Cari Berita berita lama

KoranTempo - Selamatkan Pendidikan di Aceh!

Senin, 7 Juli 2003.
Selamatkan Pendidikan di Aceh!Didik Komaidi Direktur Yogyakarta Institute For Educational & Society Empowerment Studies

Berbagai konflik di Tanah Air, baik yang berbau SARA maupun gerakan separatis, selalu melahirkan banyak korban--harta maupun nyawa. Termasuk kaum perempuan dan anak-anak yang telantar di daerah pengungsian. Contoh aktual adalah konflik di Aceh antara Tentara Nasional Indonesia versus Gerakan Aceh Merdeka (GAM).

Selain harta dan nyawa, yang tak kalah mengerikan dari korban yang menonjol di Aceh adalah hancurnya fasilitas pendidikan bagi anak-anak yang masih membutuhkan bekal pengetahuan. Terlepas dari taktik perang mereka, yang jelas sejauh ini sudah terbakar sekitar 1.000 gedung sekolah. Siapa pelakunya? Tidak jelas dan tak ada pihak mengaku bertanggung jawab. Yang terang, mereka adalah kelompok sipil bersenjata.

Dengan hancur atau terbakarnya gedung-gedung sekolah tersebut berarti telah mengakibatkan generasi yang hilang. Karena sekolah adalah lembaga vital dan benteng terakhir bagi pemeliharaan atau pewarisan nilai-nilai masyarakat, kebudayaan, dan peradaban. Sekolah adalah tempat anak-anak belajar untuk bersosialisasi, mengenal lingkungan, dan memahami peradabannya.

Dari konflik tersebut, banyak hal yang perlu dicatat. Pertama, munculnya trauma psikologis yang diderita anak-anak ketika melihat konflik langsung. Kedua, lahirnya dendam jika orangtua, saudara, dan orang yang dicintainya menjadi korban keganasan konflik. Ketiga, sulitnya menghilangkan luka-luka batin akibat terkena dampak langsung atau tak langsung dari konflik. Keempat, hancurnya fasilitas penting bagi pendidikan anak, yang berarti hancurnya peradaban. Kelima, pemulihan stabilitas dan kenyamanan lingkungan bagi pertumbuhan anak-anak dan masyarakat Aceh pada umumnya.

Barangkali anak-anak di Aceh mempunyai kemiripan dengan anak-anak Palestina yang mengalami budaya kekerasan. Seperti diceritakan seorang aktivis kemanusiaan, anak-anak tersebut sejak dini telah dididik dalam suasana "serba perang", dalam luapan dendam kesumat dan kebencian yang berlarut-larut sehingga amat terbiasa dengan budaya kekerasan. Mengutip pendapat Erich Fromm, "Mereka telah mencintai kekerasan." Atau dengan bahasa lain: "Bagi mereka, kekerasan menjadi bahasa yang sama indahnya dengan kelembutan." (Roem Topatimasang, 1998).

Mengamati konflik Aceh, sungguh tidak masuk akal mengapa mereka harus mengorbankan fasilitas pendidikan dan bukan fasilitas lain? Dan kenapa harus gedung sekolah yang dibakar, kenapa pendidikan harus dikorbankan untuk kepentingan-kepentingannya? Dengan membakar gedung-gedung sekolah atau mengorbankan pendidikan berarti jelas sekali bahwa mereka tidak mempunyai peradaban, menyepelekan pendidikan, mengabaikan masa depan anak-anak. Pendeknya, tidak beradab.

Sekali lagi, dengan dikorbankannya pendidikan berarti menganggap sepele apa arti sebuah peradaban, kebudayaan, dan pemajuan masyarakat. Barangkali itu juga cermin dari sebagian nalar kita sebagai bangsa ini yang menunjukkan sebagai masyarakat yang belum terdidik, belum berbudaya, yang lebih menyukai kekerasan.

Solusinya adalah perlunya sosialisasi apa arti penting dari peradaban, kebudayaan, dan pendidikan. Dari situlah kita bisa menemukan arti kemanusiaan, yang sejak dulu kita juga memuji diri atau dipuji orang lain sebagai bangsa yang beradab, adiluhung, bangsa Timur yang mencintai sopan santun dan toleran dan hormat terhadap orang lain.

Pendekatan pemerintah Indonesia untuk menyelesaikan konflik Aceh dengan "Operasi Terpadu" sebenarnya cukup strategis dan sedikit maju dan humanis ketimbang zaman Orde Baru dengan daerah operasi militer yang lebih menekankan aspek kekerasan belaka tanpa aspek kesejahteraan. Operasi terpadu ini setidaknya mengandung dua pendekatan terhadap kelompok rakyat yang membangkang. Pertama, pendekatan keamanan yang menerapkan aspek kekerasan dan penaklukan terhadap pihak yang memberontak. Kedua, pendekatan kesejahteraan yang memberikan kebutuhan-kebutuhan yang diharapkan oleh pihak yang membangkang seperti fasilitas umum, makanan, pekerjaan, dan bentuk kesejahteraan lain.

Dua pendekatan ini akan memberi kompensasi-kompensasi yang setimpal bagi pihak-pihak yang membangkang sehingga mereka tidak mengulangi pembangkangannya. Karena mereka memang merasa telah tercukupi kebutuhan (kesejahteraan) baik rasa aman maupun kebutuhan/kesejahteraan hidupnya.

Dengan pemberlakuan "Operasi Terpadu" yang memperhatikan berbagai aspek seperti kemanusiaan, target-target yang terbatas, terutama orang-orang yang bersenjata (combatan), kebutuhan/kesejahteraan masyarakat, diharapkan akan memulihkan stabilitas keamanan di Aceh. Bukankah selama ini yang mengemuka dari penyebab konflik Aceh adalah pembagian kekayaan yang dianggap kurang adil bagi masyarakat Aceh, termasuk rasa keadilan. Seperti pembagian kekayaan alam minyak dan gas.

Apabila dari aspek kesejahteraan ini bisa diselesaikan secara adil, diharapkan akan mengobati luka-luka dan kecemburuan akan kekayaan yang dibawa ke pusat. Campur tangan atau pembagian yang terlalu besar ke pusat telah menimbulkan kecemburuan yang menumpuk. Bahkan muncul kesan bahwa rakyat Aceh merasa dijajah oleh orang Jawa, padahal pemerintah dipegang oleh berbagai suku di Indonesia yang tidak hanya orang Jawa, yaitu pemerintahan yang kolektif. Kecuali pada zaman Kerajaan Majapahit atau Mataram barangkali logis mengatakan bahwa mereka dijajah oleh orang Jawa. Hal ini perlu diluruskan sehingga tidak menimbulkan persepsi yang salah dan menyesatkan.

Dalam konteks pembangunan nasional, pendidikan harus menjadi perhatian bagi kita jika kita masih mengaku menjadi masyarakat yang beradab, berbudaya, atau sebagai orang Timur yang memegang-teguh sopan satun dan toleransi. Termasuk dalam hal mengatasi konflik-konflik di daerah harus diatasi secara lebih beradab.

Pendidikan jangan dijadikan sasaran kemarahan yang membabi-buta. Hendaknya pendidikan dijaga bersama oleh dua pihak yang bermusuhan. Bukankah keduanya juga sama-sama anak bangsa yang membutuhkan pendidikan bagi anak-anaknya. Bukankah dengan peradabanlah kita bisa menganggap diri kita sebagai manusia.

No comments:

Post a Comment