangunan yang berpusat pada masyarakat itu dapat direalisasikan apabila memanfaatkan organisasi lokal yang ada di masyarakat. Dalam kaitannya dengan pembangunan pedesaan, Sediono Tjandronegoro (Kompas, 1982) mengemukakan bahwa bentuk kelompok informal yang tumbuh dari bawah dan berciri demokratik merupakan wadah bagi masyarakat desa untuk berpartisipasi dalam pembangunan. Pembinaan kelompok informal ini menyebabkan komunikasi antara pemerintah dan masyarkat desa bisa efektif. Pemikiran ini sesuai dengan Agenda 21 yang menekan!
kan tanggung jawab khusus dari otoritas lokal dengan konsep be!
rpikir g
lobal, bertindak lokal, dan deklarasi IULA (International Union of Lokal Authorities) dan EU (European Union) tahun 1985, di mana adanya keharusan bagi otoritas lokal di seluruh dunia memberikan prioritas untuk partisipasi bagi organisasi lokal, perusahaan swasta, perempuan dan pemuda, dalam pengambilan keputusan, perencanaan dan implementasi proyek-proyek lokal dan perencanaan Agenda 21 atau semua hal yang bersifat lokal (Izzedin Bakhit, 2001). Dalam perspektif pekerjaan sosial, nilai sosial budaya dan organisasi lokal tersebut merupakan potensi dan sumber kesejahteraan sosial (PSKS) atau modal sosial (social capital) dalam rangka pembangunan masyarakat. Dengan demikian, keberadaan organisasi dan kearifan lokal tersebut memiliki posisi yang sangat strategis dalam pembangunan masyarakat. Peranan yang sinergi antara KPDT dan organisasi masyarakat lokal diharapkan mampu mendorong percepatan pembangunan dengan sasaran-sasaran strategis untuk berkurangnya desa tertinggal dan te!
risolasi, berkurangnya indeks kemiskinan, meningkatnya pendapatan masyarakat yang ditandai dengan terciptanya lapangan kerja dan kesempatan kerja, berkembangnya perekonomian lokal masyarakat, kuatnya jaringan informasi dan ekonomi serta peningkatan kapasitas kelembagaan pemerintah dan masyarakat. Tidak tidak kalah penting adalah percepatan rehabilitasi desa pascakonflik dan bencana alam dapat tercapai dalam waktu dekat. Ikhtisar: - Meski hidup sederhana, masyarakat mampu mengembangkan mekanisme untuk memenuhi kebutuhan, menjangkau sumber dan pelayanan, serta berpartisipasi dalam kegiatan kemasyarakatan. - Organisasi dan kearifan lokal perlu diberikan ruang gerak yang luas.
( )

No comments:

Post a Comment