Cari Berita berita lama

KoranTempo - Politik Islam Radikal

Sabtu, 31 Agustus 2002.
Politik Islam RadikalZuhaeri MisrawiPeneliti P3M, Jakarta

Tesis John O. Voll yang menyatakan bahwa demokrasi di negeri ini turut menyuburkan lahirnya kelompok Islam radikal perlu dianalisis secara detail, terutama kesinambungan fungsional antara demokrasi dan radikalisme keagamaan. Apalagi jika tesis tersebut digunakan sebagai optik untuk melihat langgam Islam politik belakangan ini, seakan John O. Voll dapat disahihkan.

Dalam transisi demokrasi, munculnya organisasi keagamaan yang mengibarkan "bendera syariat" seakan memberikan corak tersendiri bagi bangunan demokrasi. Akankah gejala tersebut dapat disebutkan sebagai konsekuensi demokrasi? Atau, lebih tepat disebut sebagai penggerogotan demokrasi?

Pertanyaan tersebut membuat kita tak menemukan jawabannya. Sulit rasanya untuk memastikan sejauh mana relasi antara demokrasi dan kelahiran ormas-ormas keagamaan yang bercorak radikal. Lebih ironis lagi, mereka yang selama ini dikenal justru dalam kampanyenya menggunakan idiom-idiom politik yang tidak jauh berbeda dengan kalang prodemokrasi. Ketika mereka ditanyakan, "Kenapa Anda getol memperjuangkan formalisasi syariat?" Mereka menjawab, "Karena syariat Islam membawa rahmat bagi semesta alam (rahmatan lil 'alamien). Syariat Islam itu pluralis".

Retorika politik seperti ini seakan mempertegas bahwa atas nama demokrasi mereka ingin menerapkan syariat Islam. Setidaknya, dalam nalar mereka, demokrasi telah memberikan ruang untuk menanam keberagamaan yang bersifat formalistik. Jikalau prosedur demokrasi memang memberikan kesempatan bagi keragaman pemikiran dan pandangan, kenapa harus memberangus usulan formalisasi syariat?

Pemandangan ini menjadi problem serius yang mesti dikritik secara tegas bahwa transisi demokrasi yang sedang dilalui bangsa ini mengalami proses pembusukan diskursif dengan mengatasnamakan demokrasi. Hal yang tidak masuk akal, bila demokrasi hanya dijadikan klaim untuk tujuan yang sebenarnya tidak memedomani nilai-nilai demokrasi. Di antara klaim mereka yang paling populer adalah klaim mayoritas.

Kalangan Islam radikal sering kali menjadikan mayoritas muslim sebagai rujukan untuk terus mendesak syariat sebagai hukum positif. Namun, ironisnya, mereka tak mau menerima konsep kewarganegaraan (citizenship) sebagai manifestasi dari persamaan hak dan pluralisme. Padahal, konsep tersebut merupakan prasyarat mendasar dalam demokrasi. Francis Fukuyama (2002) dalam wawancaranya dengan jurnal politik, Wijhah Nadzar, sangat menggarisbawahi bahwa klaim mayoritas hanya digunakan "sasaran antara" untuk menggaet kekuasaan. Tatkala kekuasaan berada di tangan mereka, yang terjadi adalah tirani mayoritas atas minoritas. Eksperimentasi Revolusi Islam di Iran membentangkan betapa konflik antarfaksi begitu kentara, dan mayoritas cenderung membolduser minoritas.

Fukuyama ingin menjelaskan bahwa Islam radikal mengalami krisis pemahaman atas pluralisme. Gejala semacam ini tidak hanya menjadi karakteristik Islam radikal di Tanah Air, bahkan hampir semua gerakan radikal mengalami persoalan serupa, dan yang mengemuka dalam pandangan mereka adalah dominasi tafsir tunggal. Ini tecermin dalam pemberangusan atas kebebasan berpikir dan berpendapat. Perbedaan pandangan dalam wacana keagamaan sering dianggap sebagai penyimpangan, murtad, dan kafir.

Ini bukan tanpa risiko. Dalam kenyataannya, pandangan keagamaan yang seperti ini pada akhirnya melahirkan totalitarianisme wacana dan gerakan. Konflik Sunni dan Syiah membuktikan panorama totalitarianisme yang paling kentara dalam sejarah Islam. Hampir tidak ditemukan sebuah percontohan sehingga Sunni dan Syiah bisa hidup berdampingan. Yang satu harus meniadakan yang lain. Ini artinya, agama berpotensi untuk melahirkan otoritarianisme tafsir dan politik sekaligus. Jika ini yang terjadi, benar apa yang dikatakan Olivier Roy (1994), dalam tradisi Islam politik universalitas agama digunakan untuk membunuh universalitas itu sendiri (religious universalism has killed universalism plain and simple).

Dimensi lain yang paling mendasar bahwa imajinasi politik Islam radikal sangat bergantung pada negara. Seakan ada harapan yang begitu besar untuk menegarakan agama. Menurut mereka, tanpa negara agama tidak akan tegak. Yang terjadi sebenarnya tidak hanya romantisme masa lalu, melainkan juga romantisme pada negara. Keinginan untuk memformalisasikan syariat begitu besar, bahkan harus sampai titik penghabisan. Kalau sekarang tidak berhasil, masih ada hari esok untuk memperjuangkannya.

Ini titik kelemahan yang paling mendasar, dan bahkan semakin memperkukuh watak otoritarianismenya. Karena, dalam teorinya, di mana terdapat agama dan negara, di situlah otoritarianisme menemukan momentumnya. Karena itu, potensi Islam radikal menjadi sebuah komunitas otoritarian begitu besar, sebab landasan pemikiran dan simbol-simbol politik mereka rentan pada lahirnya otoritarianisme.

Karena itu, yang terjadi sebenarnya adalah pembangkangan terhadap demokrasi, bukan internalisasi nilai-nilai demokrasi, seperti halnya persamaan hak, pluralitas, dan keadilan sosial. Islam radikal dapat digolongkan sebagai penganut psedodemokrasi: demokrasi semu. Islam radikal hanya berkutat dalam tataran retorika politik yang ompong, dan seakan tidak bertanggung jawab atas krisis multidimensional yang dihadapi bangsa ini.

Islam radikal hanya sekadar mengeksploitasi demokrasi untuk kepentingan politik mereka semata. Buktinya, perjuangan mereka hanya terbatas pada Pasal 29 UUD 1945. Seakan-akan lahir keimanan bahwa jika Piagam Jakarta dicantumkan dalam UUD 1945 semua persoalan bangsa dan negara akan terselesaikan secara otomatis. Sungguh, ini pandangan yang simplistik dan parsialistik.

Di sinilah diperlukan sebuah desain ulang pandangan Islam politik bahwa sudah saatnya Islam radikal mengakhiri sinetron politiknya yang hanya berkutat pada tataran normatif. Mereka perlu keluar dari kegersangan paradigmatik menuju terbentuknya paradigma baru yang lebih terbuka dan menumbuhkan semangat nasionalisme. Perangkat yang mereka perlukan adalah paradigma transformatif, yang akan menafsirkan agama sebagai spirit, moralitas, dan lokomotif perubahan.

Tidak hanya pada normativitasnya, melainkan juga pada substansi dan visinya, sehingga dapat mengusung nilai-nilai demokrasi dalam sebuah negara yang mengalami krisis demokrasi. Jika Islam radikal dapat melakukan agenda-agenda tersebut, sudah bisa dipastikan bahwa tesis John O. Voll tadi dapat terbantahkan. Sebaliknya, jika tidak, Islam radikal harus menanggung risikonya untuk menjadi komunitas yang terpinggirkan dalam konstelasi politik nasional: minoritas dalam mayoritas.

No comments:

Post a Comment